Thursday, April 24, 2014

PAHAM SESAT, TERSESAT, MENYESATKAN? ("FAHRI HAMZAH vs BAMBANG WIDJOJANTO")



                               (Image source: nasional.inilah.com)
Blogspot. Heboh berita penetapkan tersangka oleh KPK pada kasus BCA dan E-KTP, membuat banyak bahasan diberbagai macam media, mendengar tanggapan dari radio dan membaca tanggapan dari artikel yang sempat saya ikuti, ada beberapa orang yang intinya menyuarakan: “Pilih Prabowo sebagai Presiden untuk memberantas korupsi dengan tegas dan tuntas”. Lho-lho-lho ……kok ya ada saja ya yang menyempatkan kampanye ……atau pendapat yang tersesat? Walau sebetulnya ya bisa saja disambung-sambungkan kesana, apa lagi sekarang lagi hangat-hangatnya jelang Pilpres.
Memang kalau Prabowo jadi Presiden korupsi akan bisa ditangani dengan tegas dan tuntas? Bagaimana menghubungkannya? Padahal beberapa waktu yang lalu, Presiden SBY juga tersinggung kalau dikatakan tidak bisa tegas. Apakah kalau Prabowo jadi Presiden juga akan sekaligus merangkap jadi penegak hukum pengusut masalah korupsi? Atau beranggapan Presiden SBY tidak pro pemberantasan korupsi? Bisa jadi banyak rakyat yang terjebak iklan kampanye yang asal janji, tapi lupa merunut kemungkinan dapat terealisasi janji-janji manis kampanye yang mustahil dituntut dikemudian hari.
Ketika di-tipi pada acara Mata Najwa, waktu itu Bambang Widjojanto menanggapi pendapat Fahri Hamzah tentang KPK, ingat saya BW mengatakan bahwa FH “Pahamnya Tersesat”. Saya justru menarik garis merah pemahaman FH tentang KPK dan pemberi tanggapan memilih Presiden Prabowo tersebut diatas.
Kalau ingin korupsi diberantas dengan tegas dan tuntas, bukankah rakyat(diwakili DPR) seharusnya mendesak lembaga penegak hukum untuk memberi hukuman seberat mungkin pada para koruptor, dan menolak dengan keras rencana “berliku dan licik” yang dilakukan DPR untuk mengebiri kewenangan KPK. Bisa jadi DPR ber-alibi bahwa Pemerintah-lah yang mengajukan usulan penggantian UU yang menyangkut kewenangan KPK, kalau memang begitu ….kenapa DPR tidak langsung menolak saja pembahasannya karena ada unsur pelemahan KPK? Rakyat, saya utamanya, melihat betapa ngototnya anggota DPR ingin mengebiri kewenangan KPK, utamanya yang menyangkut sadap-menyadap telepon. Melanggar HAM katanya, tapi kenapa tidak pernah tereak kepada para koruptor bahwa korupsi itu melanggar HAM? Atau karena kebanyakan sang koruptor adalah kroninya atau mantan bos-nya di partai?
Sungguh saya justru curiga mereka yang sangat antusias ingin mengebiri kewenangan KPK, besar kemungkinan adalah tokoh-tokoh yang tidak bersih. Kenapa harus takut dengan kewenangan KPK kalau memang tidak punya niatan jelek? Anggota DPR memang statusnya mewakili rakyat, tapi rakyat mana yang menghendaki kewenangan KPK dikurangi? Luar biasa hebat memang kalau memberi ulasan-ulasan atau debat-debat yang terlihat di-tipi-tipi, mungkin dipikirnya yang bersangkutan paling hebat dan paling benar dengan mengatas namakan rakyat. Seandainya acara Mata Najwa waktu itu live dan bisa berkomunikasi dengan tokoh yang dibilangnya “Pahamnya Tersesat” …..pasti seru dan gempar, atau akan memalukan?
Penegasan saya lagi, yang paling penting dalam pemberantasan korupsi adalah jajaran penegak hukum yang diawasi oleh DPR dalam pelaksanaannya. Seandainya anggota DPR selalu mengkritisi pelaksanaan pengadilan, menyuarakan hukuman yang berat untuk koruptor …..Negeri ini akan cepat menjadi baik. Tapi yang terjadi justru DPR ingin meng-amputasi kewenangan penegak keadilan utamanya KPK dan mengubah UU supaya para koruptor tidak mudah terjerat hukum, hal yang sungguh sangat memilukan. Dan hal tersebut terjadi karena ternyata korupsi banyak dilakukan oleh:
1. Anggota DPR
2. Eksekutif (Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri/…)
3. Penegak Hukum.
Bukankah nomor 1 dan 2 umumnya adalah bagian dari partai politik?
Jadi apakah dengan memilih Prabowo jadi Presiden pasti tidak ada koruptor lagi? Ayolah berpikir dengan bijak dan tidak menyesatkan, atau setidaknya tidak membiarkan rakyat tersesat. Sampai saat ini, saya tetap beranggapan “REKAM JEJAK” adalah hal yang terbaik sebagai panduan dalam memilih Presiden, dan rekam jejak kejujuran tokoh serta kemauan kerja untuk rakyat itu jauh lebih penting dari pada janji kampanye yang konyolnya janji dianggap sebagai program. Apakah itu bukan bagian dari penyesatan? Pada semua partai dan Capres/Cawapres, mana ada janji kampanye yang tidak baik dan tidak muluk? Jadi apa bedanya janji kampanye dan iklan kecap? Itulah sebabnya …..mana yang lebih penting, janji kampanye bahkan yang dianggap program atau “rekam jejak”? Ayolah jangan membodohi rakyat …….
Dalam tegaknya hukum, bagian yang harus dilakukan oleh pemerintah, utamanya Presiden adalah tidak intervensi walau keluarganya sekalipun seandainya sedang diadili. Apalagi kalau kemudian mengganti penegak keadilan karena merasa terganggu, jelas itu bukan Presiden yang baik, sangat diragukan kebersihannya. Memilih Menteri bersih dan “tegas” yang membidangi hukum, lalu menugaskan untuk selalu mengawal pelaksanaan tegaknya hukum(bukan intervensi). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah membenahi institusi Kepolisian, tapi yang terakhir ini sungguh sangat susah. (SPMC SW, April 2014)
—————————–
.
“APA NAZARUDDIN BENAR LAGI, GAMAWAN ikut KORUPSI E-KTP??”
.
http://t.co/x7KkcNB2Lt
.
—————————–

Wednesday, April 23, 2014

"APA NAZARUDDIN BENAR LAGI, GAMAWAN KORUPSI E-KTP?"


                                          (Image source: kabarnet.in)

Blogspot. Setelah Senin, 21 April 2014 KPK menetapkan Hadi Poernomo mantan Dirjen Pajak, lalu disusul Selasa, 22 April 2014 penetapan Sugiharto Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri pembuat komitmen Proyek E-KTP, keduanya di-sangka terlibat korupsi. Dalam benak saya terngiang pernyataan-pernyataan para tokoh “Masih banyak warga negeri ini yang baik, yang bersih”. Mungkin yang dimaksud adalah yang belum ketahuan borok-nya ya? Mengenaskan sekali Negeri ini, tak ada yang malu lagi berkorupsi, bahkan kebanyakan para koruptor bertereak akan memberantas korupsi atau mencitrakan diri sebersih pakaian yang baru di laundry, tapi dikemudian hari ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, lupa telah berwacana sangat bersih, dan tidak malu…..huh!
Saat ini, HP lebih menuai heboh karena tingkatan jabatan yang diemban lebih tinggi, tapi sepertinya para pemburu berita lupa …..bisa jadi proyek E-KTP tidak kalah seksi, karena dalam kedua kasus korupsi tersebut, KPK menapakinya dengan cara yang berlawanan arah. Pada proyek E-KTP, KPK menapak dari tangga bawah jadi sepertinya kalah heboh dalam pemberitaan wartawan. Tapi kalau mereka ingat akan pernyataan Nazaruddin tentang korupsi di proyek E-KTP, dan yang sempat dijawab oleh petinggi di Depdagri bahwa proyek E-KTP belum ada ketika Nazaruddin di tangkap dan dijebloskan dalam tahanan. Sepertinya Pak Menteri menganggap kami para pemerhati tidak mengerti tentang “ijon” proyek.
Semoga Pak Menteri tidak terlibat dalam kasus tersebut, supaya tidak menerima hadiah “tersangka” oleh KPK karena bisa jadi waktunya akan juga sangat bertepatan dengan demisioner kabinet yang sekarang sedang berkuasa. Perkiraan saya, kalau korupsi-nya ternyata kelas “teri”, besar kemungkinan Menteri tidak tahu-menahu masalahnya, tapi kalau kelas “kakap”, setidaknya akan tersangkut pejabat dibawah menteri walau sangat mungkin sang Menteri juga akan tersebut, dan kalau korupsinya kelas “paus”, mustahil Menteri tidak tahu menahu. Jadi ayo kita saksikan drama yang menggemaskan itu, walau teringat Nazaruddin pernah menyebut dan ternyata apa yang disebut banyak yang terbukti, tapi saya tetap berharap Pak Menteri bersih, karena Pak Menteri merupakan penerima penghargaan Bung Hatta Anti-Korupsi Award (BHACA) 2004. (SPMC SW, April 2014)
———————————

Wednesday, April 16, 2014

"ROMA BIRAMA TAUBAT"

                                       (Image source: gempakfull.blogspot.com)


Blogspot. Melihat hiruk pikuk tokoh politik di tipi berita menjelang pencalonan pasangan Capres dan Cawapres. Roma mengatakan yang intinya kurang lebih “Tidak sudi dipasangkan dengan Jokowi karena Jokowi adalah orang yang tidak tepat janji, terbukti waktu kampanye berjanji mau jadi Gubernur selama lima tahun, tapi kenapa sekarang mau mencalonkan diri sebagai Presiden ….. Seandainya saya menjadi nomor dua untuk mendampingi Ibu Mega atau Mbak Puan, saya bersedia …….”
Doeloe ….. Ketika Bu Mega mencalonkan diri jadi Presiden beberapa periode berlangsung ……katanya “Wanita tidak boleh jadi pemimpin”, kok sekarang seolah-olah memintanya untuk maju dan bersedia mendampingi, bukankah itu ending-nya berarti atau alias jadi “pembantunya” wanita …..?
Syukurlah kalau ada perubahan, atau jangan-jangan kegalauan? Apapun itu …..rasanya harus bersyukur, kegalauan justru membuat keadaan menjadi diuntungkan, karena lupa meributkan …..sebentar lagi Ahok dilantik jadi DKI-1 yang bersangkutan bisa jadi lupa akan selimut SARA (atau sudah taubat juga?) Sibuk memposisikan diri entah sebagai Wapres-nya siapa …..moga-moga ada pasangan yang berkenan …..hitung-hitung hadiah taubat ….hehehe, oup ….maaf. Just Intermezo. (SPMC SW, April 2014)
.
*****************
.
“PDIP DAN JOKOWI TERJEREMBAB POLITIK DAGANG SAPI”
.
http://t.co/sn8DVcPMvL
.
*****************

Monday, April 14, 2014

"PDIP DAN JOKOWI TERJEREMBAB POLITIK DAGANG SAPI"

                                            (Image source: viva.co.id)
Blogspot. Dengan kuatnya beredar nama JK dibursa Cawapres, itulah kehebatan Golkar yang kebetulan punya tokoh populer. Saya termasuk yang suka JK, juga ketika jadi Wapres dulu, tapi artikel ini tidak dimaksud anti JK, hanya ingin mengupas kenyataan yang ada. Jadi maaf sebelumnya.
Ketika Akbar Tanjung memimpin Golkar, kepiawaiannya menempatkan strategi dua kaki mewariskan eksistensi Golkar dan JK sekaligus menikmati menjadi pemimpin Golkar, tradisi hebat itu juga menempatkan Golkar tetap dalam pusaran kekuasaan yang signifikan walau kalah dalam kompetisi pada pemilu-pemilu selanjutnya. Ketika Golkar dipimpin oleh ARB, ketokohannya memang “seperti” tidak menjual untuk menjadi RI-1, bahkan Akbar Tanjung sering menentangnya secara terbuka, tapi justru pada era ARB lah Golkar saat ini sedang bermain politik dengan tiga kaki. Hebat kan?!
Mendengar pidato ARB setelah bertemu Jokowi terakhir, yang mengatakan Golkar akan mengajukan calon Presiden sendiri, tapi juga akan mendukung Pemerintahan PDIP oleh Jokowi di Parlemen jika memang dimenangkan oleh Jokowi. Luar biasa, menggambarkan kepiawaian Golkar dalam berpolitik, jika ARB menang, maka Pemerintahan ada dalam kekuasaannya. Lalu jika JK digandeng oleh Jokowi lewat Nasdem sebagai Cawapres, hebatnya …. Golkar mencalonkan Cawapres tapi dimodalin Nasdem, dan kalau menang, maka Golkar tetap ada di Pemerintahan. Dan ketika JK tidak bergabung dengan Jokowi, lalu Jokowi menang pemilihan Presiden, maka ARB sudah mengatakan mendukung di Parlemen, bukankah itu tidak gratis? Itulah yang saya maksud politik tiga kaki untuk selalu ada dalam Pemerintahan. Cantiknya permainan politik Golkar, yang lain rela “dikadalin” karena permainannya memang cantik ….hehehehe…
Menurut saya, PDIP dan Pak Jokowi tidak perlu banyak meminta dukungan pada partai politik yang bukan koalisi utama, karena seperti yang diucapkan ARB di-media, bahwa Golkar akan membantu di Parlemen, bagaimana rakyat dapat menerima bahwa hal itu bukan politik dagang sapi? Bukankah politik itu perebutan kekuasaan, jadi mana mungkin gratis? Atau jangan-jangan “kamus” yang digunakan oleh ARB dan Jokowi berbeda, sehingga output-nya berbeda tafsir? Kalau memang ada miss persepsi itu, apakah nantinya tidak justru akan menciptakan permusuhan? Silahturami memang bagus, tapi stop janji-janji saling memberikan dukungan, percayalah justru akan menciptakan blunder politik. Tapi kalau merasa dengan Golkar tidak menjanjikan apa-apa, justru sebaiknya stop ber-anjangsana ke partai politik yang memang tidak akan berkoalisi, karena itu berarti bukti penggunaan kamusnya beda, dan akan berakhir rentan saling merasa di-kadali, kecuali memang ada rekaman ucapan dalam pertemuannya sebagai saksi.
Sebetulnya saya mewacanakan PDIP berkoalisi dengan satu partai saja untuk memenuhi syarat pencalonan, yakni dengan Nasdem atau PKB, karena saya yakin tidak ada yang gratis untuk setiap dukungan koalisi. Tapi kalau PDIP atau Pak Jokowi masih tidak yakin berkoalisi dengan hanya satu partai, boleh juga koalisi dengan PKB + Nasdem, jangan lebih, karena itu sudah maksimal kalau malah tidak ingin berbaliknya angin dukungan dimasyarakat. Karena kalau terlalu gemuk koalisi, rakyat justru akan menilai “Tidak ada bedanya dengan pemerintahan sebelumnya yang kini masih berkuasa”.
Saya dengar Pak Jokowi sudah mewacanakan bahwa tidak akan bagi-bagi jatah Menteri dan akan memilih Menteri dari kalangan Profesional. Itu sudah bagus, tapi rakyat kelas menengah yang lebih melek politik tentu saja lebih melihat koalisi yang dijalin oleh banyak partai tidak akan bisa diperoleh dengan gratis. Padahal ketika dapat jatah Menteri di-Pemerintahan yang sekarang ini saja, Golkar juga tidak memberi dukungan ‘buta’ ke partai penguasa, begitu juga PKS. Jadi untuk apa koalisi gemuk diutamakan kalau bukan itu realita ukuran dukungannya? Semoga PDIP dan Pak Jokowi tidak terjebak dengan janji-janji-nya sendiri pada partai koalisi yang sedang aktif digalang saat ini.
Untuk yang kesekian kalinya saya suarakan sebagai rakyat yang ingin Pak Jokowi jadi presiden, kalau tidak bertujuan menjarah uang Negara, tapi bertujuan bersih-adil-tegas, percayalah koalisi dengan rakyat adalah yang paling benar, karena memang rakyat tidak yakin bahwa DPR itu mewakili rakyat, karena yang terlihat adalah 100 persen mewakili partainya. Dan banyak rakyat juga sudah sadar bahwa tidak ada dukungan yang gratis …. Apa lagi bukankah menurut data yang diwacanakan selama ini, mayoritas anggota DPR yang lama juga akan jadi anggota DPR lagi? Dan itu berarti kelakuannya juga tidak banyak berubah bukan?
Kalau ingin lebih hebat dan pasti menang dalam pemilihan Presiden yang akan datang ini, ada rahasia kata-kata sakti yang ingin saya sampaikan pada Pak Jokowi, inilah kata-kata sakti tersebut yang harus disampaikan kepada rakyat: “SAYA AKAN UTAMAKAN BERKOALISI DENGAN RAKYAT, KARENA SAYA AKAN MEMIMPIN PEMERINTAHAN DENGAN BERSIH-ADIL DAN TEGAS”. Percayalah tidak perlu dua putaran untuk memenangkan pemilihan Presiden. Kalau tidak ingin menyinggung perasaan peserta koalisi atas ucapan sakti tersebut, bisikkan dulu kata tersebut kepada peserta koalisi supaya jangan tersinggung dan minta dimaklumi karena memang itulah janji yang akan dilaksanakan. Hebat bukan? (SPMC SW, April 2014)
.
———————
.
STRATEGI “GILA” OTAK-ATIK PDIP
.
http://t.co/L8zYtNzMwv
.
———————-
.
SEGERA DIBUKA LELANG JABATAN MENTERI
.
http://t.co/tqKHOlD15x
.
**************

