Sunday, July 2, 2017

"AHOK AJAIB"




“AHOK AJAIB“
===========

Tanggal Masehi : 29 Juni 1966, Rabu Budha
Tanggal Jawa : 10 Mulud 1898, Rebo Pahing
Tanggal Hijriah : 10 Rabiul Awal 1386

=================== ================== #SPMC ala Suhindro Wibisono
.
Mungkin sudah basi membicarakan Pilkada DKI 2017 yang menghasilkan kekalahan pasangan petahana BADJA, padahal katanya kepuasan publik atas petahana diatas 70 persen. Fenomena baru yang patut dipelajari, dan menurut kacamata saya, Pilkada DKI sangat kental bernuansa SARA. Tapi sangat menarik perhatian ketika blom lama ada tokoh justru menyatakan jika ada yang menyatakan bahwa Pilkada DKI bernuansa SARA, itu adalah orang “munafik”. Dan saya memilih untuk dikatakan manafik itu jika pilihannya diminta untuk mengingkari kenyataan bahwa Pilkada DKI ada muatan SARA. Sekali lagi menurut kacamata saya, Pilkada DKI “sangat kental” bermuatan SARA.
.
Yang paling miris adalah kenyataan bahwa Ahok justru juga harus dipenjara gara-gara pernyataannya di kepulauan seribu pada 2016 yang lalu, pernyataan yang “MENCERITAKAN” adanya oknum tokoh yang menyitir ayat Quran agar tidak memilih dirinya sebagai Gubernur. Sungguh itu fenomena ajaib di negeri yang katanya adalah negeri dengan sistem demokrasi terbesar ketiga di dunia. “Menceritakan” suatu kejadian bisa berujung dipenjara, kalau yang diceritakan tidak pernah ada kejadiannya, mungkin bisa dipahami bahwa itu adalah fitnah, tapi menceritakan suatu kejadian yang bahkan sudah menjadi rahasia umum, dan berujung dipenjara? Ruar biasa ajaibnya menurut saya.
.
Jadi Ahok sudah kalah bahkan berujung dipenjara, sudah jatuh tertimpa tangga. Tapi dibalik peristiwa semua itu, menurut kacamata saya, maaf kalau salah mengamati, Ahok bukan saja diserang melalui SARA dalam Pilkada DKI, tapi juga tidak diperlakukan setara didepan tatanan hukum negeri ini.
.
Hukum sudah dipelintir sedemikian rupa agar Ahok bisa dipenjara, mulai dari pengingkaran ketentuan bahwa Paslon peserta Pilkada seharusnya tidak boleh diperkarakan sampai dengan Pilkada selesai dan itu dilanggar oleh aparat penegak hukum walaupun menyatakan karena desakan massa, sampai dengan percepatan proses hukumnya Ahok (saja) yang luar biasa ajaibnya. Pertanyaan saya, kemana proses hukum Paslon lain yang bukankah kenyataannya juga dilaporkan berperkara juga? Terlebih setelah Paslon lain yang menang justru semakin tidak terdengar perkaranya, apakah hukum tidak berlaku karena menyandang kemenangan itu, atau karena memang hukum hanya mentargetkan Ahok dipenjara walau dengan kasus ajaibnya? Semoga kasusnya Buni Yani juga bukan karena ogah-ogahan sehingga tampak sangat lelet jika dibanding kasus Ahok. Semuanya begitu terasa berbeda karena tidak adanya tekanan massa yang meminta, sungguh miris dan betapa kemirisan itu sangat gamblang didepan mata.
.
Jadi kalau sebelumnya ada heboh tudingan begitu gencar bahwa Ahok dibacking aparat keamanan karena dianggap dekat dengan Kapolri juga bahkan dengan Presiden, maka agar tampak dan juga membuktikan bahwa Ahok tidak mendapat dukungan itu, semua aturan yang ada harus ditabrak dan diobrak-abrik sedemikian rupakah? Jadi apakah sebetulnya Ahok dikorbankan hanya agar citra kenetralan aparat penegak hukum dan pemerintahan pada umumnya supaya tampak jelas? Atau yang terpenting agar negara tentram dari protes massa yang digalang? Bukankah adagium tentang hukum adalah “Tegakkan keadilan sekalipun langit runtuh” ~ “Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang tidak bersalah”, lha kok kenyataannya hukum justru takut dengan tuntutan massa? Seandainya benar pengamatan saya itu, masihkan negara ini layak menyandang negara berdasarkan hukum yang sebenar-benarnya? Kalau pemerintah (aparat hukum) takut menegakkan aturan karena desakan massa, bukankah itu artinya pemerintah (aparat hukum) tidak punya patokan mana yang benar dan mana yang salah? Maaf kalau saya banyak membuat tanda tanya yang ngawur, saya sungguh salah satu rakyat yang miris melihat keadaan negeri ini pada dasa warsa terakhir.
