(Image source: ekonomi.tvonenews.tv)
Blogspot. Kalau saya tidak salah, Karni Ilyas jabatannya adalah
Pemimpin Redaksi News dan Sports di TVONE. Pada tahun 2012 meraih
Panasonic Gobel Awards kategori "Life Time Achievement". Lalu menjelang
akhir September 2013, Sukarni Ilyas SH, menerima gelar kehormatan Doktor
Honoris Causa (HC) bidang hukum dari Universitas Muhammadiyah Surakarta
(UMS). Dan salah satu alasan pemberian kehormatan tersebut adalah
memiliki OTENTISITAS karya jurnalistik di bidang hukum.
Indonesia Lawyer Club (ILC) adalah salah satu acara TVONE yang populer,
dan pada acara tersebut Karni Ilyas yang merangkap sebagai pembawa
acaranya mendapat gelar kehormatan tambahan sebagai "President" ILC. Dan
saya belum pernah melihat Program Acara ILC tersebut ditayangkan oleh
tipi lain selain TVONE.
Begitu juga dengan program acara Mata Najwa milik METROTV yang juga
sangat populer dan sangat identik dengan Najwa Shihab sebagai pembawa
acaranya yang selalu mengawali dengan ".... sebagai tuan rumah mata
najwa". Padahal dalam hati saya tanya kenapa tidak bilang "....sebagai
nyonya rumah mata najwa" Hehehehe... Dan saya juga belum pernah melihat
Program Acara Mata Najwa tersebut ditayangkan oleh tipi lain selain
METROTV.
Sepertinya hal tayang menayangkan tersebut ada semacam kode etik-nya,
mungkin dianggap sangat tabu kalau harus menayangkan program acara tipi
lain. Atau dianggap sangat memalukan dan juga terkesan mengiklankan
hasil karya jurnalis dari tipi lain dan itu mungkin dianggap sangat
haram. Walau mungkin bisa jadi tidak ada UU-nya. Apakah begitu? Mohon
pencerahannya untuk pembaca yang memahami tentang hal tersebut, TQ.
Lalu pada masa sekarang ini, masa menjelang Pilpres 2014, kita semua
tahu TVONE yang dimiliki oleh ARB juga sebagai Ketum Partai Golkar dan
berkoalisi dengan kubu Prabowo, tentu saja dapat dipahami kalau
pemberitaan-pemberitaannya condong untuk menonjolkan segi positif kubu
Prabowo. Begitu juga dengan METROTV yang dimiliki oleh Surya Paloh juga
sebagai Ketum Partai NASDEM dan mendukung kubu Jokowi, tentu saja dapat
dipahami kalau pemberitaan-pemberitaannya condong untuk menonjolkan segi
positif kubu Jokowi.
Minggu ini beredar kehebohan rekaman wawancara JK tentang penilaiannya
terhadap Jokowi. Saya melihat KOMPAS TV memberitakan tentang adanya
kehebohan wawancara itu, tapi tanpa menayangkan video rekamannya, walau
memang Kompas TV hanya memberitakan secukupnya, tapi menerangkan dengan
jelas kapan video tersebut dibuat dan hanya memberitakan sekali karena
adanya kehebohan tersebut.
Pertanyaan saya adalah, apa yang dilakukan oleh TVONE, selain
menayangkan video wawancara tersebut secara lengkap, juga
ber-ulang-ulang beberapa hari, dan sampai artikel ini akan saya publish
masih sering sekali melihat penggalan-penggalan tayangnya, apakah
rekaman wawancara tersebut hasil karya jurnalis TVONE? Apakah tidak
menyalahi kode etik dan tidak memalukan? Dan saya juga tidak melihat
adanya klarivikasi atas isi berita tersebut terhadap JK, apakah itu
tidak menyalahi kelaziman? Keberpihakan adalah kenicayaan dan itulah
sebabnya dapat dipahami, tapi apakah harus menabrak norma dan
menanggalkan kredibilitas jurnalis itu sendiri? Lalu saya cari data
tentang video tersebut, yang sudah diunggah di youtube
adalah hasil karya "Bisnis Indonesia TV". Mohon maaf kalau salah kutip.
Lalu pertanyaan berikutnya, apakah yang dilakukan di TVONE itu bukan
tanggung jawab Karni Ilyas? Kalau masih menjadi tanggung jawabnya Karni
Ilyas tapi merasa tidak sesuai dengan hati nuraninya, dan untuk tetap
menjaga kredibilitasnya, saran saya adalah Karni Ilyas cuti sementara
dari TVONE seperti Jokowi cuti jadi Gubernur DKI. Artikel ini akan saya ubah atau
hapus jika ternyata saya salah data, dan itulah sebabnya mohon maaf
sebelumnya. (SPMC SW, Mei 2014)
---------------------
.
"PERAMPASAN KAMERA JURNALIS METRO REALITAS DI RUMAH POLONIA"
.
http://t.co/1YVP2O2QMb
.
----------------------
Catatan:
Kalau kemarin dulu saya menulis artikel bahwa di TVONE saya tidak pernah
melihat berita adanya deklarasi dukungan terhadap Jokowi, hari ini saya
mulai melihat adanya berita tersebut. Bisa jadi banyak yang mengkritik
sehingga ada perubahan porsi pemberitaan supaya tampak sedikit lebih
elok. (SW)
No comments:
Post a Comment