SEGERA DIBUKA LELANG JABATAN MENTERI ("AMBISI TEAM SUKSES")


Blogspot. Mencermati gelagat perpolitikan Negeri ini “saat-ini”, walau saya berdoa tidak terjadi pengulangan sejarah tentang Pemerintahan, tapi saya kawatir begitulah yang akan terjadi.
Ketika mencermati Pak Jokowi mengatakan “Gotong Royong” untuk membangun Pemerintahan, kita tinggal menanti dengan siapa saja koalisi dijalin. Walau secara teori mengatakan koalisi bertujuan menggalang kesamaan platform, tapi sungguh wacana suaranya seperti akan terjadi pengulangan sejarah. Bukankah begitu juga waktu itu didengungkan pada periode Pemerintahan yang sekarang masih kuasa?
Kalau nanti terjadi Pemerintahan yang akan dibangun lebih mengutamakan keamanan keberlangsungannya, sehingga kalkulasinya koalisi supaya lebih 50 persen suara di Parlemen, sudah lebih dari cukup bahwa kita tinggal menanti waktu sebagai saksi pengulangan sejarah, hanya mungkin detailnya saja yang beda. Apa mungkin peserta koalisi menyumbangkan suara-nya saja tanpa imbalan apapun juga?
Sungguh salah satu harapan saya terhadap Pak Jokowi adalah keberanian mengambil resiko, saya pikir dengan modal REKAM JEJAK yang dimiliki-nya selama ini, beliau akan berani menjalankan Pemerintahan tanpa harus bagi-bagi jatah menteri. Saya sangat berharap Pak Jokowi berani bebas memilih Menteri-Menteri untuk mendukung Pemerintahan-nya yang tentu saja rakyat mengharap akan “Bersih-Adil-Tegas”. Dan apakah itu bisa terjadi seandainya akan menjalin koalisi gendut, bukankah contoh ada didepan mata?
Pak Jokowi, sekali lagi saya harapkan, koalisi secukupnya untuk memenuhi persyaratan saja, kalau mau dengan satu partai, Nasdem atau PKB. Ulasannya adalah:
NASDEM
Punya tipi, biaya promosi bisa jadi lebih murah, dan lebih bisa di-nego-kan supaya nama Wapres dari Jokowi, tapi direkrut oleh Nasdem(mewakili Nasdem). Begitu juga dengan jatah Menteri-nya, dipilih dan boleh ditolak oleh Pak Jokowi walau atas nama Nasdem, supaya seimbang sesuai proporsinya saja, 20 persen masuk akal, karena juga sudah menaruh Wapres.
PKB
Sejarah keterkaitan dengan PDIP lumayan. Tapi nama Wapres yang diajukan oleh PKB jangan Roma, karena akan kontradiksi dengan pendukung Jokowi yang lebih terbuka. Juga jangan dengan Cak Imin sendiri, karena bagaimanapun juga etika juga harus diperhatikan, bukankah Cak Imin telah berjanji tidak akan maju sendiri, tapi menjanjikan kepada Roma/Mahfud MD/JK? Syarat yang lainnya idem diatas.
Saya sangat optimis Pak Jokowi bisa memenangkan pemilihan Presiden yang akan datang, itulah sebabnya artikel ini saya buat. Dan saya sangat yakin, banyak orang yang berpikiran seperti saya ….mengharapkan pemerintahan yang bersih-adil-tegas, dan itu tidak akan bisa terjadi kalau “hanya” Presiden-nya saja yang jujur. Tapi juga harus didukung oleh Menteri-Menteri-nya. Itulah alasannya, kalau PDIP (Jokowi) tidak banyak berkoalisi dengan partai lain, masih ada tempat untuk memilih Menteri dari kalangan profesional atau tokoh diluar partai yang bersih dan berani.
Saya sangat mengharap ada revolusi dalam Pemerintahan yang akan datang, revolusi yang membuat Indonesia menjadi hebat. Dan itu bisa terjadi kalau koalisi Pemerintahan lebih banyak dengan rakyat saja, caranya adalah “keterbukaan dan kejujuran”, karena memang rakyat sudah tidak terlalu percaya dengan partai apapun itu. Begitu menurut saya, maaf kalau salah. Dan …konon kabarnya ….salah satu ciri satrio piningit adalah berani mengambil resiko, benar tidak? (SPMC SW, April 2014)
———————
.
STRATEGI “GILA” OTAK-ATIK PDIP
.
http://t.co/L8zYtNzMwv
.
———————-
.
“PASUKAN SILUMAN PENYEBAB GATOT JOKOWI EFFECT”
.
http://t.co/WsPzbC7Pe8
.
————————

"PASUKAN SILUMAN PENYEBAB GATOT JOKOWI EFFECT"


Blogspot. Waktu sempat pulang kampung dalam masa kampanye beberapa waktu yang lalu, dan bertemu dengan beberapa tetangga serta kenalan, kami sempat bercerita tentang Coblosan Pemilu. Gambaran informasi dari pertemuan tersebut dapat saya simpulkan (maaf) “Jokowi Yes - PDIP No”.
Memang ada yang bisa diberi pemahaman tentang pentingnya dukungan suara di Legislatif, tapi pendapat mereka itu sepertinya begitu massif. Rakyat sepertinya banyak yang apatis menyangkut partai politik, dan sebetulnya itu adalah kesalahan para tokoh politik itu sendiri, juga kesalahan penyelengara negara didalamnya. Kalau kita cermati dari awal, bukankah kita semua sama-sama tahu, untuk bisa menjadi Caleg ada mahar yang tidak murah. Pengecualian bagi mereka yang “berdarah pelangi” atau bagi mereka yang berstatus “selebriti”. Lalu untuk pengumpulan massa supaya ikut hura-hura kampanye, kita semua juga paham ada calo pengerah-nya. Calo transaksi dukungan suara untuk Caleg juga banyak kita pahami. Lalu saweran waktu kampanye juga sering kita lihat tertangkap kamera dan tayang di tipi-tipi. Dan masih banyak sekali cerita semacam itu, cerita tentang politik uang, pelanggaran aturan, dan lain-lain ……
Hukum tidak pernah ditegakkan, itu adalah fakta, saweran dimaklumkan, serangan fajar kalau tertangkap paling yang apes adalah pengedarnya, tapi Caleg-nya sendiri aman-aman saja. Jadi itu semua meng-akumulasi menuju dua arah, kalau saya ibaratkan arah ke-kiri dan ke-kanan, maka yang kekiri untuk Caleg menimbulkan efek meraja-lelanya korupsi karena mahalnya biaya untuk mendapatkan jabatan tersebut. Lalu arah kanan kemasyarakat, melihat maraknya korupsi, seringnya menerima bayaran uang kampanye dari semua partai, menerima serangan fajar juga dari banyak Caleg, menimbulkan pandangan ketidak percayaan terhadap semua partai. Dan itu juga penyebab utama GOLPUT selalu menjadi juara.
Itulah sebabnya untuk kampanye Legislatif, mengapa Jokowi efek sepertinya tidak maksimal. Dan sangat masuk akal bahwa “Jokowi Yes, PDIP No” tidak dapat diurai pemahamannya oleh rakyat akar rumput, dan itu menggambarkan tidak maksimalnya PDIP dalam berkampanye, atau malah tidak menyinggung tentang hal itu. Bukankah seharusnya diterangkan apa perlunya mereka memilih PDIP untuk Jokowi? Apalagi yang dicoblos juga tidak ada nama Jokowi sama sekali. Rupanya Jurkam PDIP menganggap pemahaman rakyat akar rumput sama dengan pemahaman mereka. Tapi sejujurnya kalau mau memberi pemahaman tentang hal itu tidak mudah dilakukan, perlu banyak waktu dan “team yang canggih serta efektif”, karena sasarannya adalah rakyat akar rumput.
Jadi ….apakah “Jokowi Efek” tidak ada pengaruhnya, untuk rakyat perkotaan atau mereka yang lebih banyak paham tentang politik, ada! Tapi untuk rakyat akar rumput, sangat sedikit!
Pada Pemilu Capres/Cawapres yang akan datang, hasilnya pasti sangat beda, karena yang dicoblos adalah nama Presiden dan masih ditambah ada foto-nya. Jadi saya sangat yakin Jokowi sepertinya masih tidak terbendung, asal tidak ditaruh nomor dua atau dipasangkan dengan tokoh yang justru tidak disuka masyarakat, atau tokoh nepotisme karena darah pelangi padahal belum terlihat ke-tokoh-an-nya. Walau sebelum-sebelumnya ada yang beranggapan Jokowi dipasangkan dengan kucing sekalipun pasti menang, semoga para petinggi di PDIP utamanya Ibu Mega tidak tergoda dengan hal itu. Ada masanya sendiri mengorbitkan tokoh lain, dan pasti ada jalannya kalau Tuhan menghendaki.
Saya sangat mengharap para pengamat yang memberi kesimpulan tentang tidak signifikannya “Jokowi efek” membaca artikel ini, setidaknya memberi tanggapan agar saya dapat belajar lebih banyak untuk menjadi pengamat politik. Bukankah itu belajar gratis ….hehehehehe, terimakasih kalau berkenan.
Mengenai prediksi berdasarkan survei PDIP akan mendapat suara lebih 30 persen karena Jokowi Efek, lalu kenyataannya tidak tercapai, dan banyak pengamat berkesimpulan ternyata nama Jokowi tidak cukup signifikan untuk mendulang suara. Kenapa ya kok tidak satupun yang justru menyalahkan lembaga survei-nya? Bukankah itu fakta kesalahan lembaga survei mengambil data input? Harusnya data inputnya banyak dari rakyat akar rumput, bukankah suara seorang Profesor Politik sekalipun sama nilainya dengan suara seorang petani yang keberadaannya dipelosok Negeri ini? Dan yang juga “sementara” boleh dianggap pasti, kenapa kemenangan PDIP kok sepertinya dilupakan oleh banyak pengamat, sepertinya mau diingkari tidak adanya Jokowi Efek? Bukankah pemilu sebelumnya PDIP ada diurutan ke tiga? Semua target partai peserta pemilu tidak ada yang tercapai, dan itu kenyataan bukan?
Sepertinya akan menarik mengikuti Pemilu tahun ini, terutama semarak wacana banyak pengamat, dan kejujuran dalam segala hal tetap diatas segala-galanya. (SPMC SW, April 2014)
.
———————–
.
Catatan:
Berdarah pelangi = Kerabat atau kroni petinggi atau pendiri partai.
Mohon maaf kalau artikel ini ternyata banyak yang tidak suka, juga untuk petinggi partai PDIP, mungkin saya keterlaluan ya …..?
Pasukan Siluman yang dimaksud dalam artikel ini adalah “team yang canggih serta efektif”.
Salam (SW)
.
———————
.
STRATEGI “GILA” OTAK-ATIK PDIP
.
http://t.co/L8zYtNzMwv
.
———————-

