Saturday, January 31, 2015

"TELANJANGI DEWAN PENIPU RAKYAT" || #PuisiSensi



                                               (Copas: www.glogst er.com)

Gonjang ganjing lagi Negeriku
Tanda masih banyak rakyat peduli
Kisruh serial cicak vs buaya
Sesama lembaga penegak hukum
Cicak dibecking rakyat
Buaya dibecking penipu rakyat
Gambaran lengkap ke-tolol-an Negeri
Bangsa besar suka permalukan sendiri


Apa jawab andai negara sahabat tanya?
Kenapa sesama penegak hukum sering kisruh?
Bukankah harus bersatu menumpas kejahatan?
Lalu apa harus kita terangkan?
Itulah bukti teori tidak sejalan kenyataan
Moral dan logika kebaikan dinapikan
Hukum dijadikan perisai kebobrokan
Ngenes dilakukan penegak hukum sendiri


Atau memang kita Bangsa sangat egois?
Aturan apapun dibuat, bodo-amat akibat
Ketika KPK tetapkan jadi tersangka
Tanpa dapat diprediksi kapan tindak lanjutnya
Ketika MOU tanpa utamakan moral
Kenapa masalah hukum oknum diadili institusi sendiri?
Apa mungkin jeruk makan jeruk?
Gambar-gambar egois kepentingan tanpa peduli kepatutan


Menyimak pendapat para pakar bertitel banyak
Serempak tereak BG harus dilantik
Ragam argumentasi salah Presiden jika tidak lantik
Lalu ada penipu rakyat berpendapat bombastis
Lantang ancam impeachment supaya tampak hebat
Saya rakyat tahu dia barisan mbebek gundul mandul
Buktikan! Galang impeachment kalau BG tidak dilantik
Buktikan! Benar hebat bermatabat atau pecundang rakyat


Wakil rakyat kenapa tidak sama kehendak rakyat?
Gagah dan jumawa nyatakan “kami punya konstituen”
“Jangan dengarkan pendapat tim independen”
Lalu saya tanya dalam hati
Konstituen mana hendaki pelantikan BG?

Sombong dan tidak malu kalian catut nama rakyat
Paripurna koor bela tersangka, ejawantah kalian aslinya
Dewan Penipu Rakyat "gila" telanjangi diri mereka sendiri


                  -——###——-
 
(SPMC SW, Blogspot, Akhir Januari 2015)

 
                                           (Copas: www.gopusa.com)
 
Catatan:
Maaf kalau tidak sesuai kenyataan, karena memang itu yang saya rasakan, dan saya adalah rakyat jelata, apakah termasuk yang “nggak jelas” juga? Terserah Anda pejabat mulia ….  Dan itu hanyalah puisi, tapi boleh juga kalau mau mencermati jeritan hati ..... (SW)

Monday, January 26, 2015

"CONGRATS!! HOREE ... PDIP SUKSES LUMPUHKAN KPK" || #KETIKA


                                            (Copas: ggfor2014.blogspot.com)

Blogspot. KETIKA pada suatu sidang Paripurna DPR periode yang lalu Benny KH dari Partai Demokrat menyatakan Walk Out, sepertinya tidak ada yang meragukan bahwa hal tersebut setidaknya juga telah mendapat restu Ketum-nya, bukankah memang kenyataannya tidak pernah dapat sanksi apapun dari partai maupun Ketum-nya?

KETIKA anggota DPR Komisi III minus Demokrat mbebek meloloskan Fit and Proper Test terhadap calon Kapolri walau mengetahui telah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK, lalu juga koor di sidang Paripurna menyetujuinya, jelas kenyataan anggota DPR yang dikatakan mandiri itu tidak terbukti. Adakah yang menyangkal bahwa hal tersebut bukan kebijakan Ketum masing-masing partai?

KETIKA PLT Sekjen PDIP HK jumpa pers menceritakan kronologi kesalahan Ketua KPK AS, dan menyatakan itu adalah kapasitasnya sebagai pribadi, lalu juga menyatakan saksi petinggi-petinggi PDIP antara lain HP juga beberapa yang sedang ada di Kabinet Presiden Jokowi. Sepertinya yang bersangkutan lupa, bahwa hal itu justru menjerumuskan partai-nya, bukankah pertemuan itu berarti pertemuan haram, dan ternyata begitulah kelakuan tokoh-tokoh partai PDIP bukan? Sama seperti misalnya ada kejadian kasus penyuapan, bukankah yang disuap dan menyuap sama-sama salahnya? Ternyata cerita yang dianggap akan melumpuhkan KPK sekalipun, juga bisa bermakna semua yang terlibat sangat tidak bermartabat. Dan yang pasti, apakah ada yang percaya bahwa kapasitas kesaksian pribadi tersebut berani tanpa restu Ketum-nya? Juga mencermati kata-kata jumpa pers yang menggambarkan "kebodohan", entah kebodohan pihak yang cerita atau yang diceritakan? Cerita tersebut adalah menggambarkan apa yang dikatakan pimpinan KPK AS, dimana HK menceritakan : ". . . ya saya sudah tahu, karena saya sudah menyadap . . . " Apakah memang sebegitu emosinya AS, sampai harus menceritakan bahwa telah melakukan penyadapan walau "seandainya" memang benar melakukan penyadapan? Atau memang "bumbu" rekayasa cerita yang kalau boleh kita anggap ada kejadian tersebut ternyata memang kurang berlogika? Apakah memang benar pernyataan yang sudah sering kita dengar, sangat susah menyempurnakan bumbu rekayasa? (Tak ada kejahatan yang sempurna, red)