.
Kebenaran harusnya ditegakkan dengan tidak pandang bulu, tidak takut dengan tekanan massa, apalagi juga sudah rahasia umum bahwa demo itu pada umumnya ada penggerak koordinatornya dan berbayar. Bukankah sudah bukan hal baru sampai ada julukan kampung demo karena warganya sering disewa untuk melakukan demo? Jadi kalau anarkis ya digebuk saja, karena sebetulnya menurut saya, pemerintah memang harus tegas dan berani, tapi tetap menjaga keadilan. Karena demo bayaran tidak akan bisa dihilangkan (lama saya pernah baca di Jerman sudah ada sejak luama bingit), saya blom paham kalau ada UU-nya larangan koordinasi untuk demo, bayangan saya tidak ada hal itu, karena justru demo menurut yang sering saya dengar adalah hak setiap warga negara. Jadi kalau para penyandang dana demo tidak tampak dipermukaan, menurut saya itu bukan karena takut aparat keamanan, tapi takut diberitakan oleh para jurnalis, takut imagenya jadi jelek dimata rakyat dalam pemberitaan, walau memang tidak ada UU yang dilanggar. Jadi ya sebaiknya aparat penegak hukum berani keras terhadap pendemo itu jika mereka sudah anarkis, pembiaran adalah biang kerusuhan lebih besar. Aparat keamanan memang tugas utamanya adalah sebagai wasit, dan wasit itu akan menjadi terhormat jika benar, adil, tidak memihak dan disiplin (keras) menindak siapapun pemain (rakyat) yang memang melanggar statuta negara yang telah ditetapkan.
.
Ahok mencabut haknya untuk naik banding dalam berperkara dan menerima hukumannya. Secara kasat mata menurut sudut pandang saya, hal itu sangat saya sayangkan, walau saya tahu sangat mungkin jika tetap naik banding juga bisa diputus hukum lebih lama lagi, tapi juga bisa bebas, hukum di negeri ini memang sudah bercampur dengan politik yang penuh intrik, juga rasa SARA dan tekanan massa, itu menurut rasa saya yang juga mungkin bisa salah. Tapi saya berpikir demi keadilan seharusnya (waktu itu) Ahok tetap naik banding, bukan dengan alasan demi ketertiban maka harus merelakan diri di penjara. Karena Ahok memang sedang berperkara, ketertiban adalah urusan aparat keamanan. Bila perlu jika memang naik bandingnya kalah, ya naik lagi sampai batas maksimal yang dibolehkan oleh UU. Menurut rasa saya itu adalah hal yang terbaik agar preseden peradilan karena tekanan massa tidak mempunyai legitimasi di negeri ini. Sungguh kasus Ahok menurut kacamata saya sangat ceto welo-welo bahwa Ahok dikorbankan demi ketertiban, yang artinya juga bisa bermakna bahwa aparat keamanan kurang siap menghadapi massa (potensi kerusuhan) yang bisa dikoordinir oleh siapapun penyandang dana terlebih ditunggangi sentimen agama. Hal itu justru membahayakan negara dan preseden tidak baik dimasa mendatang.
.
Sangat mungkin sudut pandang saya salah, utamanya sudut pandang rohani dibalik perkara Ahok dan juga batalnya Ahok untuk naik banding. Dan saya rela salah kalau memang itu adalah yang terbaik bagi Ahok. Gusti mboten nate sare, karena kenyataannya selalu ada yang terjaga dan tidak tertidur semua manusia penghuni bumi ini bukan? Dan saya yakin Ahok adalah salah satu manusia yang tidak biasa-biasa saja yang dimiliki negeri ini, sejarah akan semakin membuktikan, semoga Tuhan memberi jalan kemudahan ......