STRATEGI "GILA" OTAK-ATIK PDIP


Blogspot. Setelah Pemilu Legislatif selesai, kini semua partai politik bergegas kalkulasi untuk Pemilu Presiden. Koalisi adalah keniscayaan, bahkan juara satupun “sepertinya” tidak cukup suara untuk mencalonkan diri sendiri. Bisa jadi koalisi-nya akan diluar prediksi banyak pengamat, karena seperti yang sudah banyak ditereak-kan orang tentang politik, “Tak ada musuh atau teman abadi, yang ada adalah kepentingan saat ini”.
Walau begitu, sebaiknya para tokoh politik juga memperhatikan psikologi massa, karena pemilu langsung adalah hak rakyat untuk memilih siapa. Kecerdasan membaca keinginan masyarakat inilah penentu kemenangan Pemilu Presiden, sudah banyak contoh kalkulasi persentase angka suara tidak otomatis akan jadi juara setelah di-implementasikan. Bukankah Pilkada DKI hampir semua partai yang mendukung Foke juga kalah?
Memperhatikan peta perolehan suara Pemilu Legislatif, dan juga mencermati wacana partai dalam mengusung calon Presiden yang selama ini disuarakan, besar kemungkinan yang akan mengajukan Capres adalah:
GOLKAR
Wacananya sudah sangat lama, bahkan suara dari dalam partainya sendiri kalau menentang akan terlibas, jadi ARB besar kemungkinan akan maju jadi Capres.
GERINDRA
Sangat inginnya Prabowo untuk menjadi Presiden tidak dapat ditutupi, dan sepertinya pantang untuk jadi RI-2, jadi besar kemungkinan Prabowo akan maju jadi Capres.
PDIP
Sebagai pemenang pemilu, tentu saja sangat kebangetan kalau tidak mencalonkan Capres, bisa jadi akan menimbulkan anti-pati masyarakat kalau itu tidak dilakukan, jadi mau atau tidak, Jokowi harus dimajukan sebagai Capres.
.
“ANALISA PETA KOALISI”
PDIP(19) + GERINDRA(11), memenuhi syarat, tapi saya sangat yakin tidak akan terjadi. Alasannya, Prabowo sudah sangat ngebet ingin jadi Presiden, tapi sangat konyol kalau Jokowi jadi No.2 padahal suara terbanyak ada di PDIP. Walau hujatan dalam kampanye yang dilakukan oleh Gerindra bisa dikesampingkan oleh Partai PDIP atas nama kepentingan sesaat, tentu tidak mudah dilupakan oleh masyarakat pemilih. Lalu menelisik pengalaman pemilu sebelumnya, (maaf)MEGAPRO tidak dikehendaki oleh rakyat, untuk tidak menghakimi salah satu pihak, maka saya anggap kedua tokoh tersebut tidak layak dikompetisikan kalau tidak ingin mengulangi kekalahan yang sama. Jadi sudah sangat bijaksana Ibu Mega mengambil keputusan untuk mamajukan Pak Jokowi, semoga tidak salah mengambil kebijakan untuk bergabung dengan GERINDRA, walau Prabowo andainya bersedia jadi Cawapres. Dan itu sangat penting menurut analisa saya. (Kecuali GERINDRA diwakili AHOK hehehehe)
Karena perkiraan saya GOLKAR harga mati akan mengusung Capres, maka tidak mungkin juga PDIP koalisi dengan GOLKAR.
Kalau Pemilu Legislatif saja masyarakat memperhatikan tokoh Presiden yang akan diusung, apalagi Pemilu Presiden/Wapres, maka pengajuan figur yang tepat adalah keniscayaan kalau ingin jadi pemenang.
Untuk PDIP(19), saya sangat menganjurkan koalisi dengan PKB(9), tentu saja PDIP yang harus aktif meminta, tapi yang diminta adalah Mahfud MD bukan Roma, dan kalau PDIP yang aktif, itu memberi jalan keluar bagi Cak Imin, karena sampai dengan saat ini, Roma sudah sangat piawai memagari dengan rasa ewuh-pekewuh kalau sampai Cak Imin tidak memajukan Roma. Tapi dengan adanya permintaan tokoh dari PDIP, tentu saja memberi jalan keluar bagi Cak Imin untuk melewati garis ewuh-pekewuh tersebut, jangan ber-koalisi dengan PKB jika tidak mau mengajukan Mahfud MD.
PDIP(19) + NASDEM(6), masih mungkin, tapi apakah Surya Paloh termasuk tokoh yang menjual, menurut saya masih riskan, tapi kalau memperhatikan lawannya adalah ARB dan Prabowo, besar kemungkinan Jokowi jadi pemenangnya. Jadi intinya adalah tidak memasangkan Jokowi dengan tokoh yang justru akan sangat kontradiktif, misalnya Jokowi + Roma, Jokowi + Prabowo, Jokowi + ARB. Apalagi menaruh Jokowi di nomor 2, pasti hasilnya akan sangat mengecewakan, bahkan cenderung bunuh diri.
Kalau mau memajukan Jokowi dengan Dahlan Iskan, itu juga tidak masalah, terlebih DI termasuk netral, tidak kental Demokrat tapi Demokrat mau memberi dukungan. Itu berarti PDIP(19) + Demokrat(9), memenuhi syarat.
PDIP(19) + PAN(7), syarat juga terpenuhi, berarti Hatta Rajasa jadi No.2, bisa jadi akan menang karena seperti juga sudah diduga banyak orang sebelumnya, Jokowi pegang peranan penting dalam mendulang suara, kalau toh banyak tokoh pengamat yang menyuarakan bahwa efek Jokowi ternyata tidak signifikan, jangan terlalu dimasukkan hati, itu pendapat yang sangat bermuatan kehendak lain, karena apa ukuranya? Kenyataan PDIP jadi juara itu adalah pasti, berkurangnya Golput itu juga sesuatu yang pasti, tapi mereka tidak mau menyatakan bahwa itu berkaitan dengan Jokowi, padahal sudah banyak yang menyatakan mereka turun gunung karena ada Jokowi. Kalau PDIP meminta tokoh dari PAN yang diajukan adalah Drs.H. Suyoto M.Si (Kang Yoto), Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, bukan tidak mungkin akan menggegerkan perpolitikan Indonesia, anak-anak muda akan berbondong-bondong memilihnya. Soal namanya belum populer, tidak ada masalah, begitu diumumkan otomatis akan menjadi topik pembicaraan yang tiada henti, akan di buru para pewarta, dan itu iklan gratis yang luar biasa.
Jadi intinya adalah penentuan figur calon pendamping, bahkan sangat mungkin menang kalau berani mencalonkan tokoh seperti Prof. DR. Ir. H.M. Nurdin Abdullah, M.Agr., Bupati Bantaeng, Makassar, Sulsel. Minta saja partai NASDEM untuk merekrut yang bersangkutan dengan melobi partai GOLKAR terlebih dahulu, bukankah waktu itu Ahok juga mirip begitu? Pasangan yang pasti akan mendulang “luber” suara karena juga mewakili luar Jawa.
Sebagai pertimbangan figur tokoh yang positif untuk memenuhi keinginan masyarakat dalam mencari pasangan untuk Jokowi oleh PDIP, menurut saya adalah:
1. Mahfud MD via PKB.
2. Ahok via GERINDRA atau minta NASDEM untuk rekrut Ahok
3. Prof. DR. Ir. H.M. Nurdin Abdullah, M.Agr., Bupati Bantaeng, Makassar, Sulsel via NASDEM untuk rekrut.
4. Dahlan Iskan via Demokrat.
5. Drs.H. Suyoto M.Si (Kang Yoto), Bupati Bojonegoro, Jawa Timur via PAN.
Sudah saatnya Indonesia menjadi hebat, dan itu butuh dipimpin oleh orang-orang hebat. Dan saya sangat yakin PDIP akan menjadi hebat kalau berani melakukan revolusi dalam menentukan figur tokoh Cawapres-nya.
Yang tidak kalah pentingnya adalah koalisi dengan satu partai saja, supaya tidak bagi-bagi jatah Menteri, karena bagi-bagi jatah jabatan Menteri sudah sangat jelek dipandang dari sudut manapun juga. Keinginan tentang kuatnya pemerintahan jika mendapat dukungan dari parlemen bisa dipahami, tapi bukankah itu yang kita saksikan pada pemerintahan yang masih berlangsung saat ini, yang juga menggalang koalisi dengan gendut? Kalau berencana menciptakan pemerintahan yang bersih, kenapa harus takut? Kalau yakin akan kebersihan diri sendiri dan sama sekali mengharamkan korupsi oleh kroni, tidak perlu harus menggalang koalisi dengan pola pikir kemenangan suara parlemen, kecuali memang berpikir untuk menjarah uang rakyat. Jadi sebaiknya terbuka dan jujur saja, berkoalisi dengan rakyat pasti lebih hebat. Tapi saya tidak bermaksud mengatakan koalisi tidak penting, bukan disitu titiknya.
Dan akan lebih bagus kalau jatah Menteri nantinya tetap dipilih oleh PDIP dan Jokowi dengan pertimbangan dari Wapres terpilih, walaupun tokoh menterinya dari partai koalisi sesuai dengan jatah yang disepakati. Itu penting dibicarakan dari awal supaya tidak terjadi masalah, dan terutama pemerintahan bisa berjalan dengan baik dan bersih. Jadi bukan pasti diterima setiap usulan nama oleh partai koalisi.
Hidup terkadang memberi pilihan untuk Anda menjadi hebat atau terpuruk, dan keberanian menentukan pilihan itulah yang akan mencatatkan Anda dalam sejarah orang hebat. Berbahagialah Anda yang punya kesempatan untuk itu, karena jarang ada kesempatan yang bisa didapatkan oleh setiap tokoh sekalipun. Dan kini Ibu Megawati masih punya kesempatan untuk itu. Tapi untuk kali ini juga dibutuhkan “kecepatan” dalam mengambil tindakan yang berani. Saya tahu ini adalah pertaruhan lanjutan setelah dengan berani menentukan Jokowi sebagai Capres dari PDIP. Salut …. seandainya saya punya kesempatan untuk langsung menyampaikan kepada beliau. (SPMC SW, April 2014)
———————————-
Artikel inipun juga saya sampaikan untuk Ibu Megawati, mohon maaf kalau sepertinya sangat lancang atau terkesan men-dikte, tapi saya hanya berniat sumbang pendapat, karena hanya itu yang dapat saya lakukan sebagai pendukung Jokowi untuk menjadi Presiden Negeri ini. (SW).
——————————–
.
“REKAM JEJAK TRAGEDI MEI-98″
.
http://t.co/bop3ecT2eF
.
———————————-