                                             (copas: suarajakarta.co)


KETIKA kesuksesan menempelkan predikat tersangka pada BW yang adalah pimpinan KPK berkat pengaduan SS sebagai anggota DPR Komisi III dari partai PDIP, untuk hal inipun percayakah Anda tidak ada skenario dari partai PDIP dan restu Ketum-nya? Apakah itu berarti ucapan "selamat" harus kita berikan kepada PDIP yang telah berhasil mengungkap kejahatan? Setuju siapapun yang bersalah harus dihukum, dan penetapan sebagai tersangka sudah cukup untuk memberhentikan pimpinan KPK, tapi BW pun sudah memberi pernyataan akan legowo mengajukan pengunduran diri, sangat kental persepsi pantulan pernyataan tersebut, seolah-olah menyindir "kapan BG mengundurkan diri dari pencalonan?" Bukankah BG juga tersangka? Yang ingin saya tanyakan, bagaimana seandainya dalam persidangan BW ternyata dibebaskan, sementara yang bersangkutan sudah terlanjur mengudurkan diri? Padahal masa kerjanya hanya kurang satu tahun, dan pastinya kalau menunggu sampai persidangan final-nya selesai, jangan-jangan waktunya juga sudah mendekati habisnya masa kerja. Apakah itu yang dimaksud kriminalisasi terhadap KPK, dan berdampak pelemahan lalu berujung akan membeku sementara?

KETIKA rame berhembus masukan hak imunitas atau kekebalan hukum terhadap pimpinan KPK selama menjabat, sepertinya menarik, tapi seandainya benar akan diberikan, saya pikir namanya jangan imunitas/kekebalan hukum, tapi "Penundaan Masalah Hukum", dan harus diperinci dengan jelas supaya tidak menjadi absolut benar-benar kebal hukum seperti orang zaman doeloe sakti mandraguna, duk-denk, dan sebagainya ....... takutnya jadi arogan atau menjadi sok-hebat. Memang masuk akal untuk diberikan, karena bukankah Fit and Proper Test ketika akan menjabat sudah dilakukan? Atau berarti juga waktu Fit and Proper Test-nya kurang melibatkan banyak unsur? Dan boleh dianggap untuk "menutupi" kekurangan pihak yang melakukan Fit and Proper Test (Pihak yang harusnya pertama kali paling disalahkan, red). Kalau memang benar akan diberikan Penundaan Masalah Hukum (PMH), batasannya harus jelas, misalnya:
- Hanya selama menjabat.
- PMH "hanya berlaku" untuk KASUS SEBELUM MENJABAT, PMH hanyalah menunda, bukan meniadakan.
- Waktu mendapat PMH, berarti waktunya tidak dihitung. Karena takutnya kasus hukumnya akan kedaluwarsa kalau waktunya tidak dikurangkan selama masa mendapat PMH.

KETIKA sepintas mengingat masa laloe, kejadian Cicak VS Buaya sebelum-sebelumnya, samar-samar saya teringat ada beberapa tokoh dari PDIP utamanya yang "vokal / idealis" atau yang merasa berlatar belakang "LSM / Aktivis" ikut unjuk rasa membela KPK, dan sekarang tak satupun terlihat dilayar kaca? Beruntunglah kalian tidak ikut kena stempel "rakyat yang nggak jelas", walau dapat ditebak bahwa rakyat ngga jelas itu sepertinya dulu ikut meng-gebu-gebu mencalonkan Presiden Jokowi (termasuk saya, red). Jadi ....salahkah kalau rakyat semakin curiga bahwa kali ini partai PDIP juga sangat menginginkan KPK beku sementara? Cukup kuatkah alasan yang disampaikan oleh Mendagri yang memang dari PDIP bahwa KPK itu dibentuk oleh Ibu Mega? yang ingin saya perjelas keingin tahuan saya, inisiatif dibentuk oleh Ibu Mega atau terbentuk semasa Pemerintahan Ibu Mega? Lalu, yakinkah kita bahwa kepentingan tidak akan mengubah apapun yang telah diakukan atau diputuskan? Apalagi ini semua berkaitan dengan politik, dimana pameo yang paling terkenal adalah: "Tiada yang abadi selain kepentingan".

KETIKA iseng mengharap ada yang melakukan survei saat-saat ini, apakah tidak terpikir oleh lembaga-lembaga independen dan kredibel yang biasa melakukan survei tentang popularitas partai (Kompas contohnya, red), dengan misalnya salah satu pertanyaan: Apakah Anda akan memilih PDIP ketika Pemilu diadakan saat ini? Atau supaya tidak terlalu menyudutkan, pertanyaannya diganti, Partai apa yang Anda pilih seandainya Pemilu diadakan saat ini? Dan saya menerka PDIP persentasenya akan banyak menurun. Maaf kalau artikel-artikel saya termasuk yang ikut menyudutkan, tapi saya hanya mengamati keadaan, pengamatan berdasarkan Sudut Pandang Mata Capung. Dan sebetulnya artikel saya banyak yang menganjurkan solusi atau kritik terhadap PDIP, karena berharap adanya perubahan, bukan kemerosotan. Sekali lagi maaf.

KETIKA juga mengingat banyak kasus di Negeri ini, banyak sekali yang tidak pernah berujung, itulah sebab heboh gelegar bombastis akan terus bermunculan. Ingatkah Anda waktu layar kaca menampilkan berita perusakan rumah yang dipakai tempat ibadah di Yogya, dan ngenesnya juga terlihat dilakukan didepan aparat negara yang hanya menonton saja. Bagaimana ending-nya? Adakah pelaku yang dipenjara atau pejabat yang dimutasi karena hanya menonton saja? Atau memang prosedurnya sudah betul?

KETIKA ingat sangat heboh-nya Obor Rakyat, sepertinya saya sudah pernah menulis bahwa kasus inipun juga akan berlalu begitu saja, apakah masih belum boleh dinyatakan betul prediksi saya? Lalu saya menerka-terka, jangan-jangan gara-gara itu dipercepatnya rencana penggantian Kapolri? Kalau mengharap Pak Presiden menanyakan kenapa kasus Obor Rakyat tidak diselesaikan, rasanya mustahil akan dilakukan, karena Pak Presiden Orang Jawa, dan utamanya kasus tersebut menyangkut pribadinya. Maka saya menerka, seandainya kasus tersebut diselesaikan, kenyataannya mungkin akan beda dengan yang terjadi saat ini. Dan sangat mungkin beredarnya gosip "Penyingkiran pejabat rezim SBY" tidak akan segencar wacana yang beredar.

KETIKA menyimak kasus heboh terakhir, prosedur penangkapan BW yang dianggap sebagai Pejabat Negara, dapatkah Anda membayangkan seandainya ada pejabat Polri dengan bintang dipundak diperlakukan seperti itu? (Diborgol, red) Bahkan pihak penangkap juga seandainya ber-alibi "kesamaan didepan hukum"? Lalu adakah yang bisa dikoreksi? Kecuali memang prosedur-nya sudah betul, kalau tidak ada yang mendapat sanksi apapun atas prosedur tersebut, sangat mungkin lain kali akan terjadi lagi. Dan sepertinya itulah pilihan yang akan terjadi, karena bukankah itu kelaziman kita menyikapi banyak masalah selama ini? Semoga tidak ada yang curiga Polri sedang jumawa pamer kekuasaan. Atau semua itu ternyata karena saya telat minum obat lagi? ..... Maaf kalau gitu. (SPMC SW, Januari 2015)

Kelompok artikel: #SaveKPK


Artkel-artikel berkaitan:
------------------------------



"IBU MEGAWATI DALANG GEMURUHNYA CALON KAPOLRI?"

http://t.co/4fDQBkE6xg
------------------------------

"KETIKA DEWAN PENIPU RAKYAT ITU MBEBEK"

http://t.co/rPwQtBEnnk
--------------------

"AKHIRNYA . . . . . PRESIDEN JOKOWI AKAN HENGKANG DARI PDIP"

http://t.co/m9cdXaD4ih
-------------------------

Thursday, January 22, 2015

"AKHIRNYA ...... PRESIDEN JOKOWI AKAN HENGKANG DARI PDIP"

                                       (Copas dari: teropongsenayan.com)
Blogspot. Walau sudah lupa mantan Menteri siapa yang cerita, tapi masih teringat inti cerita-nya, ketika yang bersangkutan menceritakan era-era akhir kepemimpinan Orde Baru, ada Menteri yang diberi tugas oleh Presiden, tapi tidak melaksanakannya, dan ketika sejawatnya(yang cerita) menanyakan, maka sang Menteri menjawabnya, tenang saja yang menugaskan juga pasti sudah lupa. Itu sekelumit cerita yang pernah saya dengar dan lihat di tipi. Umur memang tidak bisa dilawan. Semoga tidak begitu yang terjadi di PDIP, khawatirnya berantakan justru karena keasyikan lupa melakukan regenerasi.


Heboh jumpa pers PLT Sekjen PDIP, dramatisasi dengan topi dan masker yang digambarkan prilaku AS pimpinan KPK ketika dikatakan 6 kali bertemu dengannya dan 12 kali cepika-cepiki sungguh memang berhasil menarik perhatian. Saya justru khawatir seperti menepuk air dalam dulang, terpecik muka sendiri. Itulah ternyata prilaku tokoh-tokoh partai PDIP bernegosiasi secara haram dengan pimpinan KPK. Kalau "seandainya" pertemuan itu ada, dan AS sakit hati dengan BG seperti yang diceritakan oleh HK, lalu memangnya kenapa? Jadi sekali lagi "seandainya" tuduhan HK itu benar adanya, atau bahkan "seandainya" lebih jauh lagi AS dipecat dari KPK karena melanggar kode etik, apakah status tersangka BG harus batal demi hukum? Atau bagaimana? Apakah lupa bahwa penetapan status tersangka terhadap seseorang oleh KPK itu adalah kolektif kolegial? Jadi tidak bisa berdasarkan dendam kesumat AS saja.