.
Ada yang mengganjal di benak saya di balik kekalahan Paslon BADJA pada Pilkada DKI yang baru berlalu itu, tapi sungguh susah mengutarakannya, terlebih masalahnya ini bukan perkara eksakta atau matematika yang mana 4 x 4 = 16, tapi masalah dalam proses demokrasi dan kehidupan yang juga sangat mungkin bahwa manusia akan berubah setiap waktu karena terpengaruh oleh kejadian apapun yang dialaminya nanti.
.
Saya menyayangkan “seandainya” kekalahan Paslon BADJA dalam Pilkada adalah bukan hanya karena kentalnya SARA, tapi juga karena ulah penyelenggara Pilkada. Dan saya tidak menuduh lho ya, sekali lagi saya hanya menyayangkan seandainya itu yang terjadi. Penyelenggara yang saya maksud adalah “rantai” dari proses kampanye sampai dengan penyelenggara DITIAP TPS juga sampai finalnya.
.
Ingat kehendak rakyat adalah kehendak Tuhan, itu katanya, tapi tentu saja bukan rakyat yang dikondisikan bukan? Nah untuk merasakan bahwa Pilkada itu “kental” atau banyak bernuansa curang atau tidak , menurut rasa saya juga bisa diamati dari suara rakyat atau suara Tuhan itu tadi. Jika pada akhirnya banyak rakyat tidak mengeluh dengan HASIL pilihannya tadi, maka artinya kecurangan rantai penyelenggara adalah minimal, tapi jika rakyat lebih banyak yang mengeluh, maknanya rantai penyelenggara Pilkada sudah kental berbuat curang. Akankah mereka yang berbuat curang “merasa” berdosa terhadap rakyat, Gusti mboten nate sare, hukum sebab akibat itu blom pernah gagal, walau mungkin tidak langsung terjadi akibat dari sebabnya ..... Sengaja selalu saya imbuhkan kata kental, karena berdasar pemberitaan-pemberitaan yang ada rasanya mustahil di negeri ini ada Pilkada yang seratus persen tidak ada kecurangannya. Kecuali memang mau menggunakan sarana elektronik yang serba otomatis dan langsung suara pemilih terekam didata base pusat dan terakumulasi secara otomatis tanpa campur tangan manusia agar tidak terjadi manipulasi. (ala USA misalnya)
.
Saya memilih siapa, Anda memilih siapa, dia memilih siapa, mereka memilih siapa, akan tidak bisa dilacak lagi jika sudah diakumulasi dalam kalkulasi, masalahnya bukan hanya soal bisa dibuktikan dengan kertas asli hasil tusukan pemilunya, karena juga sangat mungkin adanya oknum yang menukar hasil tusukan agar sesuai dengan yang diinginkan, atau bahkan juga tidak mungkin diperiksa lagi semua hasil perhitungan dengan kertas hasil tusukan kecuali dimasalahkan bukan? Maka rakyat seolah pasrah karena memang merasa kalah dengan kenyataan hasil akhirnya, tapi jika pada akhirnya hasilnya mengecewakan dan rakyat akhirnya banyak bersuara merasa tidak memilih, itulah kenyataan bahwa Pilkada juga terjadi kental kecurangan.
.
Semoga hal itu tidak terjadi, semoga pemenangnya punya keberanian extra untuk menyejahterakan rakyatnya (dapat hidayah dadadkan geto) dan korupsi juga minimalis demi kebaikan ibu kota negara tercinta, semuanya sangat mungkin karena kita berbicara tentang sifat manusia, bukan kalkulasi angka-angka belaka, dan segala kemungkinan bisa memicu manusia untuk berbuat diluar kalkulasi sebelumnya, seperti juga Ahok menurut saya sangat mungkin tidak merencanakan dari semula kalau akan keluar dari Gerindra, juga tidak menyangka saat ini ada didalam penjara. SELAMAT ULANG TAHUN Pak Ahok, semoga banyak mendapat kebahagiaan dalam hidup ini. Kamis, 29 Juni 2017, artikel ini ditulis sebelum tengah malam menjelang dan berakhir setelah tiba dini hari, jadi saya unggah di facebook besok saja. (SW)
.
.
(Sumber gambar tertulis digambarnya.)