Tuesday, November 4, 2014

"WACANA POLITIK ALA WARUNG KAKI-LIMA"

                                                       Copas dari chirpstory.com

Blogspot. Dimulai dari Pilpres yang dimenangkan oleh Presiden Jokowi saat ini, tontonan pertemuan Jokowi dan Prabowo, lalu epik tersebut diakhiri ketika Prabowo menghadiri pelantikan Presiden Jokowi, seolah-olah masalah tersebut sudah berakhir, rakyat kebanyakan bertepuk tangan gembira. Itulah drama perpolitikan dalam perebutan pucuk pimpinan Negeri ini.

Tapi apakah betul semuanya sudah berakhir dengan menggembirakan? Melihat kenyataan yang ada saat ini, utamanya di Rumah Perwakilan Rakyat, ternyata “perang saudara” justru baru hangat-hangat-nya. Dan obrolan dari warung kopi kaki-lima menyiratkan bahwa semua peristiwa itu justru diawali jauh sebelum Pilpres itu sendiri terjadi. Menurut mereka, seandainya Jokowi tidak dimajukan jadi Capres, hampir pasti Prabowo-lah yang jadi Presiden saat ini, dan sepertinya memang itu masuk akal, bahkan pemenang ke dua Pemilu Legislatif saja mau mendukung Prabowo dalam Pilpres yang lalu bukan? Tapi menurut gosip mereka, masalah pokoknya adalah Prabowo sudah berkampanye untuk menginginkan kursi ke-Presidenan sekitar 3 sampai 5 tahun sebelumnya, dan itu butuh biaya yang tidak sedikit, bahkan ada yang menggosipkan total pengeluaran sampai dengan Pilpres yang lalu tidak kurang dari 15 Triliun! Ah …..dasar gosip! Walau saya sudah nyeletuk, kekayaannya saja tidak ada segitu, apakah itu tidak dugaan lebai? Lalu ada juga yang nyeletuk, memang dana kampanye hanya dari calon saja, itu juga merupakan sarana judi investasi para big boss bro, dan apakah semua yang dilaporkan tentang harta kekayaan itu pasti akurat? Wow wow wow …. membuat saya sejenak termenung ….. siapa yang berani sangat yakin bahwa dugaan data dana kampanye itu salah?

Harta - Tahta - Wanita, memang luar biasa, dan sepertinya akan tetap abadi kebenarannya bukan? Dan tidak salah kalau “harta” disebut yang pertama karena itu menggambarkan betapa pentingnya harta. Uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang!

Lalu menyikapi perang saudara di Rumah Perwakilan Rakyat, menurut saya pribadi, itu semua diawali oleh UU MD3, dan MK punya andil didalamnya. Alasan yang paling utama oleh MK dalam menolak gugatan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) adalah karena UU MD3 tidak berlawanan dengan UUD. Padahal harusnya dengan memberlakukan UU MD3 yang sekarang ini, semestinya MK bisa menerka bahwa keributan itu pasti akan terjadi. Jadi dengan UU MD3 yang sekarang, siapapun diposisi yang pasti kalah juga pasti akan melakukan hal yang serupa yang dilakukan oleh KIH. Jadi masih menurut pendapat saya, apa yang dilakukan KIH tidaklah luar biasa, itu hanya mencerminkan adanya aturan main yang tidak berkeadilan. Itulah gambaran Indonesia sampai saat ini, tokoh politiknya sangat egois, hanya berpikir untuk dirinya sendiri dan kelompoknya, dan bahkan sangat egois-nya, juga meng-atas namakan rakyat untuk menutupi keserakahannya. Luar biasa!


Tidak semua yang tidak berlawanan dengan UUD pasti benar, seandainya MK lebih bijak bersikap, mencermati waktu dan tujuan UU MD3 dibuat, seharusnya tidak terjadi gonjang-ganjing ini. Bukankah sangat jelas bahwa UU MD3 dibuat justru oleh mereka yang telah bersekutu dahulu, dan manfaat dari UU MD3 adalah dari keberhasilan membentuk sekutu tersebut. Maka ketika ada 2 anggota MK yang menyatakan dissenting opinion, justru saya pikir merekalah yang lebih bijak mengambil sikap. Kalau seandainya MK bersikap dan memutuskan bahwa UU MD3 boleh diberlakukan untuk periode DPR yang akan datang (Mulai 2019) itu pasti lebih adil, karena semua partai dapat mempersiapkan diri, sekaligus menguji apakah Koalisi Merah Putih (KMP) juga akan tetap mendukung UU MD3 tersebut?

Ketika MK memutuskan gugatan Pilpres dan tetap menetapkan kemenangan Capres Jokowi-JK, pihak KIH pasti menganggap adil dan KMP bisa jadi merasa tidak adil. Dan ketika MK menolak gugatan UU MD3, apakah gugatan tentang UU MD3 juga masih ada kaitannya? Karena dari semua pengamat maupun tokoh politik, hal itu selalu dihitung akumulasinya sampai saat ini dengan skor berapa untuk KMP dan berapa untuk KIH, seperti pertandingan bola saja.

Menurut saya, dalam kasus gugatan Pilpres, MK bisa mendapatkan bukti fisik dokumen atas pembuktian gugatan, dan walaupun peristiwanya tampak besar dan wah, terlebih dengan sorotan pemberitaan yang sangat luar biasa, harusnya itu tidak ada masalah tentang muatan keadilan didalamnya, dan memang itulah yang terjadi. Tapi tentang UU MD3, itu adalah hal yang sangat berbeda, UU MD3 itu ibaratnya adalah aturan permainan dan pesertanya adalah semua anggota DPR, dan maaf ….menurut saya, MK lupa  mempertimbangkan, bahwa aturan permainan apapun juga permainan itu, baik itu dibidang olah raga sekalipun, maka ketika salah satu peserta permainan TIDAK mungkin bisa memenangkan pertandingan karena persekutuan yang tersisa tidak mungkin bisa menang dalam pertandingan, maka aturan tersebut pastilah tidak bermuatan keadilan! Lalu yang ingin saya tanyakan, apakah para anggota MK yang memutuskan kelayakan UU MD3 tersebut tidak merasa terusik hati nuraninya menyaksikan perang saudara yang ada di Rumah Perwakilan Rakyat saat ini? Karena itu semua pencetusnya adalah UU MD3!

Mencermati debat-debat yang ada, ketika tokoh-tokoh partai dari KMP mengatakan, bukankah jabatan Ketua Komisi hanyalah sebagai pengatur lalu lintas saja, begitu mereka sering meng-umpamakan. Herannya kalau mereka beranggapan begitu, kenapa tidak mau memberikan saja kepada KIH? Pembodohan, memang bodoh beneran atau egois? Banyak sekali para tokoh kalau berpendapat lupa membalikkan keadaan, lupa memberlakukan pernyataannya sendiri untuk semisal diberlakukan kepada dirinya sendiri, dan itulah awal dari malapetaka yang banyak terjadi dinegeri ini. EGOIS yang keterlaluan!

Tidak sedikit para pengamat yang juga seolah-olah menyalahkan KIH kurang bisa bernegosiasi, utamanya mereka hampir gamblang mengatakan PDIP terlalu kaku dalam berpolitik. Dan saya tidak yakin bahwa pengamat tersebut sejatinya tidak memihak siapapun! Karena kalau saya diposisi KMP, saya juga pasti akan melakukan seperti yang dilakukan KMP saat ini, selalu berwacana menyalahkan pihak lain karena memang punya bekal kitab suci UU MD3 yang pasti memenangkannya karena memang sakti mandra-guna! Sisi itulah yang sering kali tidak dapat dirasakan oleh banyak pengamat. Setidaknya begitu menurut anggapan saya, maaf kalau salah dan kurang berkenan. Dan jangan anggap saya pasti membela PDIP dengan membabi-buta, karena dalam hal Pemerintah saat ini memberikan bantuan tunai kepada rakyat melalui Kartu Keluarga Sejahtera / Kartu Chip / SIM Card Uang Elektronik, apa makna bedanya dengan BLT yang dilakukan oleh Pemerintah sebelumnya dan yang sangat ditentang oleh PDIP waktu itu, bahkan masih terngiang ditelinga, mendidik rakyat jadi pengemis! Mungkin Politik tidak boleh disikapi dengan ksatria ya, harus seperti bunglon gitu?

Paling memalukan, atau memang tidak punya malu? Ketika tokoh “hebat” dari partai KMP mengatakan: Seharusnya PDIP dan kawan-kawan (kata lain dari KIH) memasukkan nama saja untuk dicalonkan sebagai pimpinan komisi, lalu ayo kita negosiasikan, semuanya bisa kita rundingkan toh … Kurang lebih begitu yang disuarakan ke-para Jurnalis yang saya tonton di-tipi-tipi berita. Lalu saya teringat sidang paripurna yang sampai menggulingkan 2 meja itu. Mungkin banyak yang terlupa membandingkan antara pernyataan tersebut dan peristiwa ricuh paripurna itu. Bukankah semua sudah tahu kalau PPP sedang ada masalah di internalnya, lalu ketika ada yang menyerahkan nama yang mengatas namakan PPP pada sidang paripurna tersebut, pimpinan sidang tak mempedulikan protes dan hal itu digunakan senjata untuk mengesahkan bahwa mereka sudah punya 6 fraksi untuk membetuk pimpinan-pimpinan komisi. Persis anak kecil yang memperebutkan mainan dan lari ngacir setelah mendapatkannya. Bagaimana mungkin KIH percaya diminta menyetorkan nama lalu semuanya bisa dirundingkan? Sungguh mereka lupa ngaca, menganggap semuanya bisa dibodohin, mau dikarungin saja, terus diberangus supaya tidak bisa berkata-kata lagi karena kalah tanda bukti. Dan sebagai salah satu rakyat jelata, saya kok asyik saja melihat dualisme DPR saat ini. Ayo jangan mau dibodohin, tapi jangan lupa, ketika KIH tidak suka dengan UU MD3, maka jangan gunakan UU MD3 tersebut walaupun suatu ketika kalian justru berkesempatan memenangkan pertandingan via UU MD3 itu, jangan balas ketidak adilan dengan ketidak adilan, walaupun memang harus menolak diperlakukan tidak adil. Dan yang ingin saya tanyakan karena alpha mencermati, apakah PPP sudah mendapat jatah ketua komisi karena namanya sudah dicatut sebagai penggenap? Karena kalau tidak dapat jatah, jadi ngeri kalau ada yang menjulukinya benar-benar perampok bukan?

Saya juga mencermati, banyak tokoh dari KMP yang mengatakan, bukankah di Kabinet kita juga tidak mempermasalahkan, kita tidak minta jatah harus masuk anggota Kabinet. Maka sekarang legowolah, biar kita menjadi penyeimbang Pemerintahan yang kuat. Itu salah satu lagi ke-egoisan yang diwacanakan, terlalu egois sampai lupa malu dan lupa makna DPR dan Pemerintahan (Kabinet). Apakah lupa bahwa Kabinet itu dibentuk oleh Presiden, dan ada hak prerogatif didalamnya? Dan hak pembentukan Kabinet oleh Presiden tersebut bukanlah hal baru, tapi sudah begitulah adanya sejak dulu. Sedangkan Lembaga DPR adalah rumah untuk para wakil rakyat yang tercermin melalui semua partai yang disyaratkan perolehan suaranya melalui Pemilu Legislatif. Jadi kalau KMP mau menyapu bersih semua jabatan di lembaga yang namaya DPR, bahkan suara terbanyak sekalipun tidak mendapat jatah, keadilannya dimana? Hati nurani saya tidak dapat membenarkan hal semacam itu terjadi walau mereka menggunakan pembenaran melalui UU MD3 yang bahkan sudah dikuatkan oleh MK. Percayalah gonjang-ganjing itu akan tetap terjadi, karena memang para perumus UU MD3 tidak bermaksud untuk membuat aturan main yang ber-keadilan. Jadi seandainya penggunaan UU MD3 tersebut memihak KIH, saya sangat yakin KMP pun juga akan melakukan hal serupa yang dilakukan oleh KIH saat ini. Dan itu waras!

Kalau kita memperhatikan peraturan di sepak bola, tidak ada yang protes karena memang adil. Tapi kenapa justru Bangsa ini tidak bisa membuat UU semacam itu? Ketika membuat UU yang sering kali di-ubah, itu pasti mencerminkan tidak memuat keadilan secara universal didalamnya, bahkan sangat mungkin UU yang dibuat untuk kepentingannya sendiri dan kelompoknya, lalu pada waktu-waktu mendatang akan diubah lagi supaya tetap bisa memenangkan kelompoknya sendiri. Selayaknya hal semacam itu jangan disebut UU tapi TTME saja. (SPMC SW, Nopember 2014)
.
——————-
 
CATATAN:

TTME= TATA TERTIB MENCAPAI ke-EGOISAN

Kalau harus terpaksa membiarkan KMP menyapu bersih semua jabatan yang ada di DPR, saran saya agar KIH menjadi oposisi di dalam oposisi saja, dan itu akan lebih efektif kalau mau bekerja sama dengan Kabinet (para Menteri). Oposisi di dalam oposisi adalah oposisi didalam anggota DPR, buatlah agar KMP tidak berkutik, awasi segala macam penyimpangan dari A sampai Z, dari absensi sampai tertidur, bahkan juga lawatan ke LN. Beritakan melalui media massa agar mereka menyesal telah memonopoli jabatan. Pastikan mereka juga berpuasa seperti KIH, puasa untuk tidak korupsi, maka kalian akan dinilai hebat oleh rakyat yang akan memilih Anda di Pileg mendatang. Kupasannya ada di artikel berikut:
.  
“MANTRA SAKTI U/. MELUMPUHKAN KUBU PRABOWO DI PARLEMEN”. (RAHASIA JOKOWI)
.

http://t.co/6z2xrRp90f
.
——————–