Tuesday, January 17, 2017

"CARUT-MARUT LOGIKA POLITISI SENAYAN"


"CARUT-MARUT LOGIKA POLITISI SENAYAN"
.
.
Ambisi ditambah egois
Lalu dibungkus rasa logis
Tak merasa walau bengis
.
Itulah para politisi senayan
Tak becus buat aturan
Akibatkan cakar-cakaran
.
Aturan hanya agar selamat
Bukan untuk martabat
Apalagi demi rakyat
.
.
.
.
.
Opini Amatan Berita ala #SPMC Suhindro Wibisono
.
.
Untuk menghemat biaya Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang menghabiskan biaya dikisaran 141T, lalu dibuatlah aturan bahwa kedua Pemilu tersebut harus dilaksanakan serentak.
.
Lalu keluarlah keputusan MK bahwa Pileg dan Pilpres harus dilaksanakan serentak di 2019. Karena harus serentak, awalnya doeloe mereka membuat kesepakatan bahwa batasan untuk dapat mencalonkan presiden (presidential threshold) mengikuti perolehan perhitungan parliamentary threshold periode sebelumnya, dalam case yang akan datang ini tentu mengikuti perhitungan 2014. Lalu bagaimana dengan partai baru atau partai lama yang dulu gagal melewati electoral threshold yang baru ikut dan yang ikut lagi, bukankah masih diposisi nol, yang artinya tidak bisa mengusulkan calon presiden? Dan itulah sekarang yang sedang diributkan oleh mereka para politisi yang ngantor digedung DPR itu. Kan harusnya simpel, kalau partai baru atau partai yang memang belum punya kursi DPR/DPRD tidak mau mengikuti aturan yang sudah ditetapkan sebelumnya, ya jangan ikut!
.
Usulan yang sedang gencar saat ini adalah "semua" partai pada Pileg dan Pilpres serentak 2019 diasumsikan posisinya nol, maka dengan kesetaraan seperti itu konsekuensinya semua partai jadi boleh mencalonkan presidennya masing-masing. Sungguh menarik dan masuk akal, semua ada diposisi nol. Menurut saya, hal itu sekaligus menggambarkan bahwa para politisi negeri ini kalau buat UU hanya demi kepentingan sesaatnya saja, alias TIDAK BECUS MEMBUAT UU!
.
Menurut saya lagi, seharusnya Pileg dan Pilpres memang tidak boleh serentak, kenapa harus memaksakan kehendak hanya untuk agar biaya lebih murah kalau memang tidak bisa dilaksanakan? Kalau mau lebih murah, seharusnya Pileg/Pilpres menggunakan sistem IT, komputerisasi, bukankah tinggal njiplak teknologinya USA saja?
.
Memakai patokan hasil Pileg sebelumnya, menurut rasa saya memang tidaklah tepat, justru Pileg itu diadakan bukankah dianggap hasil Pileg sebelumnya dinyatakan sudah menjelang habis masa berlakunya? Demisioner gitulah kira-kira, dan masuk akal kalau semua partai dianggap pada posisi nol. Tapi menurut rasa saya juga tidak tepat bahwa semua partai boleh mengusulkan calon presidennya masing-masing. Karena itu artinya Capres bisa lebih selusin dong? Terus bagaimana aturan pemenang Capres jika ada lebih selusin? Apakah boleh langsung pemenangnya dalam satu putaran saja? Bagaimana kalau pemenangnya tidak ada yang 50 persen plus satu? Tapi hanya beda-beda tipis saja?
.
Jelas mereka membuat aturan terkesan seenaknya saja dan tambal sulam, dulu maunya pakai perhitungan terakhir sebelumnya, sekarang diributkannya sendiri lagi. Gerindra terlihat ngotot mengusulkan semua partai boleh mengusulkan Capresnya masing-masing, sementara juga promosi bahwa menurut survei partainya adalah paling diminati rakyat dan Capresnya juga melebihi inkamben kepopulerannya. Sepertinya karena merasa takut tidak bisa mengajukan Capresnya sendirian dan merasa KMP sudah bubar jalan, maka nekat bersuara bahwa semuanya harus nol dan semua partai peserta boleh mengusulkan Capres, tanpa berpikir panjang bagaimana pelaksanaannya?
.
Sekali lagi saya sependapat bahwa semua partai dianggap nol, karena memang logikanya begitu, karena memang hasil Pileg-lah yang menentukan jumlah perolehan partai-partai dan itu tanpa mempertimbangkan berapa perolehan suara periode sebelumnya. Contohnya partai Demokrat yang pada Pileg terakhir jauh mengkoreksi kenyataan hasil sebelumnya. Jadi tidak ada garansi pemenang Pileg akan menjadi pemenang lagi, atau hanya turun/naik satu tingkat, memang hasil Pileg ada kemungkinan sangat dinamis. Bukan tidak mungkin akan ada kuda hitam, sama seperti Liga Inggris periode lalu yang ternyata jawaranya bukan MU, Chelsea, Man.City, Arsenal, Liverpool seperti yang sering diprediksi orang sebagi big five, juaranya adalah Leicester City, lalu minggu lalu pelatihnya dinobatkan menjadi pelatih terbaik sejagad saat ini.
.
Balik ngomongin ke Pileg dan Pilpres, sekali lagi menurut saya tidak layak diserentakkan, bukan tidak bisa atau tidak mungkin lho ya, hanya sejatinya memang tidak menggambarkan kondisi kekinian, karena bukankah Pilpres diadakan untuk jabatan presiden yang akan datang? Kenapa ukuran/patokannya pakai standard perolehan Pileg periode yang sudah mau game over kalau tidak boleh dibilang harusnya boleh dianggap sudah tutup buku?
.
Dan itu akan berarti tiap partai bukan hanya boleh mengusulkan Capres, tapi juga Cawapres, karena bukankah memang harus paket? Ya sebetulnya partai-partai itu boleh koalisi mencalonkan pasangan Capres/Cawapresnya tapi yang namanya koalisi kan itu tidak bisa dipaksa, apalagi batasan boleh atau tidaknya juga blom ada karena semua dianggap nol, jadi betapa serunya partai-partai itu karena semua merasa macan dan tidak ada yang merasa gurem. Terlebih berdasar pengamatan saya, nama calon presiden yang diusung partai juga sangat menentukan perolehan suara legislatif, dan terus terang waktu pemilu legislatif terakhir itu, saya milih partai karena adanya calon presiden yang ingin saya dukung, saya tidak memilih siapa calon anggota DPR/DPRDnya, TIDAK KENAL!
.
Prediksi saya, kalau Pilpres juga harus bersamaan dengan Pileg, partai-partai mapan akan paling dirugikan, yang terpenting adalah berburu individu Capres, dan itu akan terjadi penjungkir balik'an keadaan saat ini. Bahkan tokoh yang merasa hebat dan sangat populer, jika ada yang berani membiayai untuk bikin partai baru, sangat mungkin akan langsung bisa eksis, apalagi kalau mampu bikin partai sendiri.
.
Partai terlalu banyak sudah sangat jelas justru negara semakin gaduh, tapi kenapa justru tetap dipertahankan? Dengan dalih demokrasi dan persamaan hak, maka pembuatan partai baru seolah haram untuk dilarang, apakah hal itu tidak aneh? Bukankah kenyataannya dibanyak negara demokrasi lain justru hal semacam itu tidak pernah ada? Amerika sudah memutuskan jumlah partai, dan kenyataannya tidak pernah menambah partai baru lagi toh?
.
Kalau mau membatasi partai secara alamiah, seharusnya batas electoral treshold yang dinaikkan, jadikan saja minimal 10 persen, lalu yang mencapai diberi anggaran oleh negara sesuai persentasenya, tapi dengan syarat harus ada audit keuangan secara terbuka dan dilakukan oleh auditor independen. Yang tidak mencapai harus bubar dan tidak boleh koalisi untuk mencapai 10 persen. Silahkan saja membuat partai baru, tapi partai baru tidak mendapat biaya dari pemerintah kecuali partainya bisa lolos batasan 10 persen electoral treshold tadi untuk mendapat biaya operasional sama dengan semua partai lainnya sesuai persentasenya. Kalau berani membatasi begitu, saya pikir jumlah partai paling-paling hanya akan tinggal kisaran 5 saja, dan tidak sembarang orang kaya berani membuat partai baru.
.
Penyatuan Pilpres dan Pileg, perkiraan saya juga memungkinkan terjadi ke mustahilan yang lain lagi, bagaimana jika seandainya suatu partai mengusulkan Capres/Cawapres dan calonnya masuk babak berikutnya, tapi kenyataan partainya tidak lolos electoral treshold? Apa engga runyam kalau itu terjadi? Artinya harus diskualifikasi, padahal bukankah itu sejatinya paslon Capres/Cawapres pilihan rakyat yang sesungguhnya? Jadi jangan paksakan harus bersamaan Pileg dan Pilpres kalau kenyataannya tidak mungkin. Runyam yang lain lagi adalah, bagaimana kalau pemenang pasangan Capresnya ternyata justru dari partai yang sangat gurem, alias partai minoritas? Itu artinya partai tersebut hanya sedikit punya anggota DPR karena blom terjadi koalisi, lalu jika kebijakan presiden selalu ditentang oleh anggota DPR bagaimana pemerintahan bisa berjalan sebagaimana mestinya? Hemmmm ... Politisi kita semakin ngawur kalau menurut kacamata saya, atau saya yang ngawur membuat artikel ini? Maaf kalau gitu. (#SPMCSW, Selasa, 17 Januari 2017)
.
.
Sumber gambar:
Pemilu dan Politik
.
.

No comments:

Post a Comment