Blogspot. “Dengan cara apapun Prabowo harus menang”,
adalah pernyataan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani yang
sedang hot diberitakan di tipi-tipi maupun saya baca di Kompas.com,
pernyataan tersebut terlontar ketika di depan para anggota Partai
Gerindra Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, di
Magelang, Sabtu malam 21 Juni 2014.
Mungkinkah seorang
Sekjen Partai kita anggap yang bersangkutan tidak paham tentang
demokrasi? Oke-lah kalau misal sebelumnya kita anggap tidak paham,
bukankah waktu itu di KPU ada deklarasi Capres&Cawapres untuk “Siap
menang dan siap kalah” yang sudah ditanda tangani oleh para kontestan
Pilpres?
Ah …..pasti akan berlalu begitu saja.
Malam ini kabarnya
akan ada deklarasi dari Ruhut Sitompul untuk mendukung Jokowi, kalau
itu terjadi …… sepertinya sepele, tapi dukungan Ruhut ini menurut saya
belum tentu murni berkah, kalau salah memaknainya bukan tidak mungkin
akan jadi musibah. Apalagi banyak sekali awak media menyimpan rekaman
tentang Ruhut menghujat dan mencaci maki Jokowi sejak Pilkada DKI sampai
dengan selesai Pemilu Legislatif yang lalu. Semoga kubu Jokowi arif
menyikapinya, walau tidak menolak dukungan yang diberikan, tapi juga
jangan memberi peran apapun kepada Ruhut. Lebih bagus kalau dukungan
tersebut tidak pernah ada.
Semoga itupun juga akan berlalu begitu saja.
Prof. Mahfud MD
kembali telah mempermalukan diri sendiri dengan meminta maaf pada
keluarga Soekarno yang diterima oleh Rahmawati. Gara-garanya adalah
ketika Prabowo diterpa tuduhan pelanggar HAM, maka Mahfud MD menuduh
banyak tokoh “juga” pelanggar HAM, salah satu yang disebut adalah
Soekarno. Padahal pernyataan tersebut menurut saya justru Mahfud MD
sangat terang mengakui bahwa Prabowo memang pelanggar HAM yang
disejajarkan dengan tokoh-tokoh yang disebutnya dan sekaligus meminta
maysarakat memakluminya untuk juga melupakan saja. Pernyataan tersebut
sama konyolnya ketika petinggi Partai Demokrat membandingkan tokoh yang
korupsi dipartainya masih lebih sedikit dibanding tokoh dari partai
lain. Benar-benar “gila”, atau jangan-jangan saya yang gila sendirian?
Ketika Prof. Mahfud meminta maaf memang sepertinya elegan, dan memang
elegan dari pada lebih dipermalukan lagi ketingkatan lain sehubungan
kasusnya. Tapi sebagai seorang Profesor, apalagi ahli hukum, sungguh
sangat memalukan ….. apakah tidak paham tentang kata-kata bijak:
“Pikirkan dulu apa yang akan Anda ucapkan, tapi jangan ucapkan semua
yang Anda pikirkan” (maaf, siapa pengarangnya?)
Dan itupun juga akan berlalu begitu saja.
Tabloid Obor
Rakyat beberapa pekan membuat heboh masyarakat, isi tabloid tersebut 100
persen berisi tentang Jokowi yang serba kelam karena direkayasa dan
difitnah, oleh Kubu Jokowi diadukan ke Bawaslu, lalu setelah terungkap
siapa tokoh dibalik beredarnya tabloid tersebut, ada nama Setiyardi
Budiono sebagai penanggung jawab dan Darmawan Sepriyossa sebagai
jurnalis yang ikut membantu, tentu
saja media lebih heboh mewawancarai Setiyardi, selain yang bertanggung
jawab, karena dirinya mengaku sebagai Asisten Staf Khusus Presiden.
Tabloid Obor Rakyat menurut pendapat Dewan Pers yang disampaikan oleh
Bagir Manan adalah: “Bisa disimpulkan tabloid itu bukan produk pers”.
Lalu Kubu Jokowi juga melaporkannya ke Kepolisian. Aneh menurut saya,
Setiyardi mengatakan itu adalah produk jurnalis biasa, tapi pakai alamat
palsu, dan sudah ada pernyataan dari Dewan Pers bahwa Tabloid Obor
Rakyat adalah produk haram. Dan yang paling “gila” adalah, kurang lebih
dua hari setelah huru-hara atas kemunculan Setiyardi, justru tabloid
Obor Rakyat edisi ke 3 diedarkan! Ternyata tak ada yang takut dengan
hukum di Negeri ini, apakah itu karena memang hukum selalu tumpul
keatas? Bisa jadi cara berpikirnya mungkin gini: Toh sudah terlanjur
dicetak, kalau tidak diedarkan kan mubazir. Atau jangan-jangan ada orang
“besar” dibalik itu semua sehingga tidak takut hukum, atau berpikir:
Pelanggaran HAM berat saja tidak ada masalah kok, lanjuuuuutt …. Lagian
apa bedanya diedarkan atau tidak, sama-sama sudah membuat ribut dan juga
tetap sama di permasalahkannya, tidak akan mengurangi atau menambah
masalah kalau memang akan ada. Bukankah begitu juga dengan kasus Emon
pelaku sodomi, saya heran kenapa tidak ada yang ingin menuntut hukuman
sesuai korbannya 100 X 2 tahun misalnya, maka setidaknya Emon bisa
dihukum 200 tahun. Pemikiran saya adalah, apa yang dilakukan Emon bukan
tindakkan satu saat dan korban yang merasakan penderitaan juga berbeda.
Jadi tidak harus disatukan. Sama seperti kalau misalnya Emon hanya
melakukan sodomi pada 1 anak, bukankah Emon juga akan dituntut misalnya 2
s/d 5 tahun? Sori jadi ngelatur kemana-mana.
Apakah kasus tabloid Obor Rakyat ini juga akan padam dengan sendirinya?
Kubu
Prabowo melaporkan Wiranto ke Bawaslu sehubungan pernyataan Wiranto
yang menyatakan secara terbuka bahwa Prabowo adalah pelaku pelanggaran
HAM, padahal Wiranto sudah menyatakan itu adalah pernyataan pribadi
sebagai mantan Pangab yang merupakan atasan Prabowo waktu Prabowo
“dipecat” sebagai anggota ABRI. Kalau mau benar tuntas, bukankah
seharusnya JUGA dilaporkan ke Kepolisian?
Besar kemungkinan kasus ini juga tidak akan merubah apapun juga.
Satu
lagi saja supaya tidak terlalu panjang, karena memang juga tidak tahu
kasus yang lain hehehe. Saya tidak bisa membayangkan andai Ibu-nya
Prabowo adalah Ibunya Jokowi, adik Prabowo adalah adik Jokowi. Anda
tentu tahu kemana tujuan kupasan saya bukan? Apakah karena masalah itu
sehingga Rhoma Birama tidak tampak bekerja hebat sebagai bagian team
Kubu Pemenangan Prabowo? Saya hanya melihat yang bersangkutan menghibur
penonton sesudah orasinya Prabowo, atau sudah kembali “kehabitat”
awalnya karena tidak punya bahan untuk diserang? Atau justru takut kalau
ditanya wartawan usil tentang Ibunya Prabowo? Walahualam.
Dan
ajaibnya, kok tidak ada yang mempermasalahkan tentang hal yang
“sensitif” itu ya, padahal bukankah di Kubu Prabowo ada PKS dan FPI yang
biasanya sangat sensi mempermasalahkan agama. Apakah sebelum bergabung
mereka tidak tahu? Rasanya impossible bukan? Juga bersyukur Kubu Jokowi
tidak membalas mengungkit masalah tersebut walau punya kesempatan yang
sangat faktual dan tidak meng-ada-ada. Semoga dengan peristiwa kali ini
Allah menunjukkan pada kita semua, jangan suka membawa-bawa agama dalam
ranah politik. Karena rasanya masih terngiang ditelinga, betapa mereka
sebelum-sebelumnya selalu mengatakan jangan sampai memilih pemimpin yang
bukan dari keturunan agama bukan mayoritas, karena menurut kitab suci
adalah bla-bla-bla! Bahkan juga sangat sering mengutip sabda-sabda Nabi.
Sungguh ini adalah hikmah yang luar biasa, semoga mereka bukan karena
menggadaikan ideologi, tapi kesadaran bahwa sebetulnya selama ini mereka
telah “memlintir” agama untuk kepentingannya. Setidaknya ada bahan
untuk kita mengingatkan siapa tahu pada pemilu-pemilu yang akan datang
mereka lupa, dan mencoba menggadaikan agamanya lagi untuk kepentingan
sendiri. Semoga Allah memang punya rencana yang luar biasa untuk
kebangkitan Negeri ini. Sekaligus membuktikan Konstitusi Negeri
ini tidak salah, semua warga negara punya hak dan kewajiban yang
sama dengan tidak membeda-bedakan agama, ras, dan gender-nya. Walau
tidak yakin, setidaknya saya berharap mereka tidak akan terus-terusan
plin-plan. (SPMC SW, Juni 2014)
.
———————-
Catatan:
Judul Artikel ini sengaja memprovokasi supaya menarik perhatian. Tentu saja juga ada pertimbanganya, antara lain:
- Saya menjagokan Jokowi.
- Sampai dengan saat ini survei di media netral masih mengunggulkan Jokowi.
- Adanya
pernyataan-pernyataan vulgar seperti awal atikel ini, maka seandainya
Prabowo yang menang, akan dicurigai karena kecurangan. Dan itu akan
tidak menentramkan kita semua.
- Memperhatikan
dukungan yang diberikan oleh rakyat kecil dari banyak kalangan, yang
justru rela menyumbang dana untuk kemenangan Jokowi. Dan itu sangat
fenomenal juga anomali yang menggembirakan.
- Dan lain-lain pertimbangan.
- Mohon maaf kalau judul artikel ini ada yang tidak suka. (SW)
No comments:
Post a Comment