Wednesday, May 28, 2014

"GOLKAR DAN PAN BERKHIANAT, PRABOWO KALAH!"

                   (Image source: beritamanado.com)

Blogspot. Dua pasang kandidat peserta Pilpres sudah dinyatakan lulus tes kesehatan dan segera dinyatakan resmi berkompetisi. Biaya tes kesehatan tersebut ± Rp.75 juta per orang. Capres pertama setelah tes kesehatan minum jamu gendong dan memberikan pernyataan tentang adanya tes menggambar untuk sesi psikotes, dan awak media menggodanya dengan pertanyaan "menggambar banteng ya Pak? ....." Hehehehe .......

 

Lalu besoknya, Capres kedua setelah tes kesehatan memberikan pernyataan, berjumpa dengan dokter mantan bawahannya yang melakukan tes kesehatan, dan merasa bangga atas keadaan maupun perlengkapan yang dimiliki RSPAD Gatot Soebroto tidak kalah dengan yang ada di RS-RS Eropa maupun di RS Amerika karena beliau mengatakan pernah melakukan tes di sana. Dan pikiran saya langsung melayang .....lho ... kalau gitu tentang Prabowo di cekal untuk boleh masuk ke Amerika itu hanya gosip saja ya? Atau ....jangan-jangan data yang disampaikan tentang RS itu adalah pengalaman beliau waktu masih jadi Taruna doeloe? Kalau benar begitu .....apa keadaan RS di Amerika tidak sudah berubah ya? Seandainya ada wartawan yang kritis dan tanggap menanyakan hal itu ....pasti penasaran saya akan segera hilang ........sayang tidak ada.
 

KUBU JOKOWI
Diajukan oleh Partai PDIP, menggandeng Cawapres JK, "kerja sama" dengan Partai NASDEM, PKB, HANURA, dan PKPI. Partai pendukung yang tidak solit adalah PKB, ada gerbong Rhoma Irama dan gerbong Mahfud MD yang tidak mengikuti arah partainya, mereka memilih berkoalisi dengan kubu Prabowo. Apakah akan berdampak terhadap perolehan suara kubu Jokowi atas suara yang diharapkan didapat dari gerbong PKB? Pastinya ada, karena terbukti kedua tokoh PKB tersebut juga memiliki masa loyalis tersendiri. Setidaknya mereka juga punya team bukan? Tapi kalau diluar team .....tentu saja sangat tergantung pandangan masyarakat terhadap kedua tokoh tersebut. Dan menurut analisa saya secara keseluruhan, walau juga sudah berusaha senetral mungkin, bisa jadi akan tetap ada aroma tendensius karena mana mungkin menanggalkan interest untuk melepas motif keberpihakan, itulah sebabnya maka mohon maaf atas keseluruhan isi artikel ini. Untuk Rhoma Irama dikalangan menengah keatas justru sudah dianggap selesai, jadi masih ada pengaruhnya untuk kalangan rakyat bawah, tapi karena yang dihadapi adalah Capres Jokowi yang juga merupakan fenomena untuk kalangan bawah, maka gerbong Rhoma Irama menambah plus ± 5 persen terhadap kubu Prabowo.

 

Sedang gerbong Mahfud MD menurut analisa saya, justru efeknya tidak lebih banyak plus-nya. Secara intelektual dan pengalaman pemerintahan maupun kebersihan tokoh, Mahfud MD tentu saja jauh diatas Rhoma Irama. Tapi karena semua orang tahu bahwa Mahfud MD sebelumnya sangat ingin menjadi Cawapres-nya Jokowi, lalu karena tidak terpilih maka berbalik arah mendukung kubu Prabowo, ditambah adanya motif jabatan Menko yang dijanjikan jika Prabowo menang, sungguh itu semua sangat disayangkan. Dan sejujurnya saya tadinya termasuk meng-idola-kan Mahfud MD, setidaknya sangat yakin Mahfud MD juga akan terpilih menjadi salah satu Menteri di kabinet Jokowi kalau misalnya Jokowi yang menang Pilpres. Tapi hidup terkadang memberi pilihan ..... Dan atas semua realitas yang ada, rakyat negeri ini justru kurang terlalu suka dengan apa yang dilakukan Mahfud MD, bisa jadi Mahfud MD hanya berkontribusi ± 2 persen untuk kubu Prabowo.
 

Partai pendukung yang tidak solid lainnya adalah partai HANURA, Hary Tanoe memilih mendukung Prabowo. Kalau Rhoma Irama karena memang jelas tidak suka Jokowi, pada kasus Hary Tanoe saya melihatnya karena yang bersangkutan tidak ingin satu kelompok dengan Surya Paloh. Sedangkan Wiranto secara pribadi ada ganjalan untuk bisa mendukung Prabowo. Itulah sebabnya mereka berpisah. Dan seperti yang sudah sering saya bilang, tidak ada platform atau visi & misi yang tidak bisa disatukan atas partai-partai yang ada di Indonesia ini, yang ada adalah bagaimana hubungan pribadi ketua umum/pendiri partai tersebut. Hitungan kontribusi dari Hary Tanoe sebetulnya lebih susah dikalkulasinya, karena lebih berkaitan dengan promosi media MNC Group seberapa besar akan memberikan dukungan, dan akan sangat berarti untuk menggaet suara kalangan rakyat kelas bawah. Untuk kalangan kelas menengah atas, julukan kutu loncat yang dilakukan Hary Tanoe sangat negatif, dan banyak juga yang justru mempertanyakan "Apa ya maunya Hary Tanoe? Tidak jelas". Tapi setidaknya akan memberi kontribusi suara plus untuk prabowo ± 10 persen. Dengan catatan mengerahkan promosi besar-besaran di tipi-tipinya, dan harus kreatif membuat iklannya, karena bukan tidak mungkin akan jadi bumerang kalau salah mempromosikan.
 

