Copas dari chirpstory.com
Blogspot. Dimulai dari Pilpres yang dimenangkan oleh
Presiden Jokowi saat ini, tontonan pertemuan Jokowi dan Prabowo, lalu
epik tersebut diakhiri ketika Prabowo menghadiri pelantikan Presiden
Jokowi, seolah-olah masalah tersebut sudah berakhir, rakyat kebanyakan
bertepuk tangan gembira. Itulah drama perpolitikan dalam perebutan
pucuk pimpinan Negeri ini.
Tapi apakah betul semuanya sudah berakhir dengan menggembirakan? Melihat
kenyataan yang ada saat ini, utamanya di Rumah Perwakilan Rakyat,
ternyata “perang saudara” justru baru hangat-hangat-nya. Dan obrolan
dari warung kopi kaki-lima menyiratkan bahwa semua peristiwa itu justru
diawali jauh sebelum Pilpres itu sendiri terjadi. Menurut mereka,
seandainya Jokowi tidak dimajukan jadi Capres, hampir pasti Prabowo-lah
yang jadi Presiden saat ini, dan sepertinya memang itu masuk akal,
bahkan pemenang ke dua Pemilu Legislatif saja mau mendukung Prabowo
dalam Pilpres yang lalu bukan? Tapi menurut gosip mereka, masalah
pokoknya adalah Prabowo sudah berkampanye untuk menginginkan kursi
ke-Presidenan sekitar 3 sampai 5 tahun sebelumnya, dan itu butuh biaya
yang tidak sedikit, bahkan ada yang menggosipkan total pengeluaran
sampai dengan Pilpres yang lalu tidak kurang dari 15 Triliun! Ah
…..dasar gosip! Walau saya sudah nyeletuk, kekayaannya saja tidak ada
segitu, apakah itu tidak dugaan lebai? Lalu ada juga yang nyeletuk, memang
dana kampanye hanya dari calon saja, itu juga merupakan sarana judi
investasi para big boss bro, dan apakah semua yang dilaporkan tentang
harta kekayaan itu pasti akurat? Wow wow wow …. membuat saya sejenak
termenung ….. siapa yang berani sangat yakin bahwa dugaan data dana
kampanye itu salah?
Harta - Tahta - Wanita, memang luar biasa, dan sepertinya akan tetap
abadi kebenarannya bukan? Dan tidak salah kalau “harta” disebut yang
pertama karena itu menggambarkan betapa pentingnya harta. Uang bukan
segalanya, tapi segalanya butuh uang!
Lalu menyikapi perang saudara di Rumah Perwakilan Rakyat, menurut saya
pribadi, itu semua diawali oleh UU MD3, dan MK punya andil didalamnya.
Alasan yang paling utama oleh MK dalam menolak gugatan Koalisi Indonesia
Hebat (KIH) adalah karena UU MD3 tidak berlawanan dengan UUD. Padahal
harusnya dengan memberlakukan UU MD3 yang sekarang ini, semestinya MK
bisa menerka bahwa keributan itu pasti akan terjadi. Jadi dengan UU MD3
yang sekarang, siapapun diposisi yang pasti kalah juga pasti akan
melakukan hal yang serupa yang dilakukan oleh KIH. Jadi masih menurut
pendapat saya, apa yang dilakukan KIH tidaklah luar biasa, itu hanya
mencerminkan adanya aturan main yang tidak berkeadilan. Itulah gambaran
Indonesia sampai saat ini, tokoh politiknya sangat egois, hanya
berpikir untuk dirinya sendiri dan kelompoknya, dan bahkan sangat
egois-nya, juga meng-atas namakan rakyat untuk menutupi keserakahannya.
Luar biasa!
Tidak semua yang tidak berlawanan dengan UUD pasti benar, seandainya MK lebih
bijak bersikap, mencermati waktu dan tujuan UU MD3 dibuat, seharusnya
tidak terjadi gonjang-ganjing ini. Bukankah sangat jelas bahwa UU MD3
dibuat justru oleh mereka yang telah bersekutu dahulu, dan manfaat dari
UU MD3 adalah dari keberhasilan membentuk sekutu tersebut. Maka ketika
ada 2 anggota MK yang menyatakan dissenting opinion, justru saya pikir
merekalah yang lebih bijak mengambil sikap. Kalau seandainya MK
bersikap dan memutuskan bahwa UU MD3 boleh diberlakukan untuk periode
DPR yang akan datang (Mulai 2019) itu pasti lebih adil, karena semua
partai dapat mempersiapkan diri, sekaligus menguji apakah Koalisi Merah
Putih (KMP) juga akan tetap mendukung UU MD3 tersebut?
Ketika MK memutuskan gugatan Pilpres dan tetap menetapkan kemenangan
Capres Jokowi-JK, pihak KIH pasti menganggap adil dan KMP bisa jadi
merasa tidak adil. Dan ketika MK menolak gugatan UU MD3, apakah gugatan
tentang UU MD3 juga masih ada kaitannya? Karena dari semua pengamat
maupun tokoh politik, hal itu selalu dihitung akumulasinya sampai saat
ini dengan skor berapa untuk KMP dan berapa untuk KIH, seperti
pertandingan bola saja.
Menurut saya, dalam kasus gugatan Pilpres, MK bisa mendapatkan bukti
fisik dokumen atas pembuktian gugatan, dan walaupun peristiwanya tampak
besar dan wah, terlebih dengan sorotan pemberitaan yang sangat luar
biasa, harusnya itu tidak ada masalah tentang muatan keadilan
didalamnya, dan memang itulah yang terjadi. Tapi tentang UU MD3, itu
adalah hal yang sangat berbeda, UU MD3 itu ibaratnya adalah aturan
permainan dan pesertanya adalah semua anggota DPR, dan maaf ….menurut
saya, MK lupa mempertimbangkan, bahwa aturan permainan apapun juga
permainan itu, baik itu dibidang olah raga sekalipun, maka ketika salah
satu peserta permainan TIDAK mungkin bisa memenangkan pertandingan
karena persekutuan yang tersisa tidak mungkin bisa menang dalam
pertandingan, maka aturan tersebut pastilah tidak bermuatan keadilan!
Lalu yang ingin saya tanyakan, apakah para anggota MK yang memutuskan
kelayakan UU MD3 tersebut tidak merasa terusik hati nuraninya
menyaksikan perang saudara yang ada di Rumah Perwakilan Rakyat saat ini?
Karena itu semua pencetusnya adalah UU MD3!
Mencermati debat-debat yang ada, ketika tokoh-tokoh partai dari KMP
mengatakan, bukankah jabatan Ketua Komisi hanyalah sebagai pengatur lalu
lintas saja, begitu mereka sering meng-umpamakan. Herannya kalau
mereka beranggapan begitu, kenapa tidak mau memberikan saja kepada KIH?
Pembodohan, memang bodoh beneran atau egois? Banyak sekali para tokoh
kalau berpendapat lupa membalikkan keadaan, lupa memberlakukan
pernyataannya sendiri untuk semisal diberlakukan kepada dirinya sendiri,
dan itulah awal dari malapetaka yang banyak terjadi dinegeri ini.
EGOIS yang keterlaluan!
Tidak sedikit para pengamat yang juga seolah-olah menyalahkan KIH kurang
bisa bernegosiasi, utamanya mereka hampir gamblang mengatakan PDIP
terlalu kaku dalam berpolitik. Dan saya tidak yakin bahwa pengamat
tersebut sejatinya tidak memihak siapapun! Karena kalau saya diposisi
KMP, saya juga pasti akan melakukan seperti yang dilakukan KMP saat ini,
selalu berwacana menyalahkan pihak lain karena memang punya bekal
kitab suci UU MD3 yang pasti memenangkannya karena memang sakti
mandra-guna! Sisi itulah yang sering kali tidak dapat dirasakan oleh
banyak pengamat. Setidaknya begitu menurut anggapan saya, maaf kalau
salah dan kurang berkenan. Dan jangan anggap saya pasti membela PDIP
dengan membabi-buta, karena dalam hal Pemerintah saat ini memberikan
bantuan tunai kepada rakyat melalui Kartu Keluarga Sejahtera / Kartu
Chip / SIM Card Uang Elektronik, apa makna bedanya dengan BLT yang
dilakukan oleh Pemerintah sebelumnya dan yang sangat ditentang oleh
PDIP waktu itu, bahkan masih terngiang ditelinga, mendidik rakyat jadi
pengemis! Mungkin Politik tidak boleh disikapi dengan ksatria ya, harus
seperti bunglon gitu?
Paling memalukan, atau memang tidak punya malu? Ketika tokoh “hebat”
dari partai KMP mengatakan: Seharusnya PDIP dan kawan-kawan (kata lain
dari KIH) memasukkan nama saja untuk dicalonkan sebagai pimpinan komisi,
lalu ayo kita negosiasikan, semuanya bisa kita rundingkan toh …
Kurang lebih begitu yang disuarakan ke-para Jurnalis yang saya tonton
di-tipi-tipi berita. Lalu saya teringat sidang paripurna yang sampai
menggulingkan 2 meja itu. Mungkin banyak yang terlupa membandingkan
antara pernyataan tersebut dan peristiwa ricuh paripurna itu. Bukankah
semua sudah tahu kalau PPP sedang ada masalah di internalnya, lalu
ketika ada yang menyerahkan nama yang mengatas namakan PPP pada sidang
paripurna tersebut, pimpinan sidang tak mempedulikan protes dan hal itu
digunakan senjata untuk mengesahkan bahwa mereka sudah punya 6 fraksi
untuk membetuk pimpinan-pimpinan komisi. Persis anak kecil yang
memperebutkan mainan dan lari ngacir setelah mendapatkannya. Bagaimana
mungkin KIH percaya diminta menyetorkan nama lalu semuanya bisa
dirundingkan? Sungguh mereka lupa ngaca, menganggap semuanya bisa
dibodohin, mau dikarungin saja, terus diberangus supaya tidak bisa
berkata-kata lagi karena kalah tanda bukti. Dan sebagai salah satu
rakyat jelata, saya kok asyik saja melihat dualisme DPR saat ini. Ayo
jangan mau dibodohin, tapi jangan lupa, ketika KIH tidak suka dengan UU
MD3, maka jangan gunakan UU MD3 tersebut walaupun suatu ketika kalian
justru berkesempatan memenangkan pertandingan via UU MD3 itu, jangan
balas ketidak adilan dengan ketidak adilan, walaupun memang harus
menolak diperlakukan tidak adil. Dan yang ingin saya tanyakan karena alpha mencermati, apakah PPP sudah mendapat jatah ketua komisi karena namanya sudah dicatut sebagai penggenap? Karena kalau tidak dapat jatah, jadi ngeri kalau ada yang menjulukinya benar-benar perampok bukan?
Saya juga mencermati, banyak tokoh dari KMP yang mengatakan, bukankah di
Kabinet kita juga tidak mempermasalahkan, kita tidak minta jatah harus
masuk anggota Kabinet. Maka sekarang legowolah, biar kita menjadi
penyeimbang Pemerintahan yang kuat. Itu salah satu lagi ke-egoisan yang
diwacanakan, terlalu egois sampai lupa malu dan lupa makna DPR dan
Pemerintahan (Kabinet). Apakah lupa bahwa Kabinet itu dibentuk oleh
Presiden, dan ada hak prerogatif didalamnya? Dan hak pembentukan
Kabinet oleh Presiden tersebut bukanlah hal baru, tapi sudah begitulah
adanya sejak dulu. Sedangkan Lembaga DPR adalah rumah untuk para wakil
rakyat yang tercermin melalui semua partai yang disyaratkan perolehan
suaranya melalui Pemilu Legislatif. Jadi kalau KMP mau menyapu bersih
semua jabatan di lembaga yang namaya DPR, bahkan suara terbanyak
sekalipun tidak mendapat jatah, keadilannya dimana? Hati nurani saya
tidak dapat membenarkan hal semacam itu terjadi walau mereka
menggunakan pembenaran melalui UU MD3 yang bahkan sudah dikuatkan oleh
MK. Percayalah gonjang-ganjing itu akan tetap terjadi, karena memang
para perumus UU MD3 tidak bermaksud untuk membuat aturan main
yang ber-keadilan. Jadi seandainya penggunaan UU MD3 tersebut memihak
KIH, saya sangat yakin KMP pun juga akan melakukan hal serupa yang
dilakukan oleh KIH saat ini. Dan itu waras!
Kalau kita memperhatikan peraturan di sepak bola, tidak ada yang protes
karena memang adil. Tapi kenapa justru Bangsa ini tidak bisa membuat UU
semacam itu? Ketika membuat UU yang sering kali di-ubah, itu pasti
mencerminkan tidak memuat keadilan secara universal didalamnya, bahkan
sangat mungkin UU yang dibuat untuk kepentingannya sendiri dan
kelompoknya, lalu pada waktu-waktu mendatang akan diubah lagi supaya
tetap bisa memenangkan kelompoknya sendiri. Selayaknya hal semacam itu
jangan disebut UU tapi TTME saja. (SPMC SW, Nopember 2014)
.
——————-
CATATAN:
TTME= TATA TERTIB MENCAPAI ke-EGOISAN
Kalau harus terpaksa membiarkan KMP menyapu bersih semua jabatan yang
ada di DPR, saran saya agar KIH menjadi oposisi di dalam oposisi saja,
dan itu akan lebih efektif kalau mau bekerja sama dengan Kabinet (para
Menteri). Oposisi di dalam oposisi adalah oposisi didalam anggota DPR,
buatlah agar KMP tidak berkutik, awasi segala macam penyimpangan dari A
sampai Z, dari absensi sampai tertidur, bahkan juga lawatan ke LN.
Beritakan melalui media massa agar mereka menyesal telah memonopoli
jabatan. Pastikan mereka juga berpuasa seperti KIH, puasa untuk tidak
korupsi, maka kalian akan dinilai hebat oleh rakyat yang akan memilih
Anda di Pileg mendatang. Kupasannya ada di artikel berikut:
.
“MANTRA SAKTI U/. MELUMPUHKAN KUBU PRABOWO DI PARLEMEN”. (RAHASIA JOKOWI)
.
http://t.co/6z2xrRp90f
.
——————–
( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)