"WOLAK-WALIK ZAMAN, CAK IMIN GUSUR SBY?!"


Blogspot. Saudara saya dan istrinya tidak mendapat undangan untuk nyoblos, mengikuti iklan di tipi-tipi, akhirnya kami membujuknya untuk datang bersama-sama ke TPS dengan bermodal KTP dan copy KK, lalu kami serahkan dan katakan pada petugas kalau “tidak dapat undangan”.
Kemudian kami disuruh foto copy KTP-nya, dan saya sempat protes … Padahal di-iklan-kan di tipi bukan begitu prosedurnya, apalagi hari libur juga bukan hal yang mudah untuk cari tempat foto copy. Tapi seperti biasa pada semua hal …… apakah rakyat pernah benar/menang lawan penguasa?
Saudara saya tersebut sudah tidak berminat untuk mengikuti coblosan, dan ada diantara kami (rombongan besar) yang tidak menyerah begitu saja, segera mencari tempat foto copy, hasilnya ….. Setelah kami dapat foto copy dan menyerahkannya pada petugas yang dilampiri dengan foto copy KK, kami menunggu ditempat duduk yang disediakan ……. Tidak lama kemudian …..salah satu petugas TPS mendatangi kami sambil membawa berkas kami tersebut …..
Apa yang terjadi …… Kami disuruh ke RT untuk minta surat keterangan ….huh!
Pupus sudah harapannya …. Kenapa sebelumnya tadi tidak dibilang sekalian? Hampir tidak tahan untuk tidak emosi, rasanya kok kami dipermainkan dengan syarat-syarat cicilan yang dilakukan.
Pertanyaannya adalah, sebetulnya rakyat itu diminta Golput atau dipermainkan dulu sebelum nyoblos? Ah ….sudahlah lupakan saja, jadi jangan heran kalau Golput tetap jadi pemenangnya.
Mencermati keadaan berita di tipi-tipi, agaknya “virus” Jokowi cukup signifikan mendulang suara, seperti yang pernah saya bilang, banyak Caleg dari PDIP yang akan “ketiban ndaru”. Tuhan memang luar biasa, membalikkan kalkulasi perhitungan banyak pengamat dan tokoh yang sudah sangat mengharap untuk menjadi Caleg.
Yang luar biasa adalah Demokrat bisa jadi tergusur oleh PKB, salah satu partai koalisi yang selama ini dianggap hanya sebagai pelengkap penderita. Salut untuk Cak Imin, strategi untuk menggaet Roma, Mahfud MD dan JK membuahkan hasil.
Pemilu Capres sudah bisa ditebak, sepertinya yang akan maju “minimal” dari 3 partai, PDIP - Golkar - Gerindra. Bisa jadi Capres PKB akan maju kalau mendapat dukungan, apakah mungkin akan koalisi dengan Demokrat? Gantian siapa yang nge-bos-in ….hehehe. Tapi bisa jadi itu juga masih kurang suara …. Pasti akan seru kalau PKB hanya berkoalisi dengan PKS ditambah PPP, karena itu belum pernah terjadi, wow …mencermati ini bakalan seru ….apa yang akan dilakukan oleh PKB pastinya akan menjadi berita hangat dikemudian hari.
Ayo kita saksikan serunya pemilu Negeri ini, akan ada minimal 3 pasang Capres/Cawapres ditambah 1 lagi dari PKB. Tapi saya tetap yakin Jokowi akan mendapat kepercayaan rakyat untuk memimpin Negeri ini, bolehkan memprediksi? Hehehehe ….(SPMC SW, April 2014)

Monday, April 7, 2014

CITRA-PENGUASA ADALAH SEGALANYA, SEGALANYA ADALAH CITRA-PENGUASA




Trenyuh sukmaku
Paduka menggerutu
Wacana dan gosip tertuju
Adipati terbelenggu

Doa dipanjat
Dari tanah suci
Mantapkan hati
Sebelum bersikap

Menghimbau berkeluh
Tak beda
Partai terpuruk
Paduka gundah

KPK menetap
Adipati terperangah
Pewarta mengejar
Tak mungkin hindar

Adipati tutup buku
Paduka mau
Buka halaman satu
Semua mau tau

Paduka merangkap
Lupa sabda sendiri
Pakai jurus konvensi
Tuk bangkit lagi

Terperangah naluri
Lihat Paduka konferensi
Korupsi mendera kroni
Sibuk buat alibi

Korupsi di-statistik tuk data
Korupsi di-timbang tuk keringanan
Korupsi di-banding tuk tanding
Korupsi di-bangga ngaku dikit

Sedih menerima nyata
Apa paduka lupa etika?
Bisa jadi ulah pembisik
Kenapa tidak telisik?