Sungguh lebih bijak kalau seandainya semua pihak membantu agar sesegera mungkin kasus BG dituntaskan oleh KPK, sehingga menjadi terang, tapi kalau melihat situasi yang ada, serangan bertubi-tubi terhadap KPK maupun pimpinannya, itu menggambarkan institusi KPK akan tetap benar seperti reputasinya selama ini. Jadi serangan-serangan itu lebih atas dasar rasa takut cepat terungkapnya suatu masalah. Mengamati begitu banyaknya tokoh yang memakai argumen "Azas Praduga tidak bersalah" sebetulnya memang tidak salah, tapi ketika mereka semua juga mengatakan "pelantikan harus tetap dilaksanakan", saya justru mengira jangan-jangan Bangsa ini sedang "sakit" .....menyedihkan . . .


Sangat mengherankan ketika hampir semua tokoh PDIP juga menyalahkan KPK dan tetap menganjurkan pelantikan dilanjutkan, saya bingung jalinan komunikasi antara Presiden dan PDIP yang sesungguhnya. Banyak rakyat yang menduga bahwa PDIP terlalu mendikte Presiden, kalau hal itu dilanjutkan, saya justru kawatir PDIP yang terkena getahnya. Karena kalau boleh jujur, berapa persen rakyat yang benar-benar loyal terhadap partai? Bukankah beberapa kali Pemilu sudah membuktikan, dari pemenang langsung tumbang, dan itu semua karena akumulasi tingkah polah tokoh-tokoh politik partainya bukan?


Seandainya saya boleh mengungkapkan pendapat tentang PDIP, jika bijak bersikap, saat-saat ini adalah saat paling menentukan partai ini akan tetap berjaya. Berpolitik adalah ejawantah untuk mencapai kekuasaan Pemerintahan, sehingga hasratnya dapat lebih mudah tersalurkan, soal hasrat positif atau negatif, keterlaksanaanlah yang dapat dinilai oleh rakyat. Jabatan Presiden adalah hal tertinggi yang dapat dicapai dengan berpolitik, itulah sebabnya semoga PDIP tidak melupakan itu. Bukankah saat ini Presiden Jokowi sudah mencapai kedudukan tertinggi, secara formal tidak ada yang lebih tinggi lagi untuk bisa dicapai. Jadi menurut saya, seandainya PDIP tidak melupakan itu, dan berani melakukan regenerasi, sekaranglah saatnya. Membaca dan meramalkan sifat Jokowi yang tipe-nya jujur - kekeh - setia, maka justru kepada beliaulah Ketum PDIP mestinya disandangkan dan Ibu Mega bisa saja menjadi Ketua Dewan Penasehat/Pertimbangan/Pembina. Tapi karena Presiden tidak ingin merangkap jabatan, maka jadikan Pramono Anung sebagai Wakil Ketua Umum dan melaksanakan PLT Ketum, lalu Mbak Puan sebagai Sekjen Partai. Dengan asumsi Presiden Jokowi menjadi Presiden dua Periode, dan pada Pemilu mendatang perolehan suara PDIP menjadi lebih banyak karena ada nama Jokowi sebagai Ketua Umum, lalu setelah Periode itu saya kok yakin Mbak Puan bisa punya peranan penting jika Tuhan juga menghendaki. Itulah strategi politik untuk PDIP ala saya, maaf kalau tidak berkenan karena memang itu hanya uneg-uneg saya saja.


Karena memperhatikan keadaan saat ini, saya justru khawatir PDIP sebetulnya terlalu banyak maunya terhadap Presiden, tidak masalah kalau kemauan PDIP sejalan dengan Kemauan Presiden, tapi lebih utama adalah sejalan dengan kemauan rakyat. Karena rakyat adalah segalanya, maka ketika Jokowi berjanji akan jujur dan bersih, lalu karena rakyat menilai Presiden di-dikte oleh PDIP sehingga tidak pro rakyat, bukankah hal itu akan bersentimen negatif terhadap partai PDIP. Bahkan begitu sensi-nya relasi PDIP dan Presiden, maka ketika kemarin Presiden sedang akan foto bersama dengan para pimpinan daerah di Istana Bogor dan mendapat telepon, banyak juga yang ber-praduga bahwa telepon itu dari Partai PDIP, tentu saja tudinganya berasumsi ke Ibu Mega walau kenyataannya memang belum tentu bukan?


Gonjang-ganjing tentang BG sebagai calon Kapolri, dan kekehnya PDIP ingin pelantikan itu terjadi, mengapa hal itu harus terus diperjuangkan? Apa keuntungan yang akan didapat PDIP seandainya BG jadi Kapolri, dan juga kerugiannya jika BG tidak menjabat? Jangan lupa mengkalkulasi keuntungan-keuntungan yang justru akan menjebak karena kalau ternyata Polri tidak pro keadilan dan pemberantasan KKN, akan menjatuhkan Presiden dimata Rakyat, dan juga Partai dimana Presiden ada didalamnya. Lebih absurd menyimak pendapat para tokoh, lantik saja BG lalu non aktifkan, apa bedanya dengan menunda seperti saat ini? Melantik tersangka adalah hal paling konyol yang dirasakan oleh rakyat termasuk saya, seperti menyaksikan jabatan Gubernur yang masih dipegang oleh Gubernurnya yang saat ini ada didalam penjara. Semuanya itu justru berlindung dibalik kebenaran UU, jadi sebetulnya UU-nya yang tidak beres, atau moral rakyat yang mempertanyakan yang keliru? Antah berantah-kah?


BIJAK, menurut saya adalah kata paling tepat untuk PDIP saat ini, memaksakan Presiden untuk mengkhianati hati nuraninya adalah sangat tidak bijak, dan akan mencelakakan partai itu sendiri. Kalau Presidennya tetap kekeh mengikuti hati nurani atau menepati janji kepada rakyat pendukungnya, kenapa partai tidak berkehendak sejalan? Apakah zaman sekarang ini masih ada yang bisa ditutup-tutupi, dan bukankah kebersihan yang sedang dituntut oleh rakyat? Pasti akan sangat kacau kalau Partai Pengusung tidak sejalan dengan Presiden yang diusungnya, rakyat akan menilai ternyata Partai akan menjadikannya Presiden Boneka, bukankah itu memang yang dikhawatirkan dan ditudingkan sebelumnya? Lalu bagaimana kalau sampai Presiden Jokowi mengikuti jejaknya Basuki? Menyatakan keluar dari partai karena sudah tidak tahan lagi, bukankah ketika saat itu benar terjadi partai akan langsung terjun bebas? Ketentuan yang ada memang Presiden harus diusulkan oleh partai, tapi kalau sudah jadi presiden apakah boleh tidak punya Partai? Kalau itu terjadi pasti akan geger lagi Negeri ini, dan apakah sepertinya kita sebagai Bangsa justru paling doyan geger? Maafkan saya telat minum obat lagi ....(SPMC SW, Januari 2015)


- - - - -
SELAMAT ULANG TAHUN IBU MEGAWATI
PF. 23 Januari 2015
Semoga Ibu Mega banyak mendapat kebahagiaan dalam hidup ini.
- - - - -

Saturday, January 17, 2015

"KETIKA DEWAN PENIPU RAKYAT MBEBEK?" || #KETIKA

                           (Copas dari: cauchymurtopo.wordpress.com) 
Blogspot. KETIKA periode yang lalu ada beberapa Menteri di-”tersangka”-kan oleh KPK, banyak tokoh politik, pengamat, maupun para pakar, seperti ada yang mengomando geger wacana agar Menteri yang bersangkutan mengundurkan diri, sungguh itu adalah pemikiran rasional dan sehat yang dirasa oleh banyak rakyat awam tentang politik, termasuk saya misalnya.
 
KETIKA saat kemarin itu Komisi III DPR melakukan Fit and Proper Test terhadap calon Kapolri atas usulan Presiden, sungguh aneh bin ajaib, minus Demokrat semua koor meloloskan calon Kapolri yang padahal sudah tahu sang calon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Apa gerangan yang terjadi? Mana bukti janji KMP yang akan mengkritisi Pemerintah? Dan KIH yang katanya juga akan tetap mengkritisi Pemerintah kalau ada ketidak benaran? Padahal dalam kasus penunjukan Kapolri kali ini, saya kok sangat yakin Presiden akan legowo saja seandainya hasil usulannya tidak lolos Fit and Proper Test. Katanya ada 560 orang anggota DPR yang mewakili rakyat Indonesia, saya kok curiga sebetulnya anggota DPR itu hanya ada kurang lebih selusin saja. Yang utama mereka itu ya hanya ketua-ketua partai, jadi anggota DPR yang lain itu sebetulnya hanya ekor. (atau mengekor?) Pembuktiannya ketika dilakukan sidang Paripurna, semua seperti membebek menyetujui dan memutuskan Pengangkatan Kapolri Baru dan Memberhentikan Kapolri yang sekarang. Sumpeh bikin garuk-garuk kepala yang memang banyak ketombe-nya, DPR itu sebetulnya mewakili rakyat yang mana? Kok tidak punya rasa malu?

KETIKA melihat dan mendengar argumentasi mereka yang tampak merasa paling benar dan hebat se-Indonesia, yang paling sering dikumandangkan dengan nyaring adalah: — Azas praduga tidak bersalah ; Apakah KPK akan menyatakan tersangka seandainya tidak ditetapkan sebagai calon Kapolri? ; Bagaimana kalau setiap orang yang akan dicalonkan memegang jabatan lalu di-tersangka-kan oleh penegak hukum? Bukankah Negara ini akan mandeg? — Kata pakar yang sempat saya lihat di tipi. Lalu juga ada pakar lain yang mengatakan: Presiden harus tetap melantik Kapolri yang telah diputuskan oleh Paripurna DPR kalau tidak ingin menuai badai ….. Padahal saya ingat dengan jelas, sang pakar yang terakhir itu dulu menjagokan Capres yang lain. Jadi sebetulnya itu mau menjerumuskan, menasehati, atau mengancam Presiden? Atau juga biar tampak hebat?

KETIKA memperhatikan argumentasi-argumentasi yang serba hebat itulah, saya menerka bahwa mereka beragumentasi sesuai dengan sudut pandang yang diinginkan, tidak peduli argumentasinya itu tidak sehat, menyesatkan, tidak konsisten, dan lupa malu. Saya setuju dengan argumentasi “Azas praduga tidak bersalah”, itulah sebab beri kesempatan yang bersangkutan menyelesaikan masalahnya, bukan tambah memberi jabatan penting. Dulu yang sudah jadi Menteri diminta agar mundur karena ditetapkan sebagai tersangka, sekarang meminta melantik dan memberi jabatan kepada tersangka? Piye toh Kang? Apakah hal itu tidak membingungkan banyak rakyat? Atau bodo amat? Apakah salah kalau rakyat justru berpikir bahwa “kelompok” itu terjadi salah satunya adalah karena punya kepentingan yang sama, lalu rakyat menyimpulkan bahwa sesungguhnya anggota DPR itu adalah “kelompok” yang tidak pro pemberantasan KKN, sehingga begitu ada kesempatan melemahkan KPK sebagai Institusi pemberantas korupsi, lalu rame-rame menghujat dan memojokkannya? Menuduhnya penegak hukum yang bermain politik, dan lain-lain. Kalau sudah jelas seperti itu yang di tuduhkan atau dikhawatirkan terhadap KPK, termasuk juga tuduhan KPK yang suka menetapkan sebagai tersangka lalu tidak ada proses lebih lanjutnya, kenapa justru tidak membicarakan dan mencari tahu masalah tentang itu dengan mengundang KPK ke DPR? DPR itu punya hak untuk mengubah UU, lalu kenapa tidak memberi batasan dan penalti kepada KPK bahwa memberikan status tersangka kepada seseorang hanya boleh 3 bulan misalnya, jika tidak bisa menindak lanjuti maka bebas demi hukum dan penanggung jawab di KPK akan diberi sanksi hukuman tertentu, dan lain-lain …… Tapi jangan menolak membantu KPK kalau ternyata kendala di KPK adalah karena kurangnya tenaga penyidik.

KETIKA seseorang melihat sesuatu, juga termasuk melihat masalah dan lalu pakai kacamata kuda, sudah pasti mendahulukan ego-nya dan melupakan sudut pandang lain, padahal akan sangat bijak kalau mau mengingat demi kemaslahatan rakyat banyak, bukan mendahulukan keinginannya sendiri. Maka ketika banyak tokoh mengatakan “Apakah KPK akan menetapkan tersangka jika seandainya yang bersangkutan tidak dicalonkan sebagai Kapolri?” Cobalah lihat dari sudut pandang positifnya, bukan memojokkan KPK-nya, saya juga sangat yakin KPK sangat mungkin “belum” akan menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka secepat itu. Tapi bukankah itu justru KPK menyelamatkan kita semua sebagai rakyat, supaya kita punya penegak hukum yang lebih baik, karena KPK tahu yang sesungguhnya, juga KPK menyelamatkan Presiden yang pasti akan lebih dipermalukan melantik pejabat yang ternyata bermasalah. Kenapa tiba-tiba para politisi itu memikunkan diri, lupa reputasi KPK, termasuk lupa KPK tidak kenal istilah Surat Penghentian Proses Penyidikan (SP3)? Lalu saya garuk-garuk kepala lagi mengingat ada tokoh politik yang intinya mengatakan “Lebih hebat dan terhormat Presiden melantik Kapolri walaupun akhirnya ditersangkakan, dari pada membatalkan pilihannya sendiri” Juga ada yang mengatakan “KPK justru akan lebih hebat kalau men-tersangka-kan Kapolri dari pada 'calon' Kapolri, lalu sekarang dituduh ikut bermain politik.” Huh, bener-bener pendapat yang tidak punya malu atau memang memalukan? Seperti nonton film Pendekar Mabuk saja …. Sungguh itu semua adalah sudut pandang, dan sekarang silahkan menimbang sudut pandang mereka sungguh egois atau kebenaran demi kemaslahatan banyak rakyat? Atau Anda juga semakin yakin bahwa DPR itu sesungguhnya bukan mewakili rakyat, dan percaya bahwa “real” anggota DPR itu tidak lebih dari selusin? Dan saya sangat miris mendengarkan ketua partai memberi tanggapan, “kalau saya jadi Presiden, akan tetap melantik.” Tapi beruntung Presiden Jokowi menangguhkan pelantikan, sesuatu yang masih termasuk membanggakan, juga sekaligus mengkritisi pembuat artikel yang mempertanyakan kenapa Presiden tetap memberhentikan Kapolri? Mungkin mereka lupa, pemberhentian Kapolri itu adalah “amanat rakyat” yang diwakili DPR melalui koor sidang Paripurna yang saya tidak sanggup mencerna maknanya.

KETIKA semua itu terjadi, ada yang ingin saya utarakan walaupun mustahil akan adanya perubahan ketata negaraan kita, utamanya membenahi anggota DPR supaya tidak seratus persen mem-bebek. Kalau kita mencermati hak anggota DPR yang salah satunya adalah independen karena mewakili rakyat pemilihnya, itulah sebab kalau ada proses recall tidak mudah, walaupun hampir pasti pihak anggota yang tidak segaris dengan Partai (Ketum-nya) pasti akan kalah. Coba bayangkan berapa besar biaya untuk bisa jadi anggota DPR, gosipnya ada yang sampai habis puluhan milyar. Ngenes toh kalau harus di recall, tapi kalau akhirnya jadi anggota DPR juga hanya untuk mem-bebek, bukankah itu juga ngenes? Atau justru lebih baik membebek karena sudah habis duit banyak, dan tidak ada garansi uang kembali kalau dipecat dari anggota DPR? Apalagi kalau misalnya ada trik permainan partai karena ingin memasukkan tokoh politik penting yang kalah mendulang suara Pemilu Legislatif dan bermaksud mengorbankan pion yang dianggap tidak penting lalu mencari-cari masalah supaya bisa di recall dan melakukan PAW (penggantian antar waktu)?

KETIKA mengetahui kenyataan itu sudah umum tapi kenapa tidak coba dicarikan jalan keluarnya? Seandainya anggota DPR dipastikan tidak bisa dipecat atau tidak bisa dikeluarkan sebagai anggota DPR(kecuali melanggar hukum), bisa jadi Dewan Perwakilan Rakyat justru akan benar-benar bisa(berani) mewakili rakyat pemilihnya. Jadi peraturannya harus diubah, partai tidak berhak memecat anggota DPR walau anggota-nya mbalelo, yang bisa adalah dikeluarkan dari partai. Maka kalau itu yang terjadi, anggota-anggota DPR yang dipecat oleh partainya diberi wadah sementara di dalam DPR  sampai periodenya berakhir, misalnya bisa saja diberi nama tampungan “Kelompok Independen”, kalau ternyata isinya bertambah banyak karena menampung depak’an semua partai yang ada, mereka bisa membentuk ketua fraksi independen sendiri. Dengan begitu persentase atau jumlah kursi anggota DPR oleh suatu partai tidak tetap, alias bisa saja berkurang. Dan Partai tidak akan sembarangan mencalonkan seseorang untuk maju jadi calon Anggota DPR, selain juga yang mbalelo itu sejatinya lebih idealis dan rasional karena biasanya berani untuk tidak mem-bebek bukan? Bukankah dengan begitu akan semakin menyehatkan DPR, KARENA MENGURANGI KEDIKTATORAN KETUA UMUM PARTAI!

KETIKA ada masalah, biasanya semua meributkan masalahnya, tidak berkehendak mencari jalan keluar supaya tidak terjadi lagi. Pasti ada jalan keluar kalau benar mau mencari, dan berkehendak demi kebaikan bersama. Karena yang saya amati pada banyak hal, lebih karena tidak berkehendak untuk memperbaiki, sebab kalau serba baik justru mungkin lebih tidak enak, tidak bisa dikotak-katik sekehendak hati para pemegang kekuasaan bukan? Sama seperti membuat UU MD3, hanya memikirkan keuntungan kelompoknya saja, jadi waktu bikin UU seperti bermain catur, berstrategi, lalu nanti kalau perlu diubah lagi sesuai kebutuhannya, kalau begitu seharusnya jangan diberi nama UU (undang-undang!), menurut saya sangat aneh benegara seperti ini, banyak hal ditempat-tempat penting yang justru manajemen-nya seperti menajemen pedagang pasar pagi, hanya modal kepercayaan yang tentu saja sangat rawan diselewengkan. Atau memang sengaja dibuat begitu? Maaf kalau saya ngaco karena galau ditambah risau. (SPMC SW, Januari 2015)

Thursday, January 15, 2015

"IBU MEGAWATI DALANG GEMURUH CALON KAPOLRI?"


Blogspot. Ketika kita akan membeli barang atau jasa, ketika kita akan melakukan kerja sama apapun juga yang berhubungan dengan orang lain, atau memberi tugas kepercayaan, pastilah sangat wajar kalau kita menjatuhkan pilihan terhadap seseorang yang kita kenal. Alasannya ya memang karena kita sudah merasa mengenal orang tersebut, terlebih kalau kita pernah merasakan akrabnya berhubungan dengan yang bersangkutan.

Begitu juga saya duga sehubungan dengan gemuruh calon Kapolri karena ternyata dinyatakan sebagai “tersangka” oleh KPK. Lalu gonjang-ganjing berseliweran diranah media, KPK memberi pernyataan, lalu Presiden juga memberi pernyataan alasan kenapa mengajukan calon tunggal Kapolri itu. Rujukan dari Kompolnas adalah dasar alasan yang dipegang oleh Presiden. Soal kenyataan yang dicalonkan pernah menjadi Ajudan Presiden ke 5 Ibu Megawati, bukankah itu pilihan rasional berdasarkan sifat kita semua? Itulah gunanya referensi, wawasan jaringan pertemanan, dan sejenisnya, memang begitulah kenyataan yang berlaku didunia ini bukan? Sepertinya tidak ada yang salah, tapi yang sangat mengusik hati adalah ketika Ketua KPK memberi pernyataan bahwa sang calon sudah mendapat rapor merah ketika namanya juga diajukan sebagai daftar calon anggota Kabinet, dan rapor itu dipegang oleh Presiden bukan oleh Kompolnas, sehingga sangat wajar seandainya penilaian Kompolnas berbeda dengan penilaian KPK.

Kita semua tentunya masih sangat ingat, ketika SDA harus “lengser”, ketika JW harus “lengser”, ketika AAM juga harus “lengser”, juga mungkin tokoh lain, sehubungan yang bersangkutan dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Bukankah akan sangat aneh bin ajaib, ketika seseorang dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK justru misalnya dilantik untuk memegang jabatan?

DPR memang sudah kuorum menyatakan pelantikan dapat dilanjutkan, tapi saya kok menduga seandainya Bapak Presiden melantik Kapolri yang dinyatakan tersangka oleh KPK, beberapa hari lagi tokoh-tokoh politik tersebut akan menyerang Bapak Presiden, bahkan akan menghujat bahwa Bapak Presiden tidak konsisten, dan sebagainya … Karena memang rada aneh, DPR justru kuorum mendukung calon Kapolri yang dinyatakan tersangka oleh KPK. Banyak tanda tanya dibenak saya, apakah karena banyak tokoh DPR yang memang tidak bersih, sehingga tersangka-pun mendapat dukungan untuk memegang jabatan?

Pak Presiden, saya kurang paham trik-trik politik di Negeri ini, tapi berdasarkan perasaan saya, walau memang ada hak prerogatif Presiden, dan hal-hal lain yang membenarkan pertimbangan untuk membenarkan melanjutkan ke ranah pelantikan Kapolri, jika Bapak tetap melantik saya kok malah curiga Pak Presiden masuk kedalam jebakan batman trik politik yang saya tidak pahami tersebut.

Saya melihat ada beberapa tokoh politik dari PDIP dan juga tokoh politik KIH yang bersuara bahwa kita harus mengedepankan azas praduga tak bersalah, lalu menyuarakan untuk melanjutkan pelantikan, sepertinya memang benar dan masuk akal. Tapi apakah alasan itu yang harus diutamakan dan mengabaikan hati nurani? Bukankah jika misalnya tetap melantik calon yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, kita semua sebagai Bangsa akan dinilai oleh Bangsa lain bahwa mencari orang tidak bermasalah di Negeri ini memang sudah sangat langka? Bagaimana mungkin melantik Kapolri, sementara itu bahkan calon Kapolri yang akan dilantik sudah di-cekal? Pak Presiden, lupakan sejenak trik politik, ayo gunakan naluri sehat seperti yang sudah pernah Bapak suarakan sebelumnya, dan tetaplah berpegang teguh dengan hal itu. Karena menurut saya “azas praduga tidak bersalah” adalah membiarkan yang bersangkutan menyelesaikan masalahnya, bukan berarti harus memberikan jabatan sepenting itu. Rakyat butuh contoh kongkrit berpikir sehat, bukan trik politik atau berlindung dibalik dalil hukum untuk membenarkan penyimpangan. Apalagi kalau sampai ada yang menuduh yang melantik ternyata jauh lebih tidak sehat, karena sudah jelas dinyatakan sebagai tersangka kok malah tetap dilantik. Semoga tidak ada yang menuduh itu, dan saya sangat yakin Bapak Presiden tidak akan melakukan pelantikan Kapolri yang sedang digaduhkan ini.

Ibu Megawati sebagai Ketua Umum PDIP, mau atau tidak mau, namanya sering disangkutkan atas kebijakan Presiden, pastilah sering menerima getahnya. Saya katakan menerima getahnya, karena sudah sangat jamak, untuk hal-hal yang positif pastilah rakyat akan menlainya sebagai kebijakan Presiden, tapi ketika keputusan yang diambil adalah negatif, apalagi dalam kasus ini dikait-kaitkan dengan mantan Ajudan, sangat mungkin tudingan bahwa kebijakan itu adalah titipan Ibu Mega sebagai Ketua Umum PDIP yang juga mencalonkan Presiden. Itulah sebab, kalau boleh saya mengharap, seandainya Ibu Mega berkenan tampil di media untuk konferensi pers, meminta Presiden membatalkan pencalonan Kapolri yang gemuruh ini, tentulah persepsi partai baik tidak hanya akan dituai oleh Partai Demokrat yang saat ini sedang diwacanakan dengan gencar. Semoga Ibu Mega tidak marah dengan pendapat saya sebagai rakyat awam, karena memang saya tidak bermaksud lain selain menginginkan kebaikan. Dan suara rakyat sepertinya juga tidak menginginkan pelantikan itu dilanjutkan, lalu saya berpikir bahwa suara rakyat kebanyakan belum tentu salah walau DPR telah kuorum menyetujui untuk melanjutkan pelantikan Kapolri, yang justru saya curiga ada jebakan batman dibaliknya, sekaligus mempertanyakan sebetulnya DPR itu mewakili rakyat yang mana?? Maaf. (SPMC SW, Januari 2015)

———————–  
Tambahan:

Kita sering melihat dan mendengar beberapa tokoh menyuarakan, kenapa KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka sampai ber-tahun-tahun dan belum ada tindak lanjutnya. Apakah Pak Presiden berkenan menanyakan hal itu kepada KPK? Lalu bisa saja setelah mendapat jawaban dari KPK maka Presiden akan bisa membantu hal itu tidak berlarut-larut terjadi lagi, mungkinkah karena kekurangan sumber daya tenaga? Atau yang lainnya …… Apalagi kalau setelah itu UU-nya diberi batasan, berapa lama maksimal masa sebagai tersangka boleh disandangkan, jadi kalau lewat dari masa tersebut dinyatakan batal demi hukum, lalu juga diberi penalti kepada penyidik KPK karena telah dianggap menuduh seseorang dengan tidak benar. (SW)