KUBU PRABOWO
Diajukan oleh partai GERINDRA, partai yang didirikan oleh Prabowo sendiri. Menggandeng Cawapres Hatta Radjasa, otomatis koalisi dengan Partai PAN, juga berkoalisi dengan partai PPP, PKS, PBB, dan GOLKAR. Prabowo sangat mengharap partai Demokrat memberi dukungan, tapi karena Rapimnas Partai Demokrat yang diumumkan SBY sendiri memutuskan untuk netral, maka untuk tidak tampak sangat memalukan Demokrat tidak langsung menerima permintaan Prabowo. Sedang dibuatkan jalannya, jadi harap sabar. Diawali dengan pernyataan Prabowo pada saat deklarasi yang menyatakan bahwa akan meneruskan program-program partai Demokrat yang dinilai baik untuk kesejahteraan rakyat, lalu Syarif Hasan dan Ibas jumpa pers, membelokkan gerbong besar Partai Demokrat dengan pernyataan yang seolah-olah merevisi pernyataan Ketum-nya, akan melihat dulu harus koalisi kemana, karena akan koalisi dengan kubu yang akan meneruskan program-program partai Demokrat untuk kesejahteraan rakyat. Lalu Prabowo dalam pernyataannya kepada wartawan akan melanjutkan program-program pemerintah yang bermanfaat untuk rakyat. Jalan sudah diratakan bukan, supaya tidak terkesan menjilat ludah sendiri, juga Gerindra lupa sebelumnya beroposisi terhadap pemerintah. Hehehehehehehe ..... semuanya mengatas namakan demi kebaikan rakyat. Maaf kalau pengamatan saya salah, tapi tentu saja itu adalah pengamatan rakyat, bukan dari sudut partai, apalagi partai yang diamati. Menurut perkiraan saya analisa SBY adalah menjagokan Jokowi, tapi karena PDIP tidak tampak memberi lampu hijau ke Demokrat, bukankah lebih rasioanal kalau Demokrat gabung ke Prabowo? Jadi dari pada sudah pasti jadi oposisi, siapa tahu Prabowo yang menang, setidaknya akan kecipratan jabatan bukan? Sambil mengharap analisa-nya atas kemenangan Jokowi adalah salah.

 

Sekarang ayo kita lihat partai koalisi Prabowo yang tidak solid, pertama sekali adalah PAN. Wanda Hamidah mengatakan menudukung Jokowi karena tidak rela kalau harus mengkhianati hati nurani-nya, yang bersangkutan loyal dengan Hatta Radjasa, tapi tidak bisa menerima Prabowo yang tentu saja sangat diyakini adalah pelanggar HAM berat. Itu hal yang sangat menguntungkan kubu Jokowi, terlebih kalau hal itu bisa sering ditayangkan di tipi, jauh lebih bermanfaat dari pada iklan-iklan yang memang adalah settingan. Dalam kasus Wanda Hamidah, setidaknya Jokowi dapat nilai plus ± 10 persen, jadi jangan lupa untuk selalu memutar ulang tanyangan berita tersebut di tipi-tipi pendukungnya.
 

Lalu Partai Golkar, banyak sekali yang mbalelo ..... Kalau semua itu sering ditampilkan di-tipi-tipi pendukung-nya Jokowi, setidaknya ± 15 persen memberikan nilai plus untuk Jokowi.
 

Kalau ada yang protes, kok pemberian nilai plusnya sangat njomplang, ya mohon maaf, kan ini analisa amatiran, tapi pakai hati. Dan menurut saya, kwalitas nilai yang mablelo pada masing-masing partai sangat beda motivasinya, itulah sebabnya punya nilai yang berbeda. Kalau Rhoma Irama dan Mahfud MD, apa yang dipertaruhkan? Mereka sedang tidak memegang jabatan apa-apa, tapi rakyat melihat mereka sedang memburu jabatan. Sedangkan yang mbalelo dari partai PAN dan Golkar, mereka justru rela dicopot ataupun menanggalkan kedudukannya. Sungguh secara emosional itu sangat jauh sekali bedanya. Dan sekali lagi saya menyayangkan apa yang dilakukan Mahfud MD, karena saya tidak memprediksinya akan melakukan itu, ada beberapa artikel saya sebagai bukti bahwa saya sangat salud atas ketokohan beliau sebelum ini terjadi.
 

Kalau setelah hajatan Pilpres ini selesai, dan ternyata ada tokoh dari partai Golkar yang memperoleh jabatan dari Pemerintahan Jokowi, entah itu sebagai Menteri, Duta Besar atau yang lainnya, saya dapat memahaminya, dan juga maklum kalau Golkar tetap mendapat julukan melakukan politik dua kaki dengan cantik. Tapi sebetulnya juga politik dua kaki karena akibat keberpihakan dengan hati, mereka juga rela di-copot, berarti kalau mereka ternyata mendapat penghargaan ... Bukankah begitu hasil dari pertaruhan? Dan dibalik itu semua .... Karena memang Golkar punya suara yang signifikan di Parlemen sebagai juara 2 bukan? Dan gonjang-ganjing ini-lah yang juga akan mempertaruhkan tatanan jabatan di dalam Partai Golkar sendiri, bukan tidak mungkin akan me-rotasi kepemimpinan didalamnya. Jadi tentang Golkar, kalau Jokowi menang, bukan tidak mungkin justru juga bisa memanfaatