Thursday, May 29, 2014

"MENGGUGAT KREDIBILITAS KARNI ILYAS"

                      (Image source: ekonomi.tvonenews.tv)

Blogspot. Kalau saya tidak salah, Karni Ilyas jabatannya adalah Pemimpin Redaksi News dan Sports di TVONE. Pada tahun 2012 meraih Panasonic Gobel Awards kategori "Life Time Achievement". Lalu menjelang akhir September 2013, Sukarni Ilyas SH, menerima gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) bidang hukum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Dan salah satu alasan pemberian kehormatan tersebut adalah memiliki OTENTISITAS karya jurnalistik di bidang hukum.
 

Indonesia Lawyer Club (ILC) adalah salah satu acara TVONE yang populer, dan pada acara tersebut Karni Ilyas yang merangkap sebagai pembawa acaranya mendapat gelar kehormatan tambahan sebagai "President" ILC. Dan saya belum pernah melihat Program Acara ILC tersebut ditayangkan oleh tipi lain selain TVONE.
 

Begitu juga dengan program acara Mata Najwa milik METROTV yang juga sangat populer dan sangat identik dengan Najwa Shihab sebagai pembawa acaranya yang selalu mengawali dengan ".... sebagai tuan rumah mata najwa". Padahal dalam hati saya tanya kenapa tidak bilang "....sebagai nyonya rumah mata najwa" Hehehehe... Dan saya juga belum pernah melihat Program Acara Mata Najwa tersebut ditayangkan oleh tipi lain selain METROTV.
 

Sepertinya hal tayang menayangkan tersebut ada semacam kode etik-nya, mungkin dianggap sangat tabu kalau harus menayangkan program acara tipi lain. Atau dianggap sangat memalukan dan juga terkesan mengiklankan hasil karya jurnalis dari tipi lain dan itu mungkin dianggap sangat haram. Walau mungkin bisa jadi tidak ada UU-nya. Apakah begitu? Mohon pencerahannya untuk pembaca yang memahami tentang hal tersebut, TQ.
 

Lalu pada masa sekarang ini, masa menjelang Pilpres 2014, kita semua tahu TVONE yang dimiliki oleh ARB juga sebagai Ketum Partai Golkar dan berkoalisi dengan kubu Prabowo, tentu saja dapat dipahami kalau pemberitaan-pemberitaannya condong untuk menonjolkan segi positif kubu Prabowo. Begitu juga dengan METROTV yang dimiliki oleh Surya Paloh juga sebagai Ketum Partai NASDEM dan mendukung kubu Jokowi, tentu saja dapat dipahami kalau pemberitaan-pemberitaannya condong untuk menonjolkan segi positif kubu Jokowi.
 

Minggu ini beredar kehebohan rekaman wawancara JK tentang penilaiannya terhadap Jokowi. Saya melihat KOMPAS TV memberitakan tentang adanya kehebohan wawancara itu, tapi tanpa menayangkan video rekamannya, walau memang Kompas TV hanya memberitakan secukupnya, tapi menerangkan dengan jelas kapan video tersebut dibuat dan hanya memberitakan sekali karena adanya kehebohan tersebut.
 

Pertanyaan saya adalah, apa yang dilakukan oleh TVONE, selain menayangkan video wawancara tersebut secara lengkap, juga ber-ulang-ulang beberapa hari, dan sampai artikel ini akan saya publish masih sering sekali melihat penggalan-penggalan tayangnya, apakah rekaman wawancara tersebut hasil karya jurnalis TVONE? Apakah tidak menyalahi kode etik dan tidak memalukan? Dan saya juga tidak melihat adanya klarivikasi atas isi berita tersebut terhadap JK, apakah itu tidak menyalahi kelaziman? Keberpihakan adalah kenicayaan dan itulah sebabnya dapat dipahami, tapi apakah harus menabrak norma dan menanggalkan kredibilitas jurnalis itu sendiri? Lalu saya cari data tentang video tersebut, yang sudah diunggah di youtube adalah hasil karya "Bisnis Indonesia TV". Mohon maaf kalau salah kutip. Lalu pertanyaan berikutnya, apakah yang dilakukan di TVONE itu bukan tanggung jawab Karni Ilyas? Kalau masih menjadi tanggung jawabnya Karni Ilyas tapi merasa tidak sesuai dengan hati nuraninya, dan untuk tetap menjaga kredibilitasnya, saran saya adalah Karni Ilyas cuti sementara dari TVONE seperti Jokowi cuti jadi Gubernur DKI. Artikel ini akan saya ubah atau hapus jika ternyata saya salah data, dan itulah sebabnya mohon maaf sebelumnya. (SPMC SW, Mei 2014)
 

---------------------
.
"PERAMPASAN KAMERA JURNALIS METRO REALITAS DI RUMAH POLONIA"
.

 http://t.co/1YVP2O2QMb
.
----------------------
Catatan:

 

Kalau kemarin dulu saya menulis artikel bahwa di TVONE saya tidak pernah melihat berita adanya deklarasi dukungan terhadap Jokowi, hari ini saya mulai melihat adanya berita tersebut. Bisa jadi banyak yang mengkritik sehingga ada perubahan porsi pemberitaan supaya tampak sedikit lebih elok. (SW)

Wednesday, May 28, 2014

"GOLKAR DAN PAN BERKHIANAT, PRABOWO KALAH!"

                   (Image source: beritamanado.com)

Blogspot. Dua pasang kandidat peserta Pilpres sudah dinyatakan lulus tes kesehatan dan segera dinyatakan resmi berkompetisi. Biaya tes kesehatan tersebut ± Rp.75 juta per orang. Capres pertama setelah tes kesehatan minum jamu gendong dan memberikan pernyataan tentang adanya tes menggambar untuk sesi psikotes, dan awak media menggodanya dengan pertanyaan "menggambar banteng ya Pak? ....." Hehehehe .......

 

Lalu besoknya, Capres kedua setelah tes kesehatan memberikan pernyataan, berjumpa dengan dokter mantan bawahannya yang melakukan tes kesehatan, dan merasa bangga atas keadaan maupun perlengkapan yang dimiliki RSPAD Gatot Soebroto tidak kalah dengan yang ada di RS-RS Eropa maupun di RS Amerika karena beliau mengatakan pernah melakukan tes di sana. Dan pikiran saya langsung melayang .....lho ... kalau gitu tentang Prabowo di cekal untuk boleh masuk ke Amerika itu hanya gosip saja ya? Atau ....jangan-jangan data yang disampaikan tentang RS itu adalah pengalaman beliau waktu masih jadi Taruna doeloe? Kalau benar begitu .....apa keadaan RS di Amerika tidak sudah berubah ya? Seandainya ada wartawan yang kritis dan tanggap menanyakan hal itu ....pasti penasaran saya akan segera hilang ........sayang tidak ada.
 

KUBU JOKOWI
Diajukan oleh Partai PDIP, menggandeng Cawapres JK, "kerja sama" dengan Partai NASDEM, PKB, HANURA, dan PKPI. Partai pendukung yang tidak solit adalah PKB, ada gerbong Rhoma Irama dan gerbong Mahfud MD yang tidak mengikuti arah partainya, mereka memilih berkoalisi dengan kubu Prabowo. Apakah akan berdampak terhadap perolehan suara kubu Jokowi atas suara yang diharapkan didapat dari gerbong PKB? Pastinya ada, karena terbukti kedua tokoh PKB tersebut juga memiliki masa loyalis tersendiri. Setidaknya mereka juga punya team bukan? Tapi kalau diluar team .....tentu saja sangat tergantung pandangan masyarakat terhadap kedua tokoh tersebut. Dan menurut analisa saya secara keseluruhan, walau juga sudah berusaha senetral mungkin, bisa jadi akan tetap ada aroma tendensius karena mana mungkin menanggalkan interest untuk melepas motif keberpihakan, itulah sebabnya maka mohon maaf atas keseluruhan isi artikel ini. Untuk Rhoma Irama dikalangan menengah keatas justru sudah dianggap selesai, jadi masih ada pengaruhnya untuk kalangan rakyat bawah, tapi karena yang dihadapi adalah Capres Jokowi yang juga merupakan fenomena untuk kalangan bawah, maka gerbong Rhoma Irama menambah plus ± 5 persen terhadap kubu Prabowo.

 

Sedang gerbong Mahfud MD menurut analisa saya, justru efeknya tidak lebih banyak plus-nya. Secara intelektual dan pengalaman pemerintahan maupun kebersihan tokoh, Mahfud MD tentu saja jauh diatas Rhoma Irama. Tapi karena semua orang tahu bahwa Mahfud MD sebelumnya sangat ingin menjadi Cawapres-nya Jokowi, lalu karena tidak terpilih maka berbalik arah mendukung kubu Prabowo, ditambah adanya motif jabatan Menko yang dijanjikan jika Prabowo menang, sungguh itu semua sangat disayangkan. Dan sejujurnya saya tadinya termasuk meng-idola-kan Mahfud MD, setidaknya sangat yakin Mahfud MD juga akan terpilih menjadi salah satu Menteri di kabinet Jokowi kalau misalnya Jokowi yang menang Pilpres. Tapi hidup terkadang memberi pilihan ..... Dan atas semua realitas yang ada, rakyat negeri ini justru kurang terlalu suka dengan apa yang dilakukan Mahfud MD, bisa jadi Mahfud MD hanya berkontribusi ± 2 persen untuk kubu Prabowo.
 

Partai pendukung yang tidak solid lainnya adalah partai HANURA, Hary Tanoe memilih mendukung Prabowo. Kalau Rhoma Irama karena memang jelas tidak suka Jokowi, pada kasus Hary Tanoe saya melihatnya karena yang bersangkutan tidak ingin satu kelompok dengan Surya Paloh. Sedangkan Wiranto secara pribadi ada ganjalan untuk bisa mendukung Prabowo. Itulah sebabnya mereka berpisah. Dan seperti yang sudah sering saya bilang, tidak ada platform atau visi & misi yang tidak bisa disatukan atas partai-partai yang ada di Indonesia ini, yang ada adalah bagaimana hubungan pribadi ketua umum/pendiri partai tersebut. Hitungan kontribusi dari Hary Tanoe sebetulnya lebih susah dikalkulasinya, karena lebih berkaitan dengan promosi media MNC Group seberapa besar akan memberikan dukungan, dan akan sangat berarti untuk menggaet suara kalangan rakyat kelas bawah. Untuk kalangan kelas menengah atas, julukan kutu loncat yang dilakukan Hary Tanoe sangat negatif, dan banyak juga yang justru mempertanyakan "Apa ya maunya Hary Tanoe? Tidak jelas". Tapi setidaknya akan memberi kontribusi suara plus untuk prabowo ± 10 persen. Dengan catatan mengerahkan promosi besar-besaran di tipi-tipinya, dan harus kreatif membuat iklannya, karena bukan tidak mungkin akan jadi bumerang kalau salah mempromosikan.
 

KUBU PRABOWO
Diajukan oleh partai GERINDRA, partai yang didirikan oleh Prabowo sendiri. Menggandeng Cawapres Hatta Radjasa, otomatis koalisi dengan Partai PAN, juga berkoalisi dengan partai PPP, PKS, PBB, dan GOLKAR. Prabowo sangat mengharap partai Demokrat memberi dukungan, tapi karena Rapimnas Partai Demokrat yang diumumkan SBY sendiri memutuskan untuk netral, maka untuk tidak tampak sangat memalukan Demokrat tidak langsung menerima permintaan Prabowo. Sedang dibuatkan jalannya, jadi harap sabar. Diawali dengan pernyataan Prabowo pada saat deklarasi yang menyatakan bahwa akan meneruskan program-program partai Demokrat yang dinilai baik untuk kesejahteraan rakyat, lalu Syarif Hasan dan Ibas jumpa pers, membelokkan gerbong besar Partai Demokrat dengan pernyataan yang seolah-olah merevisi pernyataan Ketum-nya, akan melihat dulu harus koalisi kemana, karena akan koalisi dengan kubu yang akan meneruskan program-program partai Demokrat untuk kesejahteraan rakyat. Lalu Prabowo dalam pernyataannya kepada wartawan akan melanjutkan program-program pemerintah yang bermanfaat untuk rakyat. Jalan sudah diratakan bukan, supaya tidak terkesan menjilat ludah sendiri, juga Gerindra lupa sebelumnya beroposisi terhadap pemerintah. Hehehehehehehe ..... semuanya mengatas namakan demi kebaikan rakyat. Maaf kalau pengamatan saya salah, tapi tentu saja itu adalah pengamatan rakyat, bukan dari sudut partai, apalagi partai yang diamati. Menurut perkiraan saya analisa SBY adalah menjagokan Jokowi, tapi karena PDIP tidak tampak memberi lampu hijau ke Demokrat, bukankah lebih rasioanal kalau Demokrat gabung ke Prabowo? Jadi dari pada sudah pasti jadi oposisi, siapa tahu Prabowo yang menang, setidaknya akan kecipratan jabatan bukan? Sambil mengharap analisa-nya atas kemenangan Jokowi adalah salah.

 

Sekarang ayo kita lihat partai koalisi Prabowo yang tidak solid, pertama sekali adalah PAN. Wanda Hamidah mengatakan menudukung Jokowi karena tidak rela kalau harus mengkhianati hati nurani-nya, yang bersangkutan loyal dengan Hatta Radjasa, tapi tidak bisa menerima Prabowo yang tentu saja sangat diyakini adalah pelanggar HAM berat. Itu hal yang sangat menguntungkan kubu Jokowi, terlebih kalau hal itu bisa sering ditayangkan di tipi, jauh lebih bermanfaat dari pada iklan-iklan yang memang adalah settingan. Dalam kasus Wanda Hamidah, setidaknya Jokowi dapat nilai plus ± 10 persen, jadi jangan lupa untuk selalu memutar ulang tanyangan berita tersebut di tipi-tipi pendukungnya.
 

Lalu Partai Golkar, banyak sekali yang mbalelo ..... Kalau semua itu sering ditampilkan di-tipi-tipi pendukung-nya Jokowi, setidaknya ± 15 persen memberikan nilai plus untuk Jokowi.
 

Kalau ada yang protes, kok pemberian nilai plusnya sangat njomplang, ya mohon maaf, kan ini analisa amatiran, tapi pakai hati. Dan menurut saya, kwalitas nilai yang mablelo pada masing-masing partai sangat beda motivasinya, itulah sebabnya punya nilai yang berbeda. Kalau Rhoma Irama dan Mahfud MD, apa yang dipertaruhkan? Mereka sedang tidak memegang jabatan apa-apa, tapi rakyat melihat mereka sedang memburu jabatan. Sedangkan yang mbalelo dari partai PAN dan Golkar, mereka justru rela dicopot ataupun menanggalkan kedudukannya. Sungguh secara emosional itu sangat jauh sekali bedanya. Dan sekali lagi saya menyayangkan apa yang dilakukan Mahfud MD, karena saya tidak memprediksinya akan melakukan itu, ada beberapa artikel saya sebagai bukti bahwa saya sangat salud atas ketokohan beliau sebelum ini terjadi.
 

Kalau setelah hajatan Pilpres ini selesai, dan ternyata ada tokoh dari partai Golkar yang memperoleh jabatan dari Pemerintahan Jokowi, entah itu sebagai Menteri, Duta Besar atau yang lainnya, saya dapat memahaminya, dan juga maklum kalau Golkar tetap mendapat julukan melakukan politik dua kaki dengan cantik. Tapi sebetulnya juga politik dua kaki karena akibat keberpihakan dengan hati, mereka juga rela di-copot, berarti kalau mereka ternyata mendapat penghargaan ... Bukankah begitu hasil dari pertaruhan? Dan dibalik itu semua .... Karena memang Golkar punya suara yang signifikan di Parlemen sebagai juara 2 bukan? Dan gonjang-ganjing ini-lah yang juga akan mempertaruhkan tatanan jabatan di dalam Partai Golkar sendiri, bukan tidak mungkin akan me-rotasi kepemimpinan didalamnya. Jadi tentang Golkar, kalau Jokowi menang, bukan tidak mungkin justru juga bisa memanfaatkannya. Butuh lihai dan pandai berhitung, walau tidak harus memberinya jabatan Menteri kalau memang tidak ikut berjuang dengan signifikan, dan memberi jabatan lebih dari satu Menteri untuk Golkar justru akan menjadi bumerang. Tapi sebaiknya jangan lupa memastikan untuk tidak memberi jabatan Menteri pada semua pemimpin partai.
 

PENILAIAN AKHIR
Dengan sudah mempertimbangkan semua kenyataan atas semua dukungan yang ada, baik oleh Ahmad Dhani maupun Anang, oleh Slank maupun masih diamnya Iwan Fals. Perbedaan yang tampak nyata adalah rasa emosional. Emosional yang ditampilkan oleh Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ali Mochtar Ngabalin, maupun Ahmad Yani, justru langsung padam ketika ditampilkan pernyataan oleh tokoh-tokoh muda Golkar, Luhut Panjaitan mantan atasan Prabowo, dan Wanda Hamidah yang semuanya justru memberi dukungan pada Jokowi.

 

Yang paling kontra produktif untuk kubu Prabowo adalah, Prabowo itu dicitrakan tegas, berani, berwibawa, jujur, ..... Tapi bagaimana menerangkan ke masyarakat tentang ketidak terlibatannya pada kasus Mei 98, kalau memang berani, tegas dan seterusnya itu, pertanyaan yang paling gamblang adalah, kalau memang tidak bersalah kenapa mau dipecat? Apalagi dengan adanya gosip tidak berani datang waktu dipanggil Komnas HAM. Lalu dianggap menghindar dengan tinggal di Jordania. Bukankah itu semua sangat kontra dengan pernyataan ketegasan dan keberaniannya? Seandainya Prabowo berani buka-bukaan, walau harus melibatkan banyak petinggi Negeri ini, pasti banyak yang salud atas Prabowo, seperti kasus Agus Chondro politikus PDIP dalam kasus korupsi cek pelawat atas Miranda Swaray Goeltom. Dan kalau hal itu dilakukan ....... pastinya tidak ada hari ini, keterlibatannya dalam pertandingan Pilpres!
 

Menurut saya pribadi gonjang-ganjing hajatan Pilpres sudah pada titik klimaks-nya, alias sudah dapat ditebak apa yang akan terjadi, dengan skor "sedikitnya" 60 persen untuk kemenangan Jokowi. Semoga yang kalah tidak kalap. Maaf. (SPMC SW, Mei 2014)

Monday, May 26, 2014

"PERAMPASAN KAMERA JURNALIS METRO REALITAS DI RUMAH POLONIA"

                          (Image source: kabar24.com)


Blogspot. Ketika baru saja melihat METROTV pada acara “Metro Realitas”, ada selintas kupasan tentang perampasan kamera awak media acara tersebut ketika meliput di Rumah Polonia sebagai markas kubu Capres Prabowo, sepertinya ada beberapa rekaman yang dihapus, saya menangkap sepertinya berita tentang hasil wawancara akan adanya jatah-jatah jabatan kalau menang. Lalu juga sangat sepintas tentang klarivikasi yang ditanyakan kepada Capres Prabowo tentang perampasan tersebut “…….udahlah ….kan mentro tipi memang tidak suka sama saya ….”

Sepintas berita tersebut cukup membuat saya bertanya-tanya, tentu saja saya langsung mengingat ketika doeloe ada kamera awak media yang dirampas oleh “oknum” entah dari mana saja, bukankah semua awak media bersatu menentang, ada semacam korp jurnalis yang bersatu, dan semua tipi memberitakan, tapi dalam kasus tersebut diatas saya tidak melihat adanya pemberitaan dari tipi manapun. Jadi apakah Metro Realitas memberitakan yang sebenarnya, atau juga rekayasa? Walau tampak masuk akal. Politik identik dengan kepentingan, beginilah yang terjadi ketika tipi-tipi dikuasai oleh politisi-politisi. Tak ada yang benar-benar netral, menyedihkan. Jadi pemirsa sepertinya harus berlogika “waras” supaya tidak mudah dipermainkan oleh berita di tipi-tipi.

Ketika juga melihat berita tentang adanya baliho PDIP yang dibakar, ingat saya di Jakarta Barat. Lalu berita ada Posko kubu Jokowi di Jakarta Selatan yang dibakar. Apakah itu semua tanda-tanda adanya perang intimidasi? Lalu Fadli Zon menduga pembakaran posko bisa jadi dilakukan supaya terkesan menjelekkan pihak lawan. Dan berita tersebut bisa jadi tidak akan ada di TVONE.

Beberapa hari belakangan ini, ketika saya mencermati berita-berita dari Kompas TV, TVONE, dan Metro TV, menurut saya pribadi yang paling obyektif dalam pemberitaan yang ada hubungannya dengan kedua kubu Capres adalah Kompas TV. Pada TVONE, saya tidak menemukan adanya berita deklarasi dukungan oleh masyarakat manapun juga terhadap Capres Jokowi, tapi di Metro TV saya masih menemukan adanya berita deklarasi dukungan dari masyarakat terhadap Capres Prabowo. Maaf kalau kurang cermat dalam pengamatan, karena memang tidak mencermati mereka dalam waktu bersamaan, maklum tipinya hanya satu!

Silahkan Anda mencermati sendiri, supaya bisa memberikan penilaian dengan tidak terkontaminasi artikel saya ini yang sangat mungkin tendensius. Tapi yang pasti, kalau menurut saya, acuan yang penting dalam memilih Presiden adalah mencermati REKAM JEJAK sang calon. Rekam jejak KEJUJURAN dan KEBERSIHAN memungkinkan Presiden nanti tidak tersandera oleh masa lalu-nya sendiri. (SPMC SW, Mei 2014)

Friday, May 23, 2014

"KRITIK" TERBUKA UNTUK RUHUT DAN JOKOWI

                                 (Image source: kaskus.co.id)

Blogspot. Terlalu nyolotnya apa yang dilakukan oleh Ruhut, maaf, banyak sekali yang menjulukinya sebagai penjilat. Itulah yang pernah saya baca atas beberapa artikel tentang Ruhut, juga pernyataan-pernyataan pendek di Twitter maupun Facebook. Pada setiap kesempatan dimanapun jika berbicara tentang politik, Ruhut selalu mengawalinya dengan mengutarakan kehebatan Ketua Dewan Pembina-nya yang sekarang sudah merangkap sebagai Ketua Umum Partai politiknya. Karena hal itu selalu dilakukan, bahkan pada porsi yang seharusnya tidak pas untuk dilakukan, itulah hal utama mengapa banyak orang menjuluki Ruhut sebagai penjilat. Lalu pertanyaannya adalah, apakah Sang Godfather-nya Ruhut tidak mengetahui? Mengingat durasi dan gamblangnya keadaan, mustahil kalau tidak mengetahuinya bukan? Jadi ….apakah kalau begitu boleh kita terjemahkan merestui? Atau setidaknya boleh diterjemahkan “tidak keberatan” bukan?

Padahal apa yang dilakukan Ruhut menurut saya lebih banyak menui negatif dari pada positif-nya. Hampir apapun kalau “terlalu” selalu ber-konotasi kurang bagus bukan? Yang dilakukan Ruhut sudah menjurus ke fanatik sepertinya Sang Godfather sudah dianggap “nabi” saja, dan itu tentu saja kontra produktif, menimbulkan resistensi terhadap pendegarnya terutama lawan politiknya. Dan bisa jadi banyak rakyat yang terpancing untuk ingin membuktikan bahwa “nabi”-nya Ruhut adalah manusia biasa yang banyak salah-nya juga, tak terkecuali saya.

Ketika seorang Pemimpin membuat slogan anti korupsi, dan ternyata tokoh-tokoh utama bawahannya banyak yang terlibat korupsi, apakah sang pemimpin layak mendapat julukan hebat? Beruntung ketika Sutan ditetapkan sebagai tersangka, Pemilu Legislatif sudah selesai, padahal proses kerja KPK juga mesih terus berlangsung. Siapa saja kolega Sutan yang mungkin terseret? Nazaruddin memang sudah menyebut banyak tokoh terlibat, bukankah banyak nama mantan orang separtainya juga disebut-sebut? Bagaimana kalau KPK dapat membuktikan? Tentang kasus e-KTP misalnya, bagaimana kalau ternyata berakhir dengan tersangkut nama Menteri-nya? Lalu bagaimana dengan kasus Anas, apakah tidak akan menyeret sejawatnya yang lain? Apakah Andi Mallarangeng hanya terlibat korupsi dengan adiknya saja, tidak melibatkan teman partainya? Semoga semua itu tidak menyeret nama Ibas, walau banyak rakyat yang menunggu jawab keingin tahuannya. Yang paling hot tentu saja penetapan SDA sebagai tersangka oleh KPK, ngenesnya untuk urusan agama, dan dilakukan oleh Ketua partai yang lambangnya saja Ka’bah!

Penunjukan Menteri adalah hak prerogatif Presiden, maka ketika Menteri-nya terlibat Korupsi, setidaknya kita tahu bahwa Sang Presiden kurang kompeten dalam memilih Menteri bukan?

Lalu …… belum lama ini saya mendengar berita di-tipi tentang Komnas HAM mengirim surat kepada Presiden untuk membahas masalah tentang penculikan/kerusuhan Mei ‘98, dan konon surat tersebut dibalas bahwa Presiden “tidak punya waktu”, sungguh berita yang sangat miris ….. Apakah Presiden tidak tahu bahwa TIAP Kamis ada keluarga korban berdiri didepan Istana menuntut keadilan? Dan itu sudah dilakukan bertahun-tahun ……. Apakah itu mencerminkan kepedulian terhadap rakyat yang dipimpinnya? Atau adakah halangan pribadi sehingga kasus yang dituntut rakyat tidak mungkin dapat diselesaikan? Dan saya tak tega membayangkan, bagaimana nasib mereka yang “Kamis’an” nanti seandainya Prabowo penghuni Istananya? Apakah para pembaca dapat memperkirakan yang akan terjadi?

Ketika ada sekelompok umat melakukan ibadah didepan Istana, padahal umat tersebut merasa benar secara hukum atas tempat ibadahnya yang ternyata tidak bisa ditempati, betulkah Presiden tidak bisa “membantu” menegakkan keadilan itu? Atau apakah meluruskan masalah dianggap mencampuri penegakan hukum, dan itu tidak boleh dilakukan oleh Presiden? Padahal konon itu adalah masalah yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kalau gitu untuk apa menunjuk Menteri Hukum dan HAM kalau justru tidak menyiratkan adanya keadilan bagi masyarakat? Apakah itu tidak justru menyiratkan ketidak berdayaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan?

Dalam banyak kasus lain yang terlintas dibenak saya, ketidak tegasan adalah sumber masalah, dan hal itu juga sudah banyak dibicarakan oleh banyak pengamat politik bukan? Dan seingat saya Presiden juga pernah membantah atas anggapan tersebut, termasuk disuarakan oleh Ruhut. Padahal pada kasus Century dan kenaikan BBM, walau tidak menilai benar atau salah-nya, ketika partai koalisi tidak satu suara di Parlemen, untuk apa melakukan koalisi? Apalagi dibumbui wacana akan adanya pemecatan Menteri dari partai koalisi yang tidak mendukung Pemerintah, tapi tidak berani melakukan itu, dimana nilai ada-nya ketegasan itu?

Masih ada kesempatan untuk melakukan tindakan hebat kalau Pemerintah mau, robohkan atau tepatnya hilangkan tiang-tiang mercusuar yang sudah dibangun oleh Malaysia di laut Tanjung Datu - Kalimantan, karena itu didirikan diwilayah abu-abu, menyalahi perjanjian bukan? Dan rencana pendirian mercusuar itu bukanlah kecelakaan atau suatu tindakan yang tidak diketahui oleh Pemerintah Malaysia sendiri, karena yang terberitakan adalah adanya pengawalan oleh kapal perang Malaysia sewaktu pelaksanaan pembangunannya. Dan pembangunan mercusuar itu adalah bukti otentik atas aktivitas Malaysia diwalayah tersebut, dan itu mengingatkan terlepasnya Sipadan dan Lingitan karena waktu ditinjau oleh pihak International yang melihat adanya bukti exsistensi Malaysia, maka Sipadan dan Lingitan diberikan pada Malaysia. Itu semua juga membuktikan bahwa Negara Tetangga lebih peduli wilayahnya dari pada kita.

Masihkah kurang contoh tentang kurang hebatnya Presiden kita, dan itu semua terpicu karena Ruhut terlalu “mendewakan”-nya, yang tentu saja menggelitik orang lain untuk justru membuktikan sebaliknya. Dan memang begitulah sifat manusia, tak terkecuali saya. Mohon maaf kalau banyak yang tidak suka.

Kemudian bagaimana kupasannya tentang Jokowi sesuai dengan judul artikel ini.

Saya mengharap Jokowi dapat menarik manfaat dari paparan ketidak puasan banyak kasus tersebut diatas. Pertama sekali tentu saja jangan memilih juru bicara atau orang yang mengatasnamakannya seperti Ruhut, tapi pilihlah orang yang bisa menunjukkan kelemahan Anda. Seandainya Jokowi terpilih menjadi Presiden nanti, bukan tidak mungkin akan melakukan kesalahan yang sama, “kerja sama” terhadap partai politik lain tidak mungkin gratis. Akan ada balas dendam politik di Parlemen kalau ada peserta kerja sama yang tidak puas, itulah sebab pada artikel saya yang lain pernah mengupas hal itu dan menyarankan berkoalisi seramping mungkin dan mengutamakan berkoalisi dengan rakyat saja. Atau setidaknya berani mengabaikan jatah Menteri untuk partai politik yang punya sangat sedikit suara kalau memang tidak yakin akan kebersihan dan kompeten-nya jatah Menteri yang diusulkan. Dan yang tidak kalah pentingnya, semoga Jokowi berani membuat perjanjian hebat atas Menteri-Menteri yang akan dipilihnya. Perjanjian tentang dilarangnya saudara / anak / sepupu / keponakan sang Menteri untuk terlibat bisnis apapun yang berhubungan dengan kementrian tersebut. Apakah hal itu melanggar HAM? Kalau perjanjian itu dilakukan diawal dan disetujui oleh calon Menteri, saya tidak melihat pelanggaran itu, lalu saya teringat kehebatan Pak Hoegeng mantan Kapolri, dan menyayangkan kasus videotron yang melibatkan anaknya menteri Syarief Hasan. Dan hal tersebut tentu sangat elok kalau juga dilakukan oleh Presiden dan Wakil presiden, dan tentu saja harus terus terang dibicarakan atau dibuat hitam-putih-nya, bukan atas dasar yang penting TST saja. Dan …. jelas tertulis sanksi-nya, karena dinegeri ini tidak ada budaya malunya.

Boleh juga hal terakhir itu sebagai bahan janji kampanyenya Jokowi, dan saya yakin akan ada nilai plus-nya. Semoga hal itu tidak diserobot lawan politik-nya, karena memang artikel ini ditujukan sesuai dengan judulnya, dan memang saya persembahkan sebagai sumbang saran untuk kampanyenya Jokowi. (SPMC SW, Mei 2014)

------------------

.
 
"GANJANG MALAYSIA!!"
.
 
http://t.co/QNzA2f8U2h
.
------------------


"BADUT-BADUT PENGHISAP & PEMERKOSA!!"


(Image source: subagiowaluyo.com)

Blogspot. Sebagai Cawapres dari Jokowi, pernyataan JK tentang adanya perpecahan di Golkar ditanggapinya dengan cerdas, kurang lebih begini: “Sangat waras kalau ada kader Golkar memilih kader-nya sendiri, apalagi kader tersebut pernah menjadi ketua partainya. Justru lebih masuk akal dari pada memilih ketua partai lain.” Pernyataan tersebut mau atau tidak menjadi tamparan tersendiri, perpecahan tak dapat dihindarkan. Bahkan tidak sedikit kader yang rela meletakkan jabatan di Golkar.
 
Mendengarkan ketenangan wawancara ARB di TVONE (tipinya sendiri) kemarin(21/5/14) yang dapat saya tangkap menyatakan bahwa tidak ada politik dagang sapi atas koalisi dengan partai Gerindra, dukungan kepada Prabowo untuk memenangkan pemilihan Presiden karena kita(Golkar) telah menemukan bahwa Prabowo-lah yang paling pas untuk menjadi pemimpin Negeri ini. Saya berpolitik memperjuangkan “keyakinan” saya, dan yakin Prabowo yang terbaik untuk Negeri ini. Senada dengan pernyataan Idrus Marham waktu pedeklarasian pasangan Prabowo dan Hatta.

Lalu saya berpikir, syukurlah kalau menyadari bahwa dirinya sendiri ternyata tidak layak jadi pemimpin Negeri ini. Ngapain juga sebelumnya mengiklankan diri begitu lama?

Sementara Prabowo sendiri memberikan pernyataan untuk ARB akan diberikan jabatan Menteri Utama, intinya jika Prabowo jadi Presiden, ada 3 orang sangat penting di Negeri ini, Presiden - Wakil Presiden - Menteri Utama. Lalu pada acara tipi, Fadel Muhammad juga mengakui adanya beberapa jabatan Menteri yang dinegosiasikan, dan ketika ditanya oleh pengamat politik Ikrar Nusa Bakti juga pembawa acara tipinya, “Bagaimana kalau Prabowo hanya berpikir yang penting saya menang, lalu semuanya terserah saya nantinya.” Fadel Muhammad memberi tanggapan, “Kan masih ada Parlemen.” Dan itu berarti bisa kita artikan, jika Gerindra berani ingkar janji, akan ada pembantaian di parlemen bukan? Pada acara tipi tersebut, Fadel Muhammad lebih berani menyiratkan berpolitik adalah “siapa dapat apa”, sedang kalau kita kejar lebih jauh pada PDIP yang mengatakan “kerja sama tanpa syarat”, maka akan didapatkan pernyataan, tidak menampik akan adanya jatah Menteri kepada partai pendukung pada akhirnya, tapi bukan itu yang kita negosiasikan. Sementara Golkar maunya sesuatu yang pasti dari awal. Dan Parlemen adalah ajang balas dendam bagi semua partai yang merasa tidak puas atau dikianati, entah oleh karena kolisi atau kerja sama.

Jadi …..dimana posisi rakyat? Sementara kalau kita dengarkan semua tokoh partai berbicara, yang sudah tampak nyata “dagang sapi” saja masih mengatakan dengan gagah dan muluk “Demi rakyat dan kemaslahatan Bangsa”. Pada saat mereka belum menemukan koalisi atau kerjasama, selalu diutarakan sedang menjalin komunikasi dan menjajaki visi & misi, serta menyamakan platform demi kemaslahatan Rakyat - Bangsa dan Negara. Sekali lagi demi Rakyat - Bangsa dan Negara. Sungguh muluk dan mulia.

PLATFORM, VISI & MISI. Walau semua tokoh bahkan juga para pengamat politik membicarakan tentang hal itu, dan tampak membenarkan, tapi maaf  kalau menurut saya hal itu adalah “dagelan” politik yang dibungkus dengan keseriusan yang mengatas namakan rakyat. Bahkan saya memaknainya sebagai jargon untuk menghisap &  memperkosa rakyat dengan rasa mulia dan beradab.

Coba kita renungkan lebih dalam, juga tengok sejarah, Partai Demokrat dalam pemerintahan bisa berkoalisi dengan hampir semua partai, lalu sekarang partai Gerindra berkoalisi dengan partai siapa saja? Begitu juga dengan PDIP. Jadi ……partai apa yang punya platform tidak sama? Visi & Misi apa yang tidak bagus? Apa lagi kalau kita mencermati tentang Pengumuman penunjukan Cawapres yang serba mepet atau injury time, lalu dikaitkan dengan Visi & Misi yang harus juga diserahkan ketika mendaftarkan pasangan Capres-Cawapres di KPU, Visi & Misi apa yang mereka samakan atau diskusikan sebelumnya? Lagi-lagi semuanya itu diatas namakan demi kemaslahatan rakyat bukan?

Itulah pada beberapa artikel saya mengatakan, jangan terlalu hiraukan kampanye, visi & misi, janji-janji, bahkan debat kandidat sekalipun. Semua itu hasil kerja team dan konsultan politik, jadi bisa dipastikan tidak ada yang jelek. Bahkan menang debat juga tidak akan memberi kepastian apa-apa, Presiden yang terpilih karena menang debat justru akan mudah menipu rakyat, karena apapun kesalahan yang akan dilakukan nanti ataupun karena tidak melakukan apapun nanti sewaktu jadi Presiden akan ada alibinya karena merasa jago debat. Rakyat ini butuh Presiden yang mau memberi teladan kebaikan dan utamanya JUJUR. Punya REKAM JEJAK sebagai pribadi yang layak menjadi pemimpin. Kebutuhan yang lainnya banyak sekali tenaga ahlinya dan juga pasti mau masuk membantu. Jadi kalau kita misalkan Presiden-Presiden kita setelah Habibie adalah karena punya Visi & Misi serta juga karena menang debat, apakah kita puas dengan kenyataan hasil Pemerintahannya? Bukankah korupsi semakin merebak dan meraja-lela dipartainya juga walau pun Visi & Misi-nya anti Korupsi? Ayolah jangan terjebak jualan kecap, badut-badut itu bisa jadi menghisap & memperkosa kita sebagai rakyat dengan iklan muluk demi Rakyat, Bangsa dan Negara. Masihkah kurang lama kita dihisap & diperkosa? (SPMC SW, 22 Mei 2014)

Thursday, May 22, 2014

"GANJANG MALAYSIA!!"

(Image source: republikblogger.blogspot.com)

Blogspot. Malaysia berhasil mendirikan tiang pancang untuk mercusuar dilaut Tanjung Datu, lokasi abu-abu yang masih dipersengketakan antara Indonesia dan Malaysia. Hal tersebut jelas melanggar perjanjian yang telah disepakati.

Lalu setelah dipergoki dan diintai maupun diawasi oleh pihak Indonesia, pembangunan tersebut tidak dilanjutkan, tapi sudah berdiri tiga tiang pancang-nya. Mendengarkan berita tersebut rasanya ikut geram, sungguh saya butuh berita yang lebih dari itu. Bukan hanya “akan” mempertanyakan kepada pihak Malaysia.

Jadi teringat tentang Sipadan dan Lingitan yang dimenangkan oleh Malaysia. Waktu itu diserahkan oleh pihak International untuk menentukan, maka ketika ditinjau dan melihat kenyataan bahwa ditempat tersebut sudah ada aktivitas oleh pihak Malaysia, maka wilayah yang disengketakan diberikan kepada Malaysia. Apakah hal tersebut akan terjadi lagi? Kita dikadalin oleh Malaysia. Dengan metode dan cara yang serupa?

Dimana pemimpin kita? Kenapa hanya sampai “akan mempertanyakan”, kalau mereka sudah berani melakukan aktivitas pembangunan dan Indonesia “hanya” akan mempertanyakan, bukankah hal itu akan sangat mudah dibaca bahwa Indonesia sebetulnya takut? Bukankah hal tersebut sangat jelas bahwa Malaysia sudah mengingkari pernjanjian yang telah disepakati, apakah cukup dengan permintaan maaf saja atas kejadian yang sengaja dilakukan, bukankah itu tindakan pelecehan yang terukur dan disengaja? Hal tersebut adalah masalah Bangsa, apakah kita sebetulnya Bangsa penakut? Belum lama kita juga dilecehkan oleh Singapura, negara seupil-pun tidak takut dengan Indonesia. Ngenes!

Bukannya mau menganjurkan menjadi Negara sewenang-wenang, tapi setidaknya menjadi Negara yang dihormati, dan hal itu tidak tampak. Seandainya Negara kita ini bernama Irak, China, Korea Utara, Rusia, Australia, saya tidak yakin Malaysia berani melakukan pembangunan itu. Jadi kalau menuruti kegeraman saya, tidak perlu tunggu apa respon Malaysia atas pembangunan tersebut, karena feeling saya Malaysia akan mendiamkan saja, atau paling banyak sekedar meminta maaf kalau dipertanyakan lagi, dan bangunan tersebut akan didiamkan saja. Dan itu akan menjadikan tanda bukti Malaysia pernah melakukan ativitas ditempat tersebut. Menurut saya, setidaknya Indonesia harus berani merobohkan bangunan tersebut, dan tidak perlu meminta ijin, karena permintaan ijin adalah tanda bukti kelemahan kita.

Saya kurang ingat tepatnya dimana, mungkin pada kasus Ambalat beberapa tahun yang lalu, waktu saya lihat di tipi kapal perang Indonesia di-intimidasi oleh kapal perang Malaysia, dan pihak Indonesia tidak berani melakukan apapun juga. Sungguh nelangsa.

Kalau ingin sedikit motivasi dan logika tentang hal semacam itu menurut pemikiran saya yang bisa jadi sangat absurd, adalah begini:

Masihkah Anda ingat tentang kasus pelemparan sepatu terhadap Presiden Bush di Irak? Apa yang terjadi kemudian? Pelemparnya disanjung bak Pahlawan (atau memang Pahlawan?), konon kabarnya sudah dibuatkan patung sepatu-nya juga. Maka ketika waktu itu kapal perang kita diintimidasi oleh Malaysia, harusnya prajurit yang memegang senjata berani menembak kapal Malaysia tersebut, tapi jangan hanya menembak sebagai tembakan peringatan saja. Harus dikenakan kesasaran dengan tepat dan telak. Percayalah yang melakukan hal tersebut akan disanjung oleh seluruh rakyat Indonesia. Dan kalau hal itu terjadi, runtutannya akan seperti berikut: Prajuruit yang menembak akan dikenakan hukuman karena melakukan tindakan yang belum diperintahkan atasan, lalu dikeluarkan sebagai anggota TNI, dihukum beberapa tahun. Pemerintah Indonesia meminta maaf kepada Pemerintah Malaysia. Lalu setelah itu, seluruh rakyat meng-elu-elukan prajurit tersebut, beberapa tahun kemudian Pemerintah memberikan keringanan hukuman, prajurit keluar dengan bebas sebagai rakyat sipil. Bisa jadi yang bersangkutan akan menjadi selebriti, dan bukan tidak mungkin akan dibuatkan patung dirinya dikampung halam sang prajurit, juga nama jalan. Dan saya sangat yakin bahwa sang prajurit TIDAK akan jadi pengangguran setelah keluar dari penjara. Saya pikir akan sangat banyak para dermawan memberikan pekerjaan, bukankah Pemerintah juga bisa memberikan pekerjaan sebagai tenaga keamanan dirumah mantan Presiden/Wapres atau dirumah mantan Kasad/Kasal/Kasau dan semacamnya yang memang selama ini juga selalu mendapat pengawalan bukan? Saya sangat yakin sang prajurit akan menjadi Pahlawan, dan berdampak sangat positif terhadap TNI secara keseluruhan, dan sangat mungkin Negara tetangga akan berpikir dua tiga kali sebelum berani melecehkan Indonesia dikemudian hari, dan hal tersebut tidak bisa dinilai bukan? Dan semoga artikel ini juga terbaca oleh para prajurit, syukur mengilhaminya untuk menjadi pahlawan. Bagaimana menurut Anda? (SPMC SW, Mei 204)

——————–

Catatan:

“GANJANG/GANYANG MALAYSIA” judul artikel ini diambil dari jargon Preisiden Soekarno, dan yang pasti Presiden Soekarno bukanlah orang militer, seperti Presiden kita sekarang. Jadi intinya latar belakang tidak menjamin ketegasan dan keberanian, mohon maaf juga kalau kurang berkenan.

Dan mohon maaf sekali lagi kalau artikel ini memprovokasi, karena sejatinya saya sangat ingin Negara ini tidak sering kali dilecehkan oleh Negara tetangga.

———————–
.
SINGAPURA KEPO ATAU INDONESIA LOYO?
.
http://t.co/gGYo2CAYv8
.
————————
.
~Arti “Kemanusiaan” Versi Australia~
http://edukasi.kompasiana.com/2014/02/08/kemanusiaan-versi-australia-630305.html
.
————————–

PILIH JUJUR-NDESO-SUKA KERJA, ATAU GAGAH-SANGAR-TEGAS?

 

(Image source: indonesia-2014.com)

Blogspot. 16 tahun sudah berlalu semenjak Mei ‘98, setiap bulan Mei itu pula banyak yang mempertanyakan tentang keterlibatan Prabowo pada kasus Mei 1998, terlebih bulan Mei tahun ini, tahun dimana Prabowo maju menjadi Capres melalui partai Gerindra bentukannya. Lalu kubu Gerindra menjawabnya dengan balik mempertanyakan, kenapa waktu MEGAPRO pada pemilu sebelumnya masalah Prabowo tidak di-blow up, dan sekarang begitu kencang didengungkan?

Sejujurnya ….itu adalah argumentasi cerdas Gerindra untuk menyatakan bahwa kasus penculikan adalah pesanan atau serangan pihak lawan politik. Saya dapat memahaminya, tapi menurut kupasan dan pengamatan saya pribadi, begini detailnya:

Betulkah waktu kampanye MEGAPRO tidak dipermasalahkan tentang penculikan? Ingatan rakyat kita banyak yang menjulukinya “cenderung pendek”. Keluarga korban penculikan sudah menuntut untuk mengusut kasus penculikan itu dengan tidak henti, jadi mereka tidak berhenti walau MEGAPRO sedang berlomba untuk menjadi pemimpin Negeri ini. Dan kalau kita mengingat dengan sungguh, pada waktu itu …..yang menyerang MEGAPRO juga banyak, hanya kita cepat melupa. Bedanya adalah …..waktu itu team sukses dari pihak PDIP maupun loyalis-nya tidak ikut mem-blow up kasus penculikan itu. Ya …..tentu saja bisa dipahami ….. bukankah mereka sedang berkoalisi? Seingat saya waktoe itoe justru MEGAPRO membuat banyak pendukung PDIP sendiri kecewa, dan banyak yang memilih menjadi Golput, dan secara pribadi saya menganggap koalisi tersebut adalah langkah salah yang pernah dilakukan PDIP, terlebih mengetahui ada beredarnya Perjanjian Batu Tulis. Dan yang lebih penting dari itu semua …..terbukti MEGAPRO kalah, dan apakah kekalahan tersebut tidak ada andil dari penyerangan tentang kasus penculikan? Ayolah berpikir dengan logika panjang, supaya tidak mudah melupa, karena sangat banyak tokoh dinegeri ini yang berkamuflase, dari buruk menjadi bagus (seolah-olah), dan itu semua membuktikan terjadinya kebobrokan moral terhadap warga Bangsa Negeri ini bukan?

ANALISA NIKMAT KEKUASAAN
Semua itu sebetulnya dimulai dari awal kemerdekaan, ketika itu peraturannya dibuat sebagai Kepala Negara “boleh diangkat lagi”, lalu diterjemahkan sesuai kehendak penguasa, Soekarno juga berkehendak menjadi Kepala Negara seumur hidup. Lalu dengan berbagai cara dan pengkondisian, Soeharto dan Orde Baru-nya mengambil alih kekuasaan, maka terjemahan “boleh diangkat lagi” tetap menjadikannya tanpa batasan. Lupa bahwa sebelumnya mengambil kekuasaan juga karena ingin menentang “boleh diangkat lagi”.


Karena kekuasaan adalah kenikmatan tiada tara bagi mereka yang sejatinya bukan orang bijak, maka cara apapun protes ketidak setujuan dibungkam. Kekuasaan kediktatoran-pun secara perlahan terjadi, pengekangan dalam segala hal terlihat wajar, karena memang systemnya bukan dadakan, jadi rakyat jelata tidak begitu merasakan, penggambarannya seperti proses memanjang rambut dikepala atau tumbuhnya kuku.

“Boleh diangkat lagi” tetap sengaja diterjemahkan tanpa batasan, Orde Baru-pun memanfaatkannya untuk menggengam kekuasaan hingga 32 tahun. Kekuasaanpun dipertahankan dengan doktrin untuk menganggap kebenarannya sendiri adalah paling benar, dan mempertahankannya selama mungkin, tidak peduli apapun caranya, tersebutlah yang saya maksud diatas, terjadinya proses perambatan menjadi kediktatoran, karena merambat bahkan yang melakukanpun melihatnya menjadi seolah-olah kewajaran. Mengatas namakan pemerintahan yang sah walau hasil pengkondisian sedemikian rupa, siapapun yang mempersoalkan dianggap melawan pemerintahan dan akan “digebuk”.

Kalau Anda menegakkan “empring” dengan menanam dalam-dalam ke-”Bumi Pertiwi” sebagai ilustrasi tegaknya pemerintahan Negeri, lalu pemerintahan yang ada bukannya mempertahankan tegaknya pemerintahan tersebut dengan cara-cara yang benar, tapi menarik kebawah salah satu ujung “empring” yang menjulang keatas dan membebani dengan kediktatoran/korupsi/nepotisme/SARA, maka semakin berat beban tersebut, lengkungan akan semakin tegang, berat, bahkan bisa jadi patah.

Ilustrasi tersebut menggambarkan pemerintahan Orde Baru, empring-nya memang belum patah, tapi pegangannya mengendor, dan daya lontar baliknya itulah yang membuat kocar-kacir semua yang menempel, yang membebani selama 32 tahun pemerintahan tersebut. Kecepatan pantul baliknya menggambarkan betapa cepatnya Orde Baru tumbang.

Kenapa pegangannya bisa kendor sehingga empringnya melejit dengan cepat menjatuhkan rezim Orde Baru, itu semua karena pendidikan dan keterbukaan melihat dunia. Dan prosesnya juga sama, ketika masih sedikit orang “mengerti” lalu vokal, maka pemerintahan menarik mereka yang vokal kedalam lingkaran, maaf kalau salah data, bukankah Abar Tanjung dan Adul Gapur juga termasuk yang vokal sebelumnya? Dan pastinya masih banyak lagi, tapi saya termasuk kebanyakan rakyat negeri ini, ingatannya tidak panjang. Ada juga Hariman Siregar yang sepertinya tidak tergadai dengan konsekuensi terlihat hidupnya tidak semewah yang menggadaikan idealisme moralnya. Begitu juga yang terjadi pada peristiwa penculikan, mencoba mengikuti jejak mertua, dan konon kabarnya berhasil menarik 4 korbannya menjadi kroni. Nikmat kekuasaan dunia dan harta menghalalkan segala cara, mungkin mereka pikir dari pada tidak jadi apa-apa, toh aku menggadaikan diriku sendiri tidak merugikan orang lain! Sungguh semuanya itu seperti lingkaran setan, karena Bangsa ini telah lupa mengajarkan MORAL yang benar kepada warga Bangsa-nya.
LUAPAN HATI

Bukankah memang tidak ada terang kalau tidak ada gelap? Pendidikan mencerdaskan Bangsa membuat negeri maju, tapi konsekwensinya, kecerdasan juga semakin menyingkap bobrok pemerintahan yang menyelenggarakan pendidikan itu sendiri. Pisau berguna untuk memotong, mengupas atau hal-hal lain yang berguna, tapi juga bisa untuk melakukan pembunuhan. Pendidikan tanpa dilandasi MORAL, menghasilkan manusia-manusia yang tidak bermoral, dan mereka semua ini termasuk yang bisa jadi akan memerintah Negeri. Mengerikan melihat perjalanan Bangsa ini, Manusia tanpa moral, seindah dan sebagus apapun pakaian yang dikenakan, berpotensi menimbulkan prahara yang mengerikan. Segala cara bisa dilakukan demi ambisi kekuasaan, dan bahayanya …..kekuasaan yang tidak bermoral! (SPMC SW, Mei 2014)

———————————-
CATATAN:


“Empring” yang dimaksud adalah potongan bambu yang memanjang, hasil dari bambu yang dibelah, bukan hanya sependek batas ruas, tapi bisa jadi sepanjang dua meter atau lebih sesuai kebutuhan.

Mohon maaf kalau artikel ini tidak benar, karena semua data hanya dingat secara samar, bahkan cenderung lupa, karena memang saya adalah bagian dari warga Bangsa yang ternyata mudah melupa juga.

Walau bagaimanapun Soekarno sudah memerdekakan Negeri ini, ayo kita tengok sejarah, jangan lupakan siapa saja yang sudah pernah menjadi Presiden kita, karena Presiden adalah memimpin semua warga negara, boleh jadi datang dari partai mana saja, tapi rekam jejak-nya dapat memberi acuan dalam kita memilih. Karena hanya “rekam jejak” yang menggambarkan kepribadian sesungguhnya. Wacana, program, janji-janji kampanye, itu hasil kerja team pakar atau konsultan politik ditambah janji-janji nekat asal bisa terpilih, semuanya dijamin bagus, bahkan menjurus ke “gombal”. Tapi apakah ada sanksi jika tidak terlaksana? Paling-paling kita hanya bisa menyesal, dan itu sudah maksimal bukan? Dan saya teringat pidato SBY tentang janji Capres yang akan menasionalisasikan banyak perusahaan asing, apa bisa diberi sanksi kalau tidak  terlaksana? Kok seperti gelap mata. (SW)
————————-
.
“REKAM JEJAK TRAGEDI MEI ‘98″
.
http://t.co/bop3ecT2eF
.
————————

Thursday, May 15, 2014

"TERBUKTI: ARB TERLALU LEMAH BAK NILAI RUPIAH"

(Image source: rimanews.com)

(NIKMAT JABATAN ATAS NAMA RAKYAT)
.
Blogspot. Jabatan adalah kenikmatan tiada tara, sepertinya tak ada yang menyangkal bukan? Kalau kita perhatikan beberapa tokoh belakangan ini, justru semuanya meneguhkan hal itu.
 
Ketika nama Sultan disebut dan diwacanakan oleh Partai Demokrat, saya secara pribadi sungguh mengharap Sultan tidak merespon yang “seolah-olah” berkehendak, tapi hal itu tidak tersirat walau Sultan mengatakan belum pernah dihubungi oleh siapapun tentang hal itu. Lalu kalau ada yang mempertanyakan kenapa sepertinya saya anti pencalonan tersebut, saya lebih condong untuk melihat kedalam, dan saya tidak melihat ada kemungkinan untuk menang dalam pertandingan, bukankah tidak ada data pegangan untuk itu? Tidak ada satupun lembaga survei yang menyatakan bahwa Sultan termasuk dalam unggulan kecuali dinomor sekian yang menyiratkan tidak layak ikut dalam bertanding. Jadi maaf, saya sebetulnya justru menyayangkan karena berkehendak untuk menjaga citra Sultan, apalagi itu pun juga baru wacana….bahkan kalau seandainya sudah dihubungi sekalipun, saya juga tetap mengharap Sultan menolak. Belajarlah pada sejarah dan pandai membaca situasi yang ada, bukankah Sultan juga pernah mencalonkan diri dan tidak menang? Ketika Jokowi yang merupakan kader partai dan di-olok-olok sebagai “boneka”, bagaimana dengan Sultan seandainya betul dicalonkan? Bukankah Sultan-pun bahkan juga tidak lagi sebagai kader partai Golkar, pastilah juga bukan kader partai Demokrat. Sebagai Sultan ….sangat disayangkan kalau harus mengalami kekalahan berkali-kali yang akan semakin menyiratkan kurang mampunya memposisikan diri sendiri. Sekali lagi mohon maaf atas kelancangan ini, kelancangan yang berkehendak menjaga citra.

Sebelum Pak JK juga semakin terus terang mengisyaratkan siap menjadi RI-2, sudah disiratkan oleh Pak Mahfud MD, belakangan juga ketua KPK memberi isyarat “semuanya biar kehendak takdir”, dan yang sangat mudah dibaca juga berkehendak bukan? “SemuaNgarep.com”

Lalu ada Roma Birama yang sepertinya lupa mencantumkan dalam perjanjian dengan PKB, seandainya dalam perjanjian tersebut Roma menyelipkan alinea yang intinya “PKB tidak boleh berkoalisi dengan PDIP”, mungkin saja Roma sekarang belum tentu “gigit jari”. Dan yang semakin blunder, ketika Roma dan team pendukungnya menyatakan penarikan dukungan, lalu diikuti acara kecaman terhadap partai yang baru saja dipromosikan. Padahal itu tidak merubah status apapun terhadap PKB, bahkan bisa jadi sudah sial justru menuai kesialan yang lain. Memang tidak mudah menjadi orang bijak bukan? Seandainya pada Pilkada DKI yang lalu Roma tidak mengumbar syahwat mengecam Jokowi dan menghujat Ahok yang beragama bukan mayoritas, bisa jadi Roma Birama tidak harus malu dan menolak dengan anti pati terhadap calon dari PDIP. Apakah Roma tidak paham, ketika sebelum kampanye Pemilu Legislatif dimulai, PDIP sudah mengumumkan mencalonkan Jokowi. Lalu mencermati pernyataan Roma yang tidak akan mau mendampingi Jokowi karena bla-bla-bla, tapi bersedia mendampingi PDIP seandainya yang maju sebagai Capres adalah Ibu Mega atau Mbak Puan. Sungguh pernyataan yang tidak mampu untuk menilai posisi diri sendiri, memang partai yang dikampanyekan jadi juara? Bagaimana mungkin membuat pernyataan Ibu Mega atau Mbak Puan sebagai Capres-nya? Apa Ibu Mega disuruh menarik pernyataan dukungan terhadap Jokowi yang bahkan sudah dibuat dengan tertulis? Saya kok jadi tidak yakin kalau sebetulnya yang bersangkutan paham tentang berpolitk pada jajaran atas, pada jajaran leader. Apalagi kalau mencermati pada pernyataan-pernyataan pada pemilu-pemilu sebelumnya, yang bersangkutan juga pernah mewacanakan “perempuan” tidak boleh menjadi pemimpin, lho kok sekarang malah berwacana mau mendampingi Ibu Mega atau Mbak Puan? Keblinger abis ….. Kartunya dah masuk kotak!

Banyak sekali tokoh yang pada awalnya mencalonkan diri menjadi RI-1, bersedia menjadi RI-2, yang sudah tampak jelas adalah Hatta Radjasa. Lalu ARB yang galau, ketika ber-anjangsana ke Gerindra dan hanya “mendapat” tawaran RI-2, bagaimana mempertanggung jawabkan hal itu kalau penawaran tersebut harus diterima? Logika keblinger dalam jebakan, salah menerima tawaran bisa jadi masuk jurang. Bagaimana berlogika kepada partai dan juga rakyat, ketika pemenang kedua harus menjadi wakilnya pemenang ketiga? Masih adakah tempat untuk menaruh muka jika harus menerima penawaran tersebut? Itulah sebab tidak terjadinya koalisi dengan Gerindra. Lalu ARB coba melobi ke PDIP, dan ternyata masih menghasilkan kegalauan juga. Sepertinya PDIP “tidak” menawarinya menjadi RI-2, padahal tentu saja sangat diharapkan, karena logikanya masuk, sebab PDIP adalah juara pertamanya.  Apalagi PDIP mewacanakan “kerja sama” tanpa syarat, semakin mati kutulah ARB. Lalu ketika ARB mencoba anjangsana ke Partai Demokrat, ternyata hasilnya sama dengan ke Partai Gerindra hanya laku sebagai RI-2, lebih jebloknya adalah Demokrat itu juara empat, semakin galau …. ternyata juara dua hanya diminta mendukung juara ke-tiga dan ke-empat, untuk sedikit menjaga kehormatan maka ARB akan mengembalikan mandat kepada kongres Partai Golkar, kalau sebelum-sebelumnya jika ada suara yang menentang dalam Partai akan di-cuek-kan saja, bisa jadi nanti akan sangat berbeda …..pasrah! 

Dari pada sudah pasti jadi oposisi, secara prakmatis dan rasional serta tidak membanting harga diri, sepertinya Golkar akan berspekulasi gabung ke PDIP. Karena membentuk koalisi sendiri tanpa kesertaan Demokrat, apakah suaranya masih cukup? Tentu sambil berharap tidak yakin apa yang dimaksud “tanpa syarat” oleh PDIP itu benar-benar tidak diberi jatah Menteri? Itulah nikmatnya jabatan yang harus diperjuangkan sampai harus banyak yang melupakan kepatutan, padahal semuanya selalu mengatasnamakan demi rakyat, padahal seribu persen adalah demi kepentingannya sendiri. Tapi secara pribadi, saya berharap ARB tidak menjadi RI-2-nya Jokowi, semoga kursi yang dimiliki Golkar tidak menyilaukan PDIP. Maaf. Karena pemilihan Presiden lebih mengutamakan personal bukan banyaknya suara partai, dan itu juga sudah terbukti pada Pilkada DKI yang lalu. Dan tidak perlu gentar dengan adanya 3 pasang kandidat, dari pada menyesal terbelenggu berkoalisi (kerja sama) dengan “singa bergaya rusa” yang pasti akan merepotkan diri sendiri dikemudian hari. (SPMC SW, Mei 2014)

Friday, May 9, 2014

"KIVLAN ZEIN: SECARA MORAL PRABOWO BERTANGGUNG JAWAB"

(Image source:nasional.sindonews.com)

Blogspot. Kata-kata judul artikel ini betul-betul saya lihat dan dengar dari tipi belakangan ini. Lalu Bapak Kivlan juga memberi keterangan, bahwa sebagai seoarang tentara, dikeluarkan dari ketentaraan adalah sesuatu yang sangat berat.

PRABOWO SUBIANTO
Kalau Pak Kivlan Zein mengatakan begitu, bolehkah saya menyimpulkan bahwa secara “moral” Pak Prabowo bermasalah? Kalau benar, pertanyaan berikutnya adalah: Layakkah seseorang yang bermasalah secara Moral menjadi pemimpin Negeri? Barang kali ada diantara para pembaca berkenan memberi pencerahan, Terimakasih sebelumnya ya ….


JOKOWI
Ketika nama Jokowi dicatut oleh oknum dalam kasus permintaan dana, waktu itu Pembina Yayasan RS Jakarta : Benjamin Mangkoedilaga, bahwa untuk mengundang Jokowi harus membayar sejumlah tertentu. Hal tersebut terjadi waktu Jokowi diundang untuk memberikan sambutan sehubungan ulang tahun ke-60 RS Jakarta yang jatuh pada 10 Nopember 2013.


Tapi sebagai Gubernur yang dimanfaatkan bawahannya sebagai ajang korupsi, dimana namanya dicatut untuk meminta dana, harusnya diurus dengan serius dan segera dipertemukan kedua belah pihak, lalu kalau betul terjadi segera dicopot saja oknum tersebut. Karena kalau tidak ditindak lanjuti, bisa jadi namanya akan dicatut oleh pihak-pihak lain dilain waktu dan kesempatan yang tentu saja susah diprediksi apa yang akan terjadi. (*)

Minta maaf juga kalau “pendukung” Jokowi ada yang tidak suka dengan kupasan tersebut, tapi boleh juga dibantah kalau saya salah mengamati.

ARB
Ketika beberapa waktu yang lalu saya bertemu teman, teman tersebut bercerita tentang SAHAM, tentu saja saya hanya sebagai pendengar, karena memang saya tidak pernah main/beli saham, dan boleh dikatakan nul-putul tentang saham, maka sebelumnya saya minta maaf kalau kupasan berikut juga ngaco ….. Selain juga sudah rada lupa detail ceritanya …maklumlah kurang interest soal saham, tapi kok nekat mau cerita ….hehehehe sori sebelumnya. Begini cerita versi seingat saya …


Teman saya itu beli saham dari grup Bakrie, saya tidak ingat namanya ….ingat saya ada 4 perusahaan yang nilai sahamnya jeblok, mula-mula dia bilang harga beli sahamnya ada yg sekitar 1200 sampai dengan 1600 perlembar sahamnya, sekali lagi karena saya tidak ingat nama-nama tepatnya perusahaan tersebut. Lalu nilai saham tersebut saat ini ada yang tinggal 200 sampai dengan 600 per-lembar-nya. Kata teman saya lagi …. Yang merasa rugi sangat banyak …saham-nya “digoreng” waktu peluncurannya, sehingga sekarang hancur …. “Terus kalau harganya turun terus bagaimana bos”. Tanya saya, yang dijawab: saya sudah tidak pegang lagi, itu saja sudah hampir bikin saya bangkrut, kalau pegang terus, malah terlihat terus dan itu bikin stress …. Dan pemerintah menjamin batas nilai bawah saham adalah 50 rupiah perlembarnya. (Aku hanya bilang oooooo….maklum engga paham hehehehe)

Begitulah ceritanya …. Terus apa hubungannya dengan Rekam Jejak ARB? Maaf …saya hanya mempermasalahkan “goreng-menggoreng” peluncuran saham, dan mesti tanya Pak Kwik Kian Gie dimana letak dosanya. Atau adakah para pembaca yang dapat mencerahkan saya?

Lumpur Lapindo masih meninggalkan masalah, banyak rakyat yang mempertanyakan, kenapa Negara ikut menyokong uang ganti rugi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Grup Bakrie? Ketika ada pendapat yang mengatakan bahwa tragedi lumpur Lapindo adalah bencana alam, sehingga Pemerintah sudah sepantasnya ikut membiayai, bagaiman kalau menurut Anda para pembaca? Karena kalau menurut saya, bencana alam memang iya, karena itu semua bersumber dari alam, tapi ….seandainya perusahaan tersebut tidak melakukan pengeboran, apakah bencana itu juga akan terjadi? Saya kok yakin “TIDAK”.

————————

Demikianlah “kupasan” versi saya tentang ketiga CAPRES yang menurut saya besar kemungkinan akan mencalonkan diri. Ayo kalau Anda juga mau ikutan mengupas atau menyoroti rekam jejak-nya. Tapi mohon yang fakta ya, setidaknya ada data yang kredibel ….jangan mengupas dengan hasil rekayasa, syukur kalau kupasan-nya bukan menyangkut SARA, karena menurut Konstitusi Negara, semua Warga Negara punya hak dan kewajiban yang sama bukan? (SPMC SW, Mei 2014)

———————–
.
(*)
PEMERASAN ATAS NAMA JOKOWI, ANDAI KPK TER-INSPIRASI
.
http://t.co/iHeM4ilGA3
.
———————–


Thursday, May 8, 2014

"BANGSA INI SAKIT KRONIS!"



                                      (Image source: m.tam.co.id)

Blogspot. Bupati Bogor dan komplotannya ditangkap KPK, tidak terlalu mengejutkan memang, hanya semakin menegaskan bahwa kita sebagai Bangsa memang sudah betul-betul sakit kronis. Ketika yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi pada kasus Hambalang, lalu konon juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang lain(?), dan kemudian yang terakhir dijemput KPK. Betul-betul menyiratkan kronisnya penyakit atau justru cenderung kearah “holic”. Kalau seandainya orang waras, atau punya nalar rasional, maka ketika dipanggil KPK dan melihat situasi yang ada disekitarnya, apakah tidak curiga bahwa dirinya sudah ada gelagat “ter-endus”? Itulah sebab saya cenderung mengatakan holic, karena hanya holic yang punya keberanian menyingkirkan logika rasional. Dan teman si holic yang paling dekat adalah “tolol”, tapi memperhatikan jabatan dan kenyataan yang ada (pendidikan dan lain-lain), pastilah bukan karena tolol. KPK juga menetapkan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka untuk kasus PDAM, juga sebagai "kado" akhir jabatan seperti kasus BCA terhadap Hadi Purnomo.

Setelah Rudi Rubiandini (SKK MIGAS) diputuskan hukumannya, terlihat di-tipi-tipi gestur dan pernyataan-pernyataan-nya, apakah bukan termasuk kelompok orang “sakit” juga? Ketika dalam persidangan menanya pada Sutan Bhatoegana tentang permintaan uang THR dan dijawab “tidak ingat”, saya sangat percaya bahwa kasus tersebut sebetulnya ada, hanya memang “belum” dapat dibuktikan, tapi seingat saya bukankah Sutan sudah dicekal? Bisa jadi jawaban yang didapat dari Sutan mengilhami Rudi untuk berlaku tolol, atau memang tolol beneran? Pendapat tersebut karena saya cermati pernyataan-pernyataan Rudi Rubiandini, juga semakin saya berkesimpulan memang Bangsa ini sudah kronis sakitnya. Coba renungkan pernyataan-pernyataannya. Yang punya jabatan siapa? Terus kalau misalnya saya sebagai pihak penyuap, apa saya harus menyuap pelatih golf untuk urusan MIGAS? Boleh saja menyalahkan kaki-tangan-nya, tapi apa tidak kebangetan kalau jadi menempatkan dirinya begitu goblok, seolah-olah dirinya yang dimanfaatkan oleh pelatih golf, yang merasa dijerumuskan….. Intelektual-nya memang sangat mumpuni, termasuk tidak banyak orang Negeri ini yang bisa mencapainya, tapi pernyataan-pernyataannya menggambarkan sakit moral kronis. Saya sungguh mengharap KPK naik banding atas keputusan tersebut, apakah sudah?

Begitu juga dengan kasus Hambalang, Sang MENPORA juga merasa bersih, tapi lupa berlogika positif, tiga bersaudara dengan pendidikan yang tergolong hebat, yang termasuk dalam kelompok intelek, sangat disayangkan sang adik yang tidak terjerumus justru ikut menceburkan diri ber-orasi dan menggalang kekuatan untuk coba membodohi masyarakat. Bagaimana mereka bisa menghapus logika kebenaran, kalau tidak ada urusannya dengan uang haram korupsi sang kakak yang Menpora, memang adik-nya layak/wajar menerima kado bermilyar-milyar rupiah pada Ultah-nya? Memang ada hubungan apa adik Menpora dengan pemberi hadiah? Kenapa kalian galang wacana logika ketololan itu? Saya justru tidak melihat untuk pertobatan, tapi mau menjungkir balikkan logika masyarakat, menjangkitkan wabah logika keblinger. Coba bayangkan, kalau seandainya orasi dan “kuliah terbuka” sang adik dianggap sesuatu yang benar, entah kronis level berapa yang akan terjadi pada masyarakat kita, utamanya pejabat-pejabat lain yang akan menganggap yurisprudensi kasus tersebut!?

Itu baru sepintas sudut pandang keatas, masih banyak contoh lain tentang moral para intelektual anak Bangsa ini yang ternyata sakit, begitu banyak para profesor dan kaum pandai lain pernah dan atau masih menghuni hotel prodeo, masihkah kurang contohnya bahwa kita adalah Bangsa yang sakit? Lalu ayo kita coba tengok agak sedikit kebawah, kelompok penerus Bangsa ini dimasa yang akan datang, dan ternyata justru tidak kalah memilukan.

Gosipnya, yang tercatat pada buku harian Emon terungkap korban 120 anak, pelecehan seksual yang dilakukan karena “sebab” Emon juga pernah menjadi korban, bagaimana dengan 120 anak korban Emon dimasa yang akan datang? Bukankah akan menimbulkan luka batin yang menetap? Apakah tidak akan berpotensi pembuat korban untuk anak Bangsa generasi berikut? Kasus Renggo juga contoh yang dapat menggambarkan kepada kita betapa brutalnya nanti penerus generasi Negeri ini. Bagaimana dengan Guru yang menggigit hidung anak murid-nya, walau tampaknya itu berita lucu, tapi percayalah ada “sakit” dibalik itu semua. Ketika mantan pacar disiksa dan dibunuh lalu dibuang dijalan tol, senioritas menyiksa junior hingga tewas. Itu sebagian kecil cerita yang “kebetulan” terungkap, dan beranikah Anda bersepekulasi bahwa memang hanya yang terungkap itu saja? Bagaimana kalau sebaliknya, jangan-jangan yang tidak terungkap lebih banyak dan lebih mengerikan kasus-kasus-nya? Yang banyak orang istilahkan Puncak Gunung Es. Ditambah kasus narkoba yang sudah begitu meluas ….beberapa waktu lagi jangan-jangan cari orang yang tidak kecanduan narkoba akan lebih susah, bukankah begitu yang sudah terjadi dengan norma kejujuran kita? Ketika Ahok dimusuhi banyak orang karena akan menegakkan kejujuran, itu menyiratkan kenyataan bahwa justru kejujuran sudah dianggap budaya yang harus dilawan. Masihkan kita tidak mau mengakui bahwa Bangsa ini sudah sakit kronis?

Masih banyak sekali kasus-kasus yang tentu saja tidak mungkin dikupas disini, karena tentu saja artikel ini tidak akan pernah berakhir. Tapi dari berjuta-juta kasus yang ada, yang menimpa semua strata kehidupan rakyat Negeri ini, saya menyimpulkan bahwa kita adalah Bangsa yang sakit kronis. Jika kita semua tidak mau menyadari bahwa kita adalah Bangsa yang sakit kronis, maka dimasa mendatang akan lebih kronis lagi. Karena dengan tidak berani mengakui, berarti tidak ada penyadaran, dan itu merasa tidak ada yang perlu diubah, padahal kesadaran itulah awal mula kesembuhan walau memang membutuhkan waktu yang sangat panjang, bisa jadi 50 tahun kedepan. Secara kesatuhan sebagai Bangsa, ternyata kita berjalan kearah jurang, walau tampaknya menyenangkan bagi para penikmat kekayaan hasil korupsi yang tidak terungkap. Juga para penikmat kekerasan ; Penikmat paedofilia ; Dan para penikmat penyimpangan lain. Harga yang sangat mahal yang harus kita bayar, tapi bukan hanya dengan uang, butuh waktu dan pengorbanan satu generasi untuk menyiapkan generasi berikutnya yang lebih baik, dan menurut saya itu semua karena kita hanya mementingkan pendidikan intelektual, alpa mendasarinya dangan MORAL. Karena justru moral-lah yang juga mengajarkan kita rasa malu, dan sebagai bukti bahwa kita alpa mendasari moral kepada anak Bangsa, saya melihat profesorpun tampak yakin tidak bersalah ketika dijatuhi hukuman, tapi tidak naik banding, dan benar-benar tidak tampak rasa malu itu. Padahal rasa malu-lah yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya (binatang maksud saya!), itulah pentingnya MORAL sebagai landasan kita sebelum mengenal intelektual yang hebat-hebat yang sangat kita banggakan pada umumnya.

Banyak artikel saya yang menyiratkan kerisauan, itu terjadi karena saya juga termasuk salah satu warga Bangsa yang sakit itu, tapi berusaha menyadarinya sebagai modal awal untuk menginginkan perubahan, dan itu sepertinya akan sia-sia kalau mengingat kata-kata: “Jika hanya ada satu orang diantara gerombolan penyamun, yakinkah dia bukan bagian dari penyamun, atau jangan-jangan dia justru provokatornya?” Ayo kita galakkan perubahan, kita satukan energi untuk melawan arus kebobrok’an dan itu akan sangat berarti dengan dukungan Anda sekalian, mohon VOTE-nya agar dapat kita sampaikan pada penguasa berikutnya untuk lebih memperhatikan kasus ini, dimulainya kasus perbaikan moral Bangsa! (SPMC SW, Mei 2014)

—————————
.
. EMON & RENGGO KORBAN “KLONING EGOIS”
.
http://t.co/WQ4n8CbpVC
.
—————————

Tuesday, May 6, 2014

EMON & RENGGO HASIL "KLONING-EGOIS"



                                          (Image source: harianjogja.com)

Blogspot. Pendidikan Negeri ini sangat memprihatinkan, betapa ngerinya saat-saat ini, peristiwa itu bisa terjadi dimana saja, disekolah PAUD semewah JIS (Jakarta International School) dengan bayaran uang sekolah US$2.700. per bulan-pun ternyata tidak menjamin keamanan bagi anak-anak.(Jika ±US$1=Rp.11.500, maka perbulan lebih dari Rp.31 Juta!)
 
Lalu sangat banyak terungkap peristiwa memprihatinkan yang harus diterima anak-anak generasi penerus Bangsa ini, ada Bapak yang tega melecehkan Anak gadisnya sendiri yang berumur 18 bulan karena keretakan rumah tangganya, dan sangat memprihatinkan ternyata sang Bapak adalah anggota TNI AU, masih sangat banyak kejadian-kejadian memilukan yang dialami anak-anak yang terberitakan belakangan ini, karena sangat banyaknya, begitu banyak pula yang seolah-olah hanya numpang lewat, tergerus berita selanjutnya yang memang juga sangat memprihatinkan dan ternyata lebih dahsyat!

Kasus EMON si-raja sodomi tentu saja sangat menggemparkan belakangan ini, korbannya begitu banyak, yang sudah terungkap ada 89 anak, dan ada kemungkinan jumlahnya akan bertambah ……. Bisa jadi William J Vahey pelaku paedofilia yang bunuh diri pada 21 Maret 2014 dari Amerika tidak ada apa-apanya kalau dilihat dari kecepatan melakukan paedofilia. Si Emon ini sepertinya baru tahun lalu melakukan(?), tapi korbannya sudah bejibun, sedangkan si Vahey yang terungkap korbannya dimulai tahun 2008 dan mencapai 90 anak.

Tapi yang tampak nyata perbedaannya adalah perlakuan oleh Pemerintah, Amerika dengan FBI-nya menelusuri jejak si Vahey sampai ke Indonesia karena memang si Vahey pernah jadi guru di JIS selama 10 tahun (1992~2002), dengan misi penyidikan dan PENDAMPINGAN terhadap korban.

 
Kalau di sini, yang banyak beredar adalah ringan-nya hukuman yang diberikan terhadap pelaku, mengenai si-korban …..sepertinya Negara tidak akan sanggup memulihkan kondisinya, karena menurut beberapa ahli kejiwaan yang pernah saya dengar, dibutuhkan waktu ber-tahun-tahun atau bahkan ber-puluh tahun pendampingan untuk mengobati trauma, dan tentu saja itupun tidak menghapus 100 persen luka batin. Jadi ….. kenapa tidak menggerakkan hati para Hakim untuk memberi hukuman tertinggi kepada para pelaku perusak generasi Bangsa? Apakah tidak paham akibat-nya dan tidak menyentuh hati para hakim? Atau karena bukan menimpa anaknya? (Semoga setelah marak sorotan kasus itu, hukumannya jadi seberat derita anak yang akan dialami seumur hidupnya)
 
  • Iseng saya merenung dan berpendapat mungkin absurd, seandainya pada kasus persidangan Emon nanti, penuntutan perkaranya tidak dijadikan satu, prosesnya boleh saja jadi satu. Lalu si Emon dijatuhi hukuman 15 tahun untuk satu orang korban, maka kalau ternyata korbannya ada 100 anak, maka si Emon akan menerima hukuman 100X15= 1.500 tahun penjara. Bukankah itu rasional, karena memang korbannya merasakan derita yang juga tidak mungkin disatukan dalam satu penderitaan. Alias penderitaan yang individual, yang disebabkan oleh sang pelaku. Sori kalau saya mulai ngaco dalam kejengkelan.

Lalu bisakah Pemerintah dan DPR yang akan datang segera merevisi UU? Koruptor yang merugikan uang Negara lebih dari 1Milyar ; Bandar Narkoba ; Teroris ; Pelaku Paedofilia, hukumannya adalah minimal tertinggi yang dapat diterapkan dalam UU tersebut, dan tidak bisa mendapat grasi maupun remisi pengurangan hukuman seperti yang selama ini terjadi. Kalau dilaksanakan pasti banyak yang kontra, karena namanya saja LP, alias Lembaga Permasyarakatan …..tempat untuk mendidik para pelaku kejahatan kembali kejalan yang benar ….. Idealisme yang ternyata justru merusak tatanan Negara karena jadi tidak menjerakan, dan menjadikan kawah perdagangan hukum yang paling disuka oleh para pengacara karena disitulah pusat pat-pat-gulipat yang justru tampak ketidak adilan terjadi, karena berbuntut hukum yang seolah hanya memihak mereka yang mampu membelinya. Maaf, setidaknya begitulah menurut pengamatan saya sebagai warga yang awam tentang hukum.

Renggo yang baru kelas 5 SD terbunuh akibat ulah kakak kelasnya, peristiwa lain yang sangat memilukan, begitu juga Taruna STIP yang harus meninggal karena dihajar senior-nya, lalu banyak sekali peristiwa-peristiwa penganiayaan yang terberitakan dalam waktu yang berdekatan, masihkah kurang contoh-contoh ke-sadis-an warga Bangsa ini? Pada banyak peristiwa, begitu juga yang terjadi di STIP maupun di STPDN yang lampau-lampau, dan juga disemua kejadian, semua tokoh selalu mengatakan “semoga ini adalah yang ter-akhir”.

Dan saya jadi merenung …..apakah ada manfaatnya kata-kata tersebut? Melihat kenyataan yang ada, ternyata kejadiannya bukannya berkurang, tapi malah bertambah dan menyebar kesemua kalangan dan strata kehidupan Bangsa ini. Kalau menurut saya, ke-egois-an adalah awal mula semua akibat, mungkin saya bisa menjabarkan bahwa awalnya adalah ke-egois-an. Singkatnya begini, (kalau ingin membicarakan di tanggapan silahkan) korupsi karena egois, egois karena berpikir yang penting aku kaya walau harus menghancurkan Bangsa ini. Pengedar narkoba juga sangat egois, yang penting aku cepat kaya, bodo amat walau generasi Bangsa ini akan hancur. Teroris juga karena egois, egois karena kebanyakan adalah memperjuangkan kebenarannya sendiri, kebenaran yang sangat egois karena tidak bisa menerima kebenaran yang lain selain kebenarannya sendiri, jadi bila perlu kebenaran yang lain harus dilenyapkan walau harus menjadi teroris untuk melaksanakannya. Pelaku paedofilia juga egois, jangan dibantah dulu karena Anda berpikir bahwa pelakunya juga merupakan korban, coba Anda pikirkan tentang contoh Anak 18 bulan yang dilecehkan Ayahnya sendiri tersebut diatas.

Tapi kalau kita pikirkan sebab awalnya itu semua terjadi, karena hukum tidak pernah benar-benar ditegakkan di-Negeri ini. Ketika doeloe sebelum internet merebak dan masih merupakan sarana terbatas, ketika film video porno belum segampang sekarang yang bisa ditonton oleh semua pengguna internet, apakah Negara ini benar-benar bisa memberantas pengedaran penjualan video porno yang begitu murah dan masal? Bisa kalau mau! Tapi karena ke-egois-an melanda “hampir” semua warga Bangsa, memilih menerima upeti dari pada harus memberantas sampai ke-akar-akar-nya. Tidak mau berpikir jauh kebelakang tentang kemaslahatan Bangsa, atau tidak ngerti juga? Bukankah ke-egois-an itu juga yang tergambar ketika Gubernur Jateng sidak di jembatan timbang? Bodo amat jalanan rusak, yang penting aku dapat duit setiap harinya, urusan Negara dan jalanan rusak bukan urusanku. Semuanya begitu masa bodo dengan Negara ini, semuanya begitu egois, jadi akankah Negara ini menuju kearah kebaikan dalam waktu dekat? Silahkan Anda perkirakan sendiri. Jangan lupa mempertimbangkan para korban paedofilia besar kemungkinan juga akan jadi pelaku dikemudian hari, begitu juga yang dialami Emon, dan dia sudah meng-kloning potensi wabah tersebut ke 89 anak lain.

Bahkan ada yang punya ide “itu semua terjadi karena negeri tidak memberlakukan syariat Islam”, padahal belum lama ini juga terjadi pelecehan seksual di Aceh. Dan kalau mau mencari informasi via Om Google, kalau Anda mencari tentang kehidupan yang nyaman/tentram/aman/menyenangkan dan sejenisnya itu di Negara mana, maka Anda akan tahu bahwa (maaf) Negara dengan pemberlakuan Syariat Islam ternyata bukan jawaban yang benar. Sekali lagi maafkan saya atas contoh tersebut, karena saya belum lama ini membaca artikel dan juga tanggapan tentang hal itu.


Kalau menurut saya, tidak ada jalan pintas untuk memperbaiki keadaan, moral Bangsa ini sudah demikian bobrok, dan kerusakan ini membutuhkan waktu yang lama, begitu juga kalau ingin memperbaikinya, butuh setidaknya satu generasi. Dan perbaikan yang paling darurat adalah “pengakuan” oleh kita semua, kita harus berani mengakui bahwa memang secara keseluruhan Bangsa ini sudah rusak moralnya, itu yang paling sulit, karena secara individu banyak diantara kita yang merasa paling hebat, bahkan Rudi Rubiandini (SKK MIGAS) juga merasa paling hebat sebelum ditangkap KPK, bahkan mungkin saja sampai detik ini juga masih merasa orang “baik” di Negeri ini. Ketidak beranian mengakui itu juga merupakan bagian dari ke-egois-an kita bukan?
 
Setelah langkah pengakuan, berikutnya adalah lakukan hukum dengan tegas dan adil tanpa pandang bulu. Dan itu ternyata lebih susah dari semuanya, jangan karena anak pejabat atau pejabatnya sendiri maka hukuman bisa menjadi ringan atau banyak pengecualian lain. Dan itu semua juga karena Egois bukan? Akumulasi itu memberikan beban terhadap Bangsa secara keseluruhan, rakyat jadi tidak percaya kepada hukum, karena memang begitulah yang kita saksikan pada kenyataannya.

Seandainya saja ketegasan itu ada, Rektor diberhentikan ketika mahasiswanya meninggal karena kasus yang juga pernah terjadi sebelumnya, kepala sekolah dicopot ketika siswanya menyimpang diluar kepatutan yang amat sangat. Apakah Anda ingat anak SMP berbuat mesum disekolah dan di video-kan oleh temannya? Lalu apa sanksi yang diberikan terhadap pembina disekolah tersebut? Apakah Anda tidak berpikir bahwa itu semua ber-akar dari ke-egois-an yang amat sangat yang menjangkiti kita semua? Kalau Menteri-nya saja tidak berani memberhentikan Rektor maupun Kepala Sekolah yang bermasalah, apakah Anda berpikir untuk sang Menteri yang terkait berani mengundurkan diri? Atau dimana peran Kepala Negara selama ini? Sungguh semuanya sangat merisaukan, menggemaskan, dan ternyata semua itu juga bisa ditarik kesudut rasa, penyakit egois kita!

Adakah kelanjutan tentang berita heboh Kepala Rumah sakit yang membuang pasiennya, mungkin saja saya yang kurang informasi. Tapi pada banyak peristiwa yang sempat saya amati, kebanyakan dari mereka yang seharusnya paling bertanggung jawab adalah berlindung dibalik kekurangan. Yang masih segar di tipi adalah rektor tempat dimana mahasiswa meninggal mengakui kekurangan tenaga pengawasan, pertanyaannya adalah ….kalau tidak sanggup mengemban tugas, kenapa tidak mengundurkan diri saja? Kalau tahu kurang kenapa tidak ditambah, atau karena itu adalah hal yang paling bagus untuk wadah alibi dalam melepaskan tanggung jawab, bukankah karena memang sangat egois?

Masih menurut saya lagi, penyelenggaraan pendidikan di Negeri ini sudah salah arah, …..”seandainya anak-anak SD (Sekolah Dasar - enam tahun penuh!), ”hanya” diajarkan tentang belajar membaca - menulis - ‘berhitung’ - agama - kesenian - olah raga - lingkungan hidup - MORAL (Kasih ; Kejujuran ; Budi Pekerti ; Budaya Malu ; Tolong Menolong), saya sangat yakin bahwa generasi mendatang Negeri ini akan menjadi sangat baik.” …..(*) (SPMC SW, Mei 2014)
—————————–
.

GUE MANG EGOIS! MASALAH BUAT LO?
.

http://t.co/lEkfOFJdsM
.
——————————
.
(*)
KUGADAIKAN CINTANYA (Maafkan aku anak-anakku)
.

http://t.co/X2MQvrkWUQ
.
—————————-
.

AYO JADI KORUPTOR TERHORMAT, MAU? (AWAS! Kalo Baca Berpotensi Jadi Koruptor)
.

http://t.co/3fBrRadv1h
.
——————————-