Impian partai menang
Tetap jual kebersihan
Itulah konsistensi
Nekat diwacanakan

Lupa pesan kader populer
Kampanye bertingkah hebring
Tertangkap kamera lagi nyawer
Ternyata kader mbeling

Tak apa kampanye bagi rente
Bukankah semua Caleg melakukan?
Korupsi sudah dibandingkan
Saweran juga bagus disamakan

Jadi rakyat harus pilih mana?
Ternyata semua sama saja
Ngaku bersih atau ganyang koruptor
Ternyata bobrok jadi pelopor

Jakarta miniatur Indonesia
Senin dua hari sebelum pemilu
Terlihat lebih lapang dari biasa
Apakah itu pertanda Golput juara?

------¤¤¤------

(Blogspot, (PS) SPMC SW, April 2014)

-----------------------
Catatan:

PS = Puisi Sensi.
"Adipati" bisa dikonotasikan Ketua Umum Partai.
Salam (SW)

Saturday, April 5, 2014

"POLITIK KAMIKAZE GERINDRA"

                        ( Image source: jeffreyhill.typepad.com)

Blogspot. Ketika mencermati "gaduh" kampanye Pemilu Legislatif yang berakhir Sabtu, 5 April 2014, ada tokoh politik yang menjadi enemy semua partai dan semua tokoh politik lawan. Tapi dari semua partai yang menyerang sang tokoh, ada satu partai dengan 99,9 persen tokoh didalam partai tersebut yang melakukan kamikaze. Saya katakan "kamikaze" (serangan bunuh diri ala Jepang dalam perang), karena ketika Pilkada DKI yang lalu, partai ini adalah bagian dari pengusung kemenangan sang tokoh untuk menjadikannya DKI-1.

Betul-betul blunder, ketika pada saat mengkampanyekan jadi DKI-1 yang lalu, mereka menyanjung-nyanjung, dan kini tiba-tiba mereka menghujat dengan sadis. Padahal ....pencalonan sang tokoh belum resmi di-daftarkan, karena memang pendaftaran tersebut belum dibuka, dan juga belum ada yang punya hak untuk bisa mendaftarkan jagoannya sebagai Capres dari partainya. Siapapun itu!

Iseng saya mencari berita lewat Om Google, saya cari satu nama yang pernah menjadi bagian penting team sukses kampanye pemenang Pilkada DKI saat itu, yang bersangkutan adalah anggota DPRD dan Ketua Fraksi partai G, lalu saya juga membaca berita-berita yang bersumber darinya pada tahun 2013, beliau saat itu menyanjung tentang kehebatan Jokowi, Kampung Deret sukses, Kaki-lima Tanah-Abang sukses, Waduk Pluit sukses ...dan lain-lain yang serba sukses. Apakah tidak menggelikan ketika saat-saat sekarang ini mengatakan "Tak satupun masalah di DKI yang diselesaikan Jokowi". Piye toh? Jadi sebetulnya yang plin-plan ini siapa? Pihak mana? Nafsu akan jabatan betul-betul membutakan akal sehat dan rela keblinger walau harus menelan muntahan ludah sendiri. Siapa ya yang betul-betul labil......? Moga-moga ingat untuk tidak terlalu vulgar menelanjangi diri sendiri, punya malu dikit lah .... Apakah Pak Fadli Zon termasuk kelompok ini juga?

Padahal .....sampai dengan detik ini, DKI-1 dan DKI-2 masih tetap, masih menjabat, masih bekerja sama, berarti masih mitra. Menurut saya partai G saat ini sedang blunder, absurd, atau kamikaze namanya? Kenapa tadi saya bilang 99,9 persen, karena ada satu tokoh yang mungkin sedang terjepit, yaitu DKI-2, kasihan .....membayangkan diposisinya pasti juga sulit, jangan-jangan waktu kampanye Pilpres nanti juga akan dipaksa untuk ikut kamikaze. Kalau menolak kamikaze, pasti akan runyam DKI, dan mencermati keadaan tersebut, bisa jadi DKI juga akan bermasalah. Semoga yang terbaik terjadi, masih ada kewarasan dibalik kemelut berebut jabatan yang melanda Negeri ini. Bahkan kalau seandainya DKI-2 betul-betul tersudut, kalau menurut saya, dari pada harus kamikaze, pada saat terdesak itulah, semoga partainya Pak Jokowi sekalian menawarkan untuk DKI-2 pidah kepartainya saja .....hehehehe.... pasti akan lebih heboh, dan saya percaya rakyat juga banyak yang bisa memahami, asal dalam posisi tersudut lho ya, posisi yang betul-betul diharuskan kamikaze. Dan saya pikir kalau itu terjadi justru menyelamatkan DKI khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Titik.

Supaya lebih jelas posisi, maaf saya mau cerita. Pada Mar 23, 2014 10:33 saya mendapat email yang isinya begini:

Terima kasih Pak Soehindro Wibisono.

Mohon dukungan dari Bapak dan teman-teman untuk Indonesia yang lebih baik bersama Capres kami, Ir. Joko Widodo..

Terima Kasih.

Hormat Saya,
Megawati Soekarno Putri

Email tersebut menjawab email saya yang saya kirim pada 5 Juni 2013 10.56. Sedangkan isi email saya adalah:
.
( SURAT UNTUK PDIP )
.
http://t.co/5unOnFiBCT
.
Pada awal Juni tahun lalu, sewaktu saya buat surat untuk PDIP, saya tidak tahu kapan tepatnya waktu kampanye, data yang ada adalah tanggal 11 Januari 2014, itulah sebabnya saya "salah" memprediksi atas kapan pengumuman pencalonan Jokowi sebagai Capres, tapi alur logikanya benar (Sebelum kampanye Legislatif).

Beberapa hari yang lalu saya sempat pulang kampung, waktu ngobrol dengan tetangga yang ada dikampung halaman, karena saat ini sedang musim kampanye, tentu saja saya nanya .... "Siapa jagoan pilihannya untuk memimpin Negeri?" Dijawabnya "Jokowi". Lalu saya tanya lagi "Berarti tanggal 9 nanti nyoblos PDIP dong?" Anehnya ....yang bersangkutan bilang "Tidak ikut nyoblos tanggal 9 nanti, Pemilu Presiden saja" jawabnya. Lalu saya berwacana gini: Kalau Presiden jagoan kamu menang, tapi suara di DPR-nya sedikit atau kalah, sehebat apapun Presidennya tidak akan bisa menjalankan pemerintahan dengan baik, karena kebijakan-kebijakannya akan selalu ditentang oleh DPR, dan banyak dari kebijakan yang memang harus minta ijin DPR untuk boleh dilaksanakan. Jadi kalau mau jagoannya menang dan bisa melaksanakan tugasnya dengan lancar, juga harus dibantu pemenangan untuk suara di DPR-nya. Karena bukankah yang kita rasakan sampai sekarang ini, DPR itu hanya sebutannya saja mewakili rakyat, tapi sejatinya hanya mewakili Partai-nya. ...bla bla bla ....bla bla bla ....

Akhirnya Mas "K" tetangga saya bilangnya gini: Gitu ya Mas, kalau gitu tanggal 9 nanti saya mau nyoblos partainya Jokowi, dan saya akan kasih tahu teman-teman kerja saya maupun kenalan-kenalan saya yang memang banyak sekali hanya ingin nyoblos waktu Pilpres saja.

Begitulah, ada beberapa orang yang sempat saya temui dan kurang lebih pembicaraannya begitu. Tapi tentu saja saya tanyakan dulu Presiden jagoannya, kalau yang bersangkutan tidak menyebut Jokowi, tentu saja saya tidak menjelaskannya seperti itu. (SPMC SW, April 2014)

------------------------
.

"TRAGEDI MEI-98" || (Puisi Sensi)
.
http://t.co/bop3ecT2eF
.
------------------------

Catatan:

Mohon maaf kepada Ibu Mega karena email-nya saya share di artikel ini.

Kamikaze bisa jadi akan menguntungkan partai lain yang cerdas mengambil sikap.
------------------------

Tuesday, April 1, 2014

“APRIL 9th, CORRUPTORS IDOL”

                               (Image source: waspada.co.id)


Blogspot. Bisa jadi ini pendapat nekat, atau keblinger? Entahlah, tapi saya sangat ingin menyuarakannya.
Musim kampanye sudah dua pekan, debat politik juga sudah banyak dilakukan di tipi-tipi. Setelah Pemilu Legislatif nanti, penyelenggara Pemilu dan tipi pasti bekerja sama melakukan debat kandidat Capres/Cawapres yang disiarkan secara langsung.
Memperhatikan itu semua, saya justru mengira bahwa kampanye-kampanye yang dilakukan oleh semua partai tidak ada gunanya. Sebagai masyarakat biasa, saya tidak melihat manfaat kampanye yang dilakukan oleh semua partai, begini penjabarannya.
Kampanye oleh semua partai dilakukan dan dirancang sedemikian rupa oleh semua partai yang kampanye, bahkan saat ini juga banyak konsultan politik yang bertugas memberi masukkan demi kebaikan partai, memoles sedemikian partai supaya menarik. Jadi menurut saya semua partai pasti mencitrakan diri sebaik mungkin, tak ubahnya iklan kecap, tidak ada yang nomor dua bukan?
Jadi sebetulnya kampanye tidak banyak memberi manfaat, kecuali demi perputaran uang keseluruh rakyat peserta kampanye, karena bukankah kita semua tahu, semua peserta kampanye pasti mendapatkan uang “transport” di-istilahkannya. Atau juga saweran, bantuan, bagi-bagi jatah order percetakan, biro iklan, konfeksi, sampai dengan penyewaan pesawat atau heli ….
Duitnya siapa untuk perputaran itu semua? Begitu juga para calon anggota legislatif, berapa banyak biaya dibutuhkan, mulai dari mahar hak penyematan bendera di dada sampai biaya kampanye, padahal hitungannya tidak akan balik modal dari gaji yang akan diterima. Gunjingan semacam itu sudah sangat sering kita dengar bukan? Sudah berpuluh tahun terjadi, tapi bangsa ini tidak dapat menyelesaikannya. Karena semuanya mau tunggu balik-kan modal dulu, jadi entah kapan stopnya? Tunggu kiamat? Itulah sebab koruptor lebih marak dari cendawan dimusim hujan.
Sungguh kampanye umum atau kampanye akbar mereka istilahkan, tidak ada manfaatnya, semua partai pasti janji manis, bukankah begitu kenyataan dari jaman bahuela dulu. Soal realisasi janji, berarti kita juga sudah punya pengalaman sebanyak mereka berjanji bukan? Apa ada manfaatnya? Kalau memang bertujuan untuk memeriahkan sebagai hiburan mungkin lain lagi, dan saya memang sempat nyengir ketika partai Garuda berjanji memberi 1M/tahun tiap desa, lalu partai Kuning menyebut angka 1,2M, dan terakhir partai Mercy 1,4M. Bagaimana tidak nyengir, semua yang tereak janji juga sudah sama-sama tahu bahwa itu adalah perintah UU yang sama, jadi unsur pencerdasannya dimana?
Kalau zaman purba negeri dimiliki oleh raja dan keturunannya, memang rasanya kurang adil, tapi sebetulnya zaman sekarang juga tidak bisa seratus persen menghilangkan ketidak adilan tersebut. Dengan memberi label demokrasi, partai-lah kini yang menguasai negeri. Tapi bagaimana umum bisa masuk partai tersebut? Disitulah lebih tampak ketidak adilannya. Semua pemegang posisi penting partai adalah kerabat dan kroni, kenapa tidak ada pintu masuk yang sama untuk umum? Atau jenjang karir yang jelas seperti kenaikan tingkat pada sekolah atau kuliah.
Maka yang merasa punya senjata harta dan nama, akan membuat partai sendiri, begitu seterusnya, dan kalau ini terus berlangsung, entah berapa ratus tahun lagi semua sila pada Pancasila dapat terimplementasi dengan baik dan benar? Bisa jadi kiamat datang duluan.
Mestinya harus ada aturan yang jelas untuk partai, tidak peduli siapapun pembuatnya. Maka ketika partai tersebut melakukan nepotisme, tidak punya jenjang karir yang jelas dan tidak berlaku untuk umum secara adil, partai tersebut layak dibubarkan. Karena bukankah partai yang akan menguasai negara, padahal negara adalah milik semua warganya.
Kalau semua yang merasa mampu terus dibolehkan membuat partai, bukankah yang kita rasakan sampai saat ini partai adalah sumber terjadinya korupsi? Pemikiran untuk batasan tentang partai juga pernah saya ulas pada artikel:
.
MERUBAH PERPOLITIKAN NKRI SETARA AMERIKA
.
http://t.co/u7XhF9YLrO
.
Menghadapi kenyataan yang ada saat ini, singkatnya menurut saya adalah REKAM JEJAK, percayalah semua partai tidak bersih, kalau toh mereka tereak bersih, bisa jadi karena belum pernah pegang kekuasaan, tapi secara pribadi tokoh per tokoh bagaimana? Itulah sebabnya secara singkat saya bilang “rekam jejak” adalah yang terpenting, juga dalam memilih Pemimpin Bangsa.
Karena rekam jejak bukan hasil karbitan, juga bukan hasil polesan para konsultan, jadi ayo cuekin saja orasi kampanye atau debat-kusir kandidat, pecayalah itu semua sangat sedikit manfaat, tak akan Anda jumpa bopeng dan borok, layaknya pemain ludruk yang akan manggung, berbedak satu senti menyesuaikan narasi, membius penonton supaya terpesona, pikirnya realisasi urusan nanti, yang penting negeri dalam genggaman…. Itulah bius kuasa….. Lingkaran memilukan yang harus segera diselesaikan, butuh ketegasan dan siasat yang tidak melanggar aturan. Tidak mustahil terlaksana kalau mau cuek nanggapi kritik, terutama kritik dari mereka yang takut kehilangan kuasa, dan itu butuh suara kemenangan mayoritas untuk memuluskan jalan.
Kalau ada partai yang mengunggulkan data statistik bahwa partainya ternyata lebih sedikit tingkat korupsinya, itu jelas “amat sangat tidak punya etika”. Kalau pemimpin partainya saja seperti itu, apakah partainya masih layak dipilih? Korupsi kok dibandingkan, korupsi kok minta ditoleran, korupsi kok dibanggakan, korupsi kok minta diperbolehkan asal lebih sedikit dari yang lain. Huh! Sungguh keblinger. Percayalah …… Jangan pilih partai semacam itu. Ayo kita nantikan terbitnya revolusi perpartaian di negeri ini, karena saya pikir hanya itulah yang akan membuat kita menjadi negeri hebat. Tapi siapa yang akan melakukan? Iya ya …kalau gitu kita nikmati saja yang ada, walau mengenaskan tapi jangan lupa tetap pelihara kewarasan.(SPMC SW, Maret 2014).