Tuesday, September 30, 2014

"DEMOKRAT HANTAR SBY JAWARA STAND-UP COMEDY" | #ShameByYou

                            (Image source: www.kaskus.co.id)


Blogspot. Yang mulia Pak Presiden SBY, kenapa sekarang terlihat begitu “gundah” atas kemenangan opsi Pilkada Tidak Langsung sidang paripurna DPR pada dini hari 26 September 2014 yang lalu? Bukankah RUU Pilkada itu usulan Pemerintah yang sudah lebih 2 tahun dibahas di DPR? Bukankah kemenangan itu berarti kehebatan usulan yang diamini oleh lebih banyak anggota DPR yang se-ide? Jadi bukankah seharusnya Bapak bangga atas kemenangan tersebut? Bukankah kata orang hebat: “Biarpun langit runtuh keyakinan atas suatu kebenaran harus tetap dipertahankan”? Jadi apa yang sesungguhnya membuat Bapak kecewa? Janganlah membuat banyak rakyat awam menjadi bingung, bingung karena kemenangan bukankah seharusnya di syukuri?

Lebih 2 tahun itu bukan waktu yang sebentar RUU Pilkada usulan Pemerintah diwacanakan di DPR, kalau tidak menganggap benar, kenapa tidak pernah coba ditarik? Justru utamanya dari Partai Demokrat hanya Bapak SBY saja yang mendukung Pilkada Langsung (Plus 6 anggota DPR yang “mbalelo”), dan itupun mulai Bapak suarakan ketika begitu banyak menuai demo penolakan dari banyak rakyat. Jadi sebetulnya Bapak itu lebih mengutamakan citra atau kebenaran kayakinan diri sendiri?

Polemik walk-out partai Demokrat di sidang paripurna lebih menggelikan bagi mereka yang tidak mudah geram karena emosi. Ketika Demokrat mewacanakan kesepuluh perubahan Pilkada Langsung harus diakomodasi secara musyawarah mufakat tanpa kecuali. Mana mungkin bisa terjadi? Bukankah Koalisi Merah Putih (KMP) sudah pasti tidak setuju? Itu wacana paling menggelikan abad ini dalam perpolitikan, seperti wacana mengharuskan matahari terbit dari barat. Maka ketika PDIP, PKB dan Hanura memberikan dukungan di Sidang Paripurna terbuka yang disaksikan seluruh rakyat Indonesia, lalu Demokrat justru ijin walk-out, pembuat skenario itu sungguh kurang lihai membuat ending cerita. Jadi salahkah kalau banyak rakyat mengatakan Demokrat sedang bersandiwara?

Sepertinya belum ada yang mempertanyakan dan juga menerangkan, KALAU DEMOKRAT “SEJATINYA” BERKEHENDAK PILKADA LANGSUNG, LALU WALK-OUT DARI SIDANG PARIPURNA, JALAN TIKUS MANA YANG DIMAKSUD UNTUK MENCAPAI KEHENDAK SEJATI TERSEBUT? Bagaimana caranya? Sungguh itu membuat gatal kepala, karena logikanya, bahkan kalau toh seandainya PDIP, PKB dan Hanura tidak memberi dukungan, Demokrat-lah yang seharusnya ikut mereka demi kehendak sejati tersebut. Percayalah lebih terhormat menatap dengan gagah dari pada bersandiwara yang pasti tidak mungkin bisa sempurna. Acting tidak mungkin 100 persen sama dengan realita, dan kebohongan lebih capek karena harus diikuti kebohongan-kebohongan lanjutannya.

Lalu Bapak masih lagi berpolemik: Kecewa - Tidak mau tanda tangan RUU - Akan menggugat ke MA atau ke MK - Bahkan akan terus mengupayakan untuk Pilkada Langsung walau tidak jadi Presiden lagi - Konsultasi dengan Ketua MK. Itu semua bukankah tidak ada maknanya selain mencoba mengais tambahan citra ditengah pusaran polemik? Dan dari tokoh-tokoh partai Demokrat, seperti biasa ucapan politisi, tidak ada satupun yang menyalahkan Pemimpinnya, inisiatif mengambil alih walk-out adalah perintah Ketua Fraksi. Logikanya setelah bersedia menjadi bumper demi kehormatan Ketua bagaimana mungkin akan ada pemecatan? Tapi supaya tampak serius tidak ada sandiwara, berilah surat peringatan saja. Yang penting semuanya selamat, Pemimpinnya masih terhormat dan biarkan rakyat berpolemik sendiri, sebentar lagi juga sudah melupakan, bukankah begitu enaknya berpolemik di Negeri ini? Walau akhir dari polemik dramatisasi itu toh ternyata: “Sebagai Pemerintah harus menyetujui semua proses “demokratisasi” yang sudah terjadi.”

Banyak yang sedang menanti pembuktian “bonus” kemenangan opsi Pilkada Tidak Langsung, apakah betul dari Demokrat juga akan mendapat bonus jabatan seperti yang sedang beredar gosip-nya? Ayo kita nantikan sekalian membuktikan apakah betul adanya transaksi bagi-bagi jatah hasil jerih payah?

Waktu Pilpres kemarin itu, terlihat nyata adanya dua kubu yang jelas memberi dukungan ke-masing-masing jagoannya, setidaknya itu menggambarkan adanya keberpihakan, adanya kelompok rakyat yang saling menginginkan kemenangan jagoannya. Sedang tentang RUU Pilkada pada sidang paripurna, seandainya demo oleh rakyat yang terjadi di-seantero negeri bukan hanya yang menolak Pilkada Tidak Langsung, pasti akan lebih elok untuk KMP umumnya dan juga ‘Demorat didalamnya’. Itulah sebabnya, apakah tidak berminat sekalian menggalang demo tandingan demi citra positif KMP? Karena kalau yang tampak semua rakyat menolak dengan melakukan demo, kemenangan anggota DPR dari KMP itu sebetulnya mewakili siapa? Rakyat mana yang Anda-Anda wakili dan menyambut dengan gembira kemenangannya? Bukankah DPR masih kepanjangan Dewan Perwakilan Rakyat? Napsu, kalap, atau memang demi kebaikan rakyat? Ketika Anda sekalian anggota DPR yang “terhormat” tidak bisa meyakinkan kebaikan yang Anda pilih kepada rakyat, kenapa masih mengaku Perwakilan Rakyat? Mau Anda bawa kemana Negeri ini? Sepertinya kok lebih rela terjadi gonjang-ganjingnya Negara dari pada melupakan keserakahan Anda. Padahal katanya tak ada satupun fatsal yang memberi tugas anggota DPR untuk memilih Kepala Daerah?

Dan sesungguhnya, dari pengamatan kacamata saya sebagai rakyat jelata atas gonjang-ganjing RUU Pilkada ini, KMP plus Demokrat “minus” SBY semuanya tampak senang atas kemenangan opsi Pilkada Tidak Langsung. Itu sekedar pengamatan saya, tidak ingin memaknai yang lain, apalagi menebak tentang kehebatan SBY. Maaf kalau ada yang tidak suka artikel ini, setidaknya anggaplah sebagai salah satu sudut pandang dan uneg-uneg rakyat jelata. (SPMC SW, September 2014)

                             (Image source: ikkareskyanisam.blogspot.com)

Friday, September 26, 2014

"WALAU DEMOKRAT WALK OUT, DIA PEMENANG SEJATINYA" | #ShameOnYouSBY

          (Image source: news.liputan6.com)

Blogspot. Opsi Pilkada Tidak Langsung menang di sidang Paripurna DPR pada dini hari tadi, karena DPR mengakunya ejawantah rakyat, entah rakyat mana yang gembira menyambut kemenangan tersebut, sepertinya tidak nampak di pemberitaan-pemberitaan media, kecuali tentu saja tokoh-tokoh politik Koalisi Merah Putih (KMP) itu sendiri.

Dari Amerika, Pak SBY mengaku kecewa, entah apa maksudnya kalau di bandingkan dengan yang dilakukan Partai Demokrat walk out di sidang paripurna tersebut? Padahal banyak yang menganggap, walk out-nya Demokrat pasti dapat restu SBY? Berarti apakah memang itu strategi atau titahnya sudah tidak dituruti? Ketika Partai PDIP, PKB dan Hanura bersedia mengikuti usulan Demokrat, harusnya terjadi voting dua kali, yang pertama adalah memperjuangkan voting persetujuan usulan dari Partai Demokrat untuk bisa diterima di sidang paripurna tersebut, tapi anehnya justru balik badan dan meninggalkan sidang. Terlalu jelas terbaca bahwa itu menimbulkan persepsi Demokrat justru kaget ketika mendapat dukungan, masuk akal yang dikatakan tokoh dari PDIP menanggapi keluarnya partai Demokrat dari sidang Paripurna.

Ketua harian Partai Demokrat Syarief Hasan justru sangat lucu ketika beralibi usulan Partai Demokrat tidak disetujui tanpa bermaksud memperjuangkannya, juga  mengatakan Ketua Sidang sudah mengetuk palu yang sempat membuat sidang paripurna “meriah” itu. Kok seperti kekanak-kanakan gitu, dan kenapa anggota DPR dari Demokrat tidak ikut protes tentang hal itu? Atau saya kurang cermat melihat?

RUU tentang Pilkada tersebut konon ceritanya sudah dibahas di DPR hampir 3 tahun, tidak perlu dibahas lagi tentang balik kanannya semua partai yang tadinya menolak setelah kekalahan Pilpres. Yang jadi pertanyaan rakyat yang merasa hak-nya dirampas, RUU tersebut adalah usulan dari Pemerintah dan itu berarti kepanjangan tangan dari Demokrat. Jadi sebetulnya Demokrat justru tetap konsisten, konsisten mendukung secara lihai kembali ke RUU hasil usulan Pemerintahannya bukan? Sungguh luar biasa ya, menang tanpa melakukan apapun juga? “Salut atas ke-lihai-annya.”


Hasil voting yang memenangkan opsi Pilkada oleh DPRD adalah 226 berbanding 135 yang memilih Pilkada Langsung. Sebelum dimulai voting, seharusnya sudah sangat jelas akan kalah, dan terus terang saya juga tidak paham kenapa itu dibiarkan tetap berlangsung oleh PDIP? Rasanya itu adalah hitungan sederhana bukan?

Berpolitik memang harus lihai, dan cepat mengkalkulasi, kalau sudah tahu pasti kalah, setidaknya jangan biarkan lawan menikmati kemenangan dengan mudah, syukur kalau bisa buat lawan tidak jadi menang. Ketika Demokrat walk out, dan Mbak Puan minta waktu 15 menit untuk koordinasi, dan terlihat juga berkoordinasi dengan Pramono Anung, saya justru mengharap hasil koordinasinya adalah mengajak PKB juga Hanura dan juga yang setuju dengan pilihan Pilkada Langsung untuk ikut walk out seperti yang dilakukan oleh Demokrat. Karena kalau semua pendukung walk out, berarti tersisa di sidang Paripurna adalah 226 anggota DPR yang setuju Pilkada oleh DPRD, lalu pertanyaan selanjutnya adalah, apakah sidang paripurna tersebut menjadi “kuorum” dan sah atau tidak? Bukankah lebih bagus berpolemik seperti itu dari pada sudah pasti kalah? Siapa tahu kalau dinyatakan tidak kuorum dan tidak sah, bahasan RUU Pilkada tersebut akan dilimpahkan ke DPR periode berikutnya? (SPMC SW September 2014)
.

Catatan:
Total Anggota DPR Periode ini adalah 560.


                              (Image source: www.portalkbr.com)

Thursday, September 25, 2014

"TEGASLAH BERSIKAP, AKU PATAH HATI KAMU MENDUA" || #KETIKA

(Image source: indoku.co.id)

Blogspot. KETIKA ribut TNI vs POLRI, “padahal” itu se-iprit yang terkabarkan karena DISPARITAS harga BBM yang sangat rawan diselewengkan. Masihkah itu dibiarkan, bukankah sudah sangat sering terberitakan yang serupa dan melibatkan banyak macam oknum aparat Negara?

KETIKA Harga Gas ELPIJI 12 Kg naik, rakyat berbondong-bondong pindah ke Gas Melon ukuran 3 Kg, saya tidak yakin kalau hal itu tidak dipahami sebelumnya.

KETIKA anggota DPR tetap dilantik walau statusnya tersangka, itu sudah pernah terjadi, dan kita semua ternyata memilih jadi lebih dungu dari pada keledai. Ditambah banyaknya anggota DPR yang menggadaikan “surat pengangkatannya”, supaya cepat lunas, jangan-jangan itulah salah satu sebab kenapa ngotot mau Pilkada tidak langsung? Paling lucu mendengarkan argumentasi para tokoh politik yang ingin Pilkada lewat DPRD saja, katanya KPK lebih mudah ngawasi 50 anggota DPRD dari pada rakyat yang begitu banyak? Logika keblinger dan sudah berhasil mempesona para lawan tokoh politik yang ternyata banyak terpana dan tidak bisa menjawab. Padahal, ibarat satu kolam berisi 50 ekor ikan, dan kolam yang lain berisi 500 ribu ekor ikan, di kolam mana yang mudah menangkap ikan? Kalau sama-sama berkehendak, bukankah menangkap “serangan fajar” lebih gampang dibanding menangkap anggota DPRD yang sudah tahu diawasi dan pastinya akan lebih licik entah pakai calo tingkat berapa? Yang jadi masalah adalah tegaknya hukum untuk bidang politik sepertinya hanya kaya wacana dan miskin implementasi. Kenapa tidak melihat dengan mata hati nurani, apakah ketika waktoe itoe akan diubah menjadi Pilkada Langsung juga ada demo yang begini banyak oleh rakyat? Jadi sebetulnya DPR itu singkatannya apa? Atau jangan-jangan walau singkatannya tetap sama, tapi persepsinya jadi “Dewan Penipu Rakyat”? Atau Pemeras? Dan ngenesnya, mau jadi Penipu/Pemeras dengan membekali ilmu kekebalan, bukankah begitu salah satu usulan UU MD3? Sepertinya kita semua digiring menuju jurang kenistaan oleh ke-egois-an, dan jengkelnya, kita digiring tokoh-tokoh yang telah kita pilih sendiri dalam Pileg. Kalau ada yang merasa tidak ikut memilih, itulah bukti nyata bahwa Golput-pun juga terkena imbasnya. Kalau alasan banyaknya korupsi saat ini, seandainya ada KPK saat itu, jangan-jangan 100 persen Kepala Daerah hasil pemilihan DPRD waktu itu tertangkap semua karena korupsi. Cari alibi/pembenaran/pembanding kok yang lucu-lucu dan tampak sangat egois. Lalu supaya tampak mendapat dukungan, hari ini Koalisi Merah Putih (KMP) mengerahkan massa untuk demo di gedung DPR menuntut Pilkada Tidak Langsung, pada sebelum-sebelumnya selalu tereak UU MD3 tidak ada urusannya dengan KMP. Piye toh?! Banyak yang kalap, atau saya yang salah tangkap makna? Dijaga sangat banyak aparat supaya tidak terjadi bentrok, dan lebih seru dengan pengaturan waktu orasi.

KETIKA kabut asap melanda lagi, kejadian rutin yang semakin meyakinkan kita, ternyata mengelola Negara tidak semudah teorinya. Atau memang tidak becus? Pada setiap kejadian kabut asap, pihak POLRI selalu mengumumkan berhasil menangkap pembakar-nya, lalu tidak dengar lagi kelanjutannya, siapa dibalik itu semua, apa hukumannya? Terus kalau itu semua ternyata tidak pernah menjerakan pelaku pembakarnya, kenapa tidak pernah merubah aturan mainnya? Kenapa? Sepertinya kita semua tidak peduli karena terlalu egois, padahal itu jelas-jelas merugikan Negara, bukankah kita juga mendengar tentang adanya penyewaan alat pemadam kebakaran dari Luar Negeri yang tentu saja tidak murah? Belum kalau tidak dikorupsi? Dan bagaimana dengan kerugian kesehatan masyarakat? Apakah menunggu sampai kiamat baru selesai dengan sendirinya soal kabut asap? Memang di Negara majupun juga pernah terjadi kebakaran hutan yang mengakibatkan kabut asap, baik itu di Amerika maupun di Australia, tapi tidak kejadian rutin yang sengaja dicipta demi kepraktisan dan ke-egoisan! Jangan-jangan itulah benang merahnya, kenapa banyak rakyat yang tidak setuju kita punya Nuklir untuk pembangkit listrik sekalipun, lha mencegah asap yang rutin terjadi saja tidak becus ……

KETIKA Mapram/Perploncoan/Ospek masih terjadi dan menelan korban entah itu ditingkat SMU maupun Univesitas, kenapa tidak dilarang saja? Apakah begitu yakin bahwa hal tersebut tetap diadakan karena banyak manfaat? Logika apa lagi yang ingin tetap dipertahankan? Padahal sepintas yang pernah saya dengar menurut ilmu pendidikan baik dirumah maupun disekolah, mengajarkan dengan kekerasan akan menghasilkan kekerasan juga. Sungguh menjengkelkan menuntaskan masalah itu saja tidak becus. Kalau dikasih peraturan bahwa mapram/perpeloncoan/ospek atau diselubungkan dengan istilah-istilah lain seperti ‘masa perkenalan’ dan lain-lain adalah dilarang diadakan dengan sanksi pemecatan dengan tidak hormat Kepala Sekolah atau Rektor-nya, saya kok yakin tidak akan ada lagi. Tapi harus benar dan tegas implementasinya.

KETIKA ada demo tolak penggusuran ditempat yang terlarang mendirikan bangunan atau memang bukan haknya, apa lagi dengan alasan belum ada sosialisasi atau uang ke-rohim-an belum sesuai, sungguh memprihatinkan. Dan itu juga terjadi dengan pengosongan rumah dinas yang ditinggali oleh para pensiunan yang tidak mau pindah karena merasa sudah menempati rumah puluhan tahun lamanya. Ternyata banyak diantara kita yang tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Karena seringnya kita mendengar tentang hal itu semua, berarti para pengambil kebijakan tidak pernah belajar tentang hal itu. Apa susahnya pengawasan mendirikan bangunan ditempat yang terlarang dilakukan oleh Lurah misalnya, sehingga tidak terjadi sudah sangat banyak dan berpuluh tahun baru ditertibkan. Bukankah seharusnya sebagai Lurah menguasai wilayah tugasnya? Dan para Pensiunan harusnya segera meninggalkan rumah dinas segera setelah memasuki masa pensiun, tanpa kecuali. Yang sering terjadi adalah ewuh pekewuh, apalagi kalau yang pensiun punya jabatan, sehingga mantan anak buah tidak enak kalau harus mengusirnya, dan terjadilah berpuluh tahun tinggal dirumah dinas, sampai ganti pemimpin di instansi tersebut yang merasa tidak pernah hutang budi, lalu terjadilah pengusiran yang diributkan itu.

Sungguh banyak hal yang bisa dilakukan dan segera membuat Negara ini hebat kalau aturan dilaksanakan sebagaimana mestinya dan hukum ditegakkan dengan tegas, bukan hanya diwacanakan saja. Dan untuk semua hal yang bersifat umum, percayalah tidak akan berhasil kalau itu bersifat himbauan atau mendua! Jadi jangan mengharap adanya ketertiban dengan himbauan. Jangan buang sampah sembarangan! Jangan melanggar peraturan lalu lintas atau tertiblah berlalu lintas! Jangan Mencuri! Jangan Korupsi! Dan seabrek “jangan” lainnya, bahkan masih diembel-embeli dengan sumpah jabatan segala. Terbukti tidak bermanfaat bukan? Begitu juga yang terjadi dengan mendua, maksud saya adalah disparitas harga untuk umum, contohnya BBM dan Gas Elpiji, sami mawon hasilnya, tidak akan berhasil! Percayalah, dan ayolah segera akhiri hal-hal itu, sekali lagi himbauan dan mendua tidak akan ada gunanya untuk umum. Yang bisa berhasil adalah tindakan tegas sesuai UU dan hindari keputusan mendua. (SPMC SW, September 2014)
.

Catatan:

Untuk urusan BBM dan Gas ELPIJI 12 Kg, masalah akan lebih sederhana kalau menghilangkan subsidi BBM dan harga Gas Elpiji 12 Kg tidak perlu dinaikkan.


Friday, September 5, 2014

"MENCEGAH NEGARA CHAOS, AYO SELAMATKAN DON MAFIA MIGAS! (OPINI GILA)" || #KETIKA

                  (Image source: mautauaja.info)



Blogspot. Rencana judul Artikel ini adalah: “Dari Hartati Murdaya Sampai Oknum Polri Tertangkap Di Malaysia”

EGOIS adalah satu kata yang menggambarkan itu semua, dan Revolusi Mental ternyata sangat mendesak untuk dilaksanakan, utamanya terhadap para penyelenggara Negara!

KETIKA doeloe heboh pembebasan bersyarat atas Schapelle Leigh Corby yang sempat dijuluki Ratu Mariyuana dari Australia, aneka macam tafsir gosip banyak sekali bermunculan: Ada yang menggosipkan karena teman kuliah anaknya pemimpin ; Menerima uang suap ; Mafia peradilan ; Mendapat tekanan dari Pemerintah Asing ; Barter pesakitan ; Dan mungkin masih banyak lagi yang saya tidak ingat atau memang tidak tahu. Tapi yang pasti pemberitaannya sempat heboh beberapa pekan, termasuk ungkapan kegeraman oleh beberapa mantan penegak hukum yang pernah mengadili kasus-kasus sejenis. Padahal beberapa tahun sebelumnya Pemerintah pernah mencanangkan “Perang Melawan Narkoba”, salahkah rakyat menilai “Tidak satunya pekataan dan perbuatan?” Atau bolehkah itu dikelompokkan kedalam satu kata EGOIS? Merasa paling benar sendiri, karena pemegang hak yang memang diperbolehkan. Rakyat silahkan mengkritisi, the show must go on ….

KETIKA Menkumham memberikan kebebasan bersayarat kepada terpidana Hartati Murdaya padahal gosip yang beredar waktunya belum klop, dan banyak rakyat tahu bahwa yang bersangkutan adalah mantan Anggota Dewan Penasehat Partai yang konon gosipnya pernah memberikan dukungan dana. Kenapa tidak mempedulikan perasaan rakyat, apakah karena kekuasaan akan segera berakhir takut tidak sempat membalas budi? Kalau memang merasa benar, kenapa tidak jumpa pers saja untuk menerangkan duduk masalah dan pertimbangannya? Kalau toh memang dibenarkan karena punya kekuasaan atau hak khusus, apakah memang penggunaannya tidak peduli walau harus mencederai perasaan rakyat? Atau berpikir, sebodo amat ini adalah hak gue, emangnya apa urusannya ama lu? Bukankah itu semua menggambarkan “dimatikannya perasaan” pengambil kebijakan dan lupa introspeksi padahal itu men-stikma EGOIS, keinginan pribadi atau tak mampu menolak keinginan pembisik?

KETIKA doeloe ada anaknya menteri terlibat kecelakaan dan menimbulkan korban tewas, lalu pengadilan digelar, berujung akhir dinyatakan bersalah, tapi tidak dipenjarakan. Pertimbangannya adalah sudah adanya islah dengan pihak keluarga korban. Bagaimana kalau seandainya yang mengalami bukan anaknya Menko? Atau bukan orang mampu yang mampu ber-islah karena pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Kalau semua itu benar dan layak, semoga rakyat tidak mengeluh lagi atas tegaknya hukum di NKRI yang tajam kebawah dan tumpul keatas. Terima sajalah nasib, salahnya sendiri kenapa tidak menajdi orang kaya dan punya banyak pengaruh, orang miskin tidak boleh protes. Jadi kalau dalam kasus ini boleh tidak dikelompokkan ke EGOIS ya?

KETIKA dua oknum POLRI yang masih aktif tertangkap di Malaysia karena masalah narkoba, apakah kita harus bersedih, berduka, geram? Kemudian terkorek khabar beredar tentang “kenakalan” oknum tersebut. Berita yang beredar adalah kemungkinan ancaman hukuman pancung, serem amat …… Pasti membuat banyak pihak di NKRI ini yang akan kerepotan sehubungan masalah tersebut. Kalau misalnya keputusan tersebut benar terjadi, akankah Pemerintah Indonesia memohonkan ampun? Pasti kebagian tugasnya Pemerintah baru ya? Dan saya tak paham protokoler hubungan antar Negara, apakah permohonan-permohonan semacam itu juga akan mempengaruhi kasus-kasus lain, tentang TKI misalnya? Atau kita jadi ewuh tereak kalau misalnya ada pengakuan hak intelektual atas suatu karya atau budaya Negeri ini oleh mereka karena kita merasa sudah hutang budi atas permohonan ampun tersebut? Bagaimana kalau hal tersebut menyangkut batas wilayah? Dan pasti akan sangat panas kalau permohonan ampun tersebut justru ditolak oleh Permerintah Malaysia, dan hukum pancung tetap dilaksanakan. Campur aduk antara geram dan jengkel atas penolakan ditambah sebel karena ulah oknum “nakal”, atau jangan-jangan penolakan itu akan memunculkan rasa solidaritas dan pemahaman baru karena dipicu rasa malu dan balas dendam. Siapa tahu kita akan melakukan hal yang sama atas semua bandar narkoba yang tertangkap di Negara ini, utamanya tentu saja oknum dari Malaysia …karena dendam yang membara …..bukankah itu justru akan positif untuk anak cucu kita, berkurangnya ancaman narkoba. Mencoba berlogika positif, supaya tidak tampak EGOIS …… Dibalik itu semua, padahal saya yakin se yakin-yakin-nya, masalah Narkoba di NKRI ini sudah sangat gawat dan memprihatinkan, tak ada satu lembagapun yang bersih dari Narkoba, termasuk lembaga yang harusnya memberantas Narkoba itu sendiri. Bukankah tertangkapnya oknum Polri merupakan bukti nyata? Apalagi kalau nantinya terbukti merupakan bagian dari Sindikat Mafia Narkoba International. Oknum Pemberantas yang ternyata merangkap Anggota Sidikat, EGOIS yang sangat menyedihkan atau membuat geram? Jadi jangan terlalu berharap bahwa Narkoba akan segera sirna di Negeri ini.

KETIKA waktu itu menyelengarakan Konvensi untuk menentukan jagoan yang direncanakan akan dimajukan dalam bursa Capres, banyak tokoh yang dipandang hebat harus ikut bergabung, termasuk “memanggil” pulang jagoan yang didatangkan dari Amerika. Setelah kini semuanya berlalu dan ternyata rencana tersebut tidak berhasil, sang tokoh dijadikan Wamenlu, tentu saja dengan men-Dubes-kan Wamenlu yang sedang menjabat, semuanya senang karena Kabinet akan segera berakhir. Balas jasa atau apa maknanya? Apakah sebegitu penting kebutuhannya? Padahal hanya tinggal berapa lama jangka waktu yang ada? Mungkin itu dianggap pengeluaran uang receh, makanya jadi Presiden kalau mau bisa banyak membantu teman atau kroni. Bolehkah hal itu dikelompokkan ke EGOIS yang manis? Apakah Presiden Jokowi nanti juga akan banyak melakukan hal semacam itu, membalas budi kroni walau sebetulnya jabatan itu tidak ada juga tidak apa-apa?

KETIKA Menteri ESDM Jero Wacik dinyatakan tersangka oleh KPK, walau sebetulnya tidak mengagetkan karena banyak yang sudah menduga ketika Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini tertangkap dan ngoceh dalam pemeriksaan dan di Pengadilan, tapi beritanya toh tetap heboh. Lalu Alvin Lie mantan anggota DPR dari PAN dalam dialog jarak jauh di Kompas TV semalam, mengingatkan bahwa Pak SBY adalah juga mantan Menteri ESDM, dan seharusnya paham betul tentang Mafia Migas, apalagi juga dikatakan Don(Bos) Mafia Migasnya ditenggarai masih sama bahkan sejak ORBA, bukankah itu pernyataan sederhana yang berimplikasi sangat mendalam? Lalu saya “menerawang”, maaf mungkin imajinasinya kelewatan, Sang Don Mafia Migas tidak akan tersentuh, maksimal di stop kegiatannya. Apa lagi juga beredar GOSIP, pada Pilpres kemarin sang Don Mafia juga ikut memberi sumbangan untuk Capres Jokowi? Dasar saya mengatakan tidak akan tertangkap adalah: Bukankah kalau ditangkap lalu ternyata mengeluarkan tetralogi cerita yang ternyata pemeran utamanya adalah semua pejabat Negeri yang pernah memimpin, ancaman CHAOS bukan tidak mungkin toh? Bagaimana hayo kalau itu yang terjadi, apakah akan dinyatakan Pemerintahan yang lalu adalah tidak sah? Tambah runyam toh? Bisa gawat kalau ternyata semua Pemerintahan yang pernah terjadi adalah tidak sah karena ternyata Don Mafia Migas terlibat didalamnya. Jadi rasanya bisa stop aktifitas Mafia Migas adalah maksimal. Pemberian stempel Mafia dibubuhkan, sangat banyak diantara kita yang membayangkan seperti di-film-film gangster bahwa Mafia itu suka memeras dengan ancaman, kejam dan sadis, tapi menyimak cerita yang ada tentang Mafia Migas, justru sang Mafia yang sepertinya diperas lalu dilindungi, jadi sebetulnya Mafia-nya itu yang mana? Bukankah logika umum adalah yang memeras dan melindungi?  Bagaimana menurut Anda? Khusus masalah ini, saya tidak bisa mengatakan EGOIS walau sebetulnya bisa saja dikaitkan, egois untuk menang kompetisi sebagai Pemimpin walau apapun caranya.

KETIKA saya mengakhiri mengutarakan ketika-ketika yang lain sehubungan dengan EGOIS, itu memang karena sedang tidak ingat lagi apa yang lainnya dan beruntung karena artikel ini jadi tidak terlalu panjang. Giliran Anda dipersilahkan mengutarakan sesuai persepsi Anda, dan saya menunggu khabar untuk mengunjungi artikel tersebut. Maaf kalau artikel ini tampak sangat tendensius, tapi bukankah Penguasa yang biasanya layak mendapat sorotan dan kritik? Setidaknya itulah suara rakyat, karena memang saya adalah salah satu rakyat jelata di Negeri ini. (SPMC SW, September 2014)

                              (Image source: indopolitika.com)

"JERO WACIK TERSANGKA, APAKAH PRESIDEN SBY GAGAL?"

(Image source: nasional.kompas.com)

Blogspot. KPK mengawali tangkap tangan Rudi Rubiandini lalu terkenal dengan sebutan kasus SKK Migas, berikut terseretnya Sekjen Kementerian ESDM Waryono Karno, Sutan Bhatoegana, dan kini telah ditetapkan sebagai tersangka Bos Kementrian ESDM, Jero Wacik.

Jadi sebetulnya sebutan Mafia Migas itu ditujukan kepada siapa? Kalau ternyata akhirnya yang menghuni hotel prodeo kebanyakan adalah pejabat-pejabat-nya itu sendiri? Memang ada pengusaha migas yang “diperas” atau “menyuap” yang tersangkut kasusnya, tapi kalau hanya itu kejadiannya, apakah sebutan Mafia untuk para pengusaha migas itu bukan terlalu berlebihan? Karena ternyata justru pejabat-pejabatnya-lah yang setidaknya tergambar menciptakan kong-kali-kong dengan memeras atau meminta imbalan dengan janji-janji kemudahan atau ijin khusus sebagai kewenangan sang pejabat. Bukan berarti saya mengatakan tidak ada mafia migas, tapi lebih mengharap dapat terungkap lebih dari itu lalu terbongkar dan tertangkapnya “hantu” mafia migas tersebut. Bukankah kejadian-kejadian tersebut tidak berbeda modus dengan import daging sapi?

Alasan penetapan tersangka Jero Wacik oleh KPK adalah kerugian Negara yang mendekati 10 Milyar dengan modus misalnya menciptakan kegiatan-kegiatan fiktif untuk mendapat tambahan anggaran yang dianggap kurang yang diterima dari APBN.

Dari semua kejadian banyak Menteri yang akhirnya menjadi penghuni hotel prodeo, walaupun Presiden tidak pernah menghalangi atau meng-intervensi kasus hukumnya, apakah Pak SBY tidak pernah merasa gagal? Setidaknya merasa gagal memilih orang-orang bersih sebagai pembantu-pembantu-nya maksud saya.

Semoga kejadian tersebut meng-inspirasi Presiden terpilih Pak Jokowi, bahwa politik dagang sapi sangat rentan merugikan Negara pada umumnya, dan mencemarkan Pemerintahan itu sendiri. Ternyata NKRI BAHAYA LATEN KORUPSI. (SPMC SW, September 2014)