Friday, December 6, 2013

PANJANG USIA ANUGERAH ATAU SIKSA?


                                                (Image source: my-life-passion.blogspot.com)
.

b l o g s p o t. "SEMOGA BANYAK MENDAPAT KEBAHAGIAAN DALAM HIDUP INI". Entah sudah berapa puluh tahun itulah yang selalu saya sampaikan pada teman, entah ketika sedang ulang tahun atau kondisi-kondisi tertentu yang menyenangkan. Karena selalu itu-itu saja yang saya sampaikan, sampai-sampai sudah ada yang menerka, dan sambil bercanda ada yang mengatakan: tidak kreatif ; apa tidak ada bahasa lain ya? ; sudah tahu ; bosan..... hehehehe... Tentu saja yang mengatakan itu semua bukan yang diberi ucapan.

Kalau ada teman yang enak diajak ngobrol dan minta keterangan tentang itu, mungkin bisa diterangkan dengan panjang lebar bahwa kebahagiaan adalah inti dari pencarian dalam perjalanan kehidupan semua manusia. Termasuk tujuan akhir dari perjuangan untuk meraih cita-cita adalah kebahagiaan. Bahkan tujuan akhir dari kehidupan adalah kebahagiaan (surga).

Kekayaan, panjang umur, kepandaian, kesehatan, punya keluarga, hidup sendiri, jadi presiden, dan sebagainya, tidak ada jaminan bahwa akan hidup bahagia. Kebahagiaan adalah individual dan segalanya, tapi bahagia justru akan sering kali didapat ketika mampu bersyukur dan sering memberi kebahagiaan itu sendiri kepada semua mahluk hidup. Dalam berinteraksi terhadap sesama, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah kebahagiaan yang dapat dirasakan oleh mereka semua yang sedang berinteraksi. Dan bersyukurlah mereka yang lebih banyak dapat merasakan kebahagiaan dalam perjalanan hidupnya.

Ada tetangga yang berusia sembilan puluh tahun lebih dan hidup sendiri, yang kabar ceritanya karena tidak cocok dengan istri anak angkatnya, ketika lampu listrik mati dimalam hari, ketakutan dan menangis, tetangganya yang menggedor pintu rumahnya untuk membantu memberikan penerangan. Apakah panjang umur adalah suatu anugrah atau siksaan?
Jadi itulah salah satu contoh kenapa saya tidak mengatakan semoga panjang umur. Bukankah kita sering mengatakan bahwa usia adalah rahasia Ilahi?

Sudah hampir sepuluh tahun seorang kepala keluarga yang saya kenal mengalami kelumpuhan dan tidak bisa bicara karena stroke, usianya sekarang mungkin sekitar 60 tahun, karena keuangan tidak ada masalah, kehidupan keluarga tersebut lancar-lancar saja. Apakah keluarga tersebut dapat merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya? Pasti banyak sekali ujian cinta sejati didalamnya.

Ketika begitu banyak memperhatikan kehidupan tokoh-tokoh politik kita yang kaya raya, yang sangat diragukan dari mana hasil kekayaannya, karena hanya dirinyalah yang mengetahui sumber kekayaan sebenarnya, apakah mereka dapat merasakan kebahagiaan yang sejati?
Jawabannya, mungkin saja! Karena sebetulnya mereka tidak mengetahui kebahagiaan yang sejati itu seperti apa, sehingga mereka beranggapan kebahagiaannya itulah kebahagiaan yang sebenarnya. Menjaga citra dengan tidak mengakui keburukan, bahkan menggunakan berbagai cara untuk membelokkan keadilan ditegakkan, hanya akan menuai kebahagiaan semu. Ketika dapat mengendalikan semua keadaan, ketika terbebas dari jerat hukum, bisa jadi banyak orang menganggap hebat, tapi apa pendapatnya sendiri dalam hati?
Mendustai diri sendiri sama susahnya dengan mengalahkan hawa nafsu, hanya kamu sendiri yang tahu, dan juga Tuhan yang karena memang bersemayam didalam dirimu.

Pada zaman primitif, ada beberapa suku yang kanibal memakan manusia yang dikalahkan dalam peperangan, apakah itu dosa? Tidak, karena dalam kasus itu perbendaharaan kata dosa juga tidak ada dalam benaknya. Tapi mereka masih lebih terhormat karena memang begitulah keadaan yang berlaku saat itu, dan tidak menutup-nutupinya.

Pada saat sekarang ini, ketika ada koruptor menutupi kegiatannya dengan topeng agama, bahkan pengadaan kitab suci juga dikorupsinya, apalagi partai berbasis agama tapi korupsi luar biasa, sementara orang jujur justru dimusuhi, atau bahkan mungkin ingin dilenyapkan. Jangan-jangan bangsa negeri ini sudah lebih tidak beperikemanusiaan lagi, sudah lebih bobrok dari zaman bar-bar, karena membungkus kebobrokannya dengan ajaran kesucian.

Kalau para koruptor itu SEJATI-nya memang hidup bahagia dan terhormat, saya pastikan mereka sejatinya juga tidak percaya pada agama apapun itu. Jadi semua ritual yang dilakukan hanyalah kamuflase untuk menutupi kebiadapannya. Menyedihkan, karena ternyata kita sudah gagal membentuk moral yang baik secara universal sebagai bangsa yang justru menempatkan KETUHANAN YANG MAHA ESA diatas segala-galanya. (SPMC SW, Nopember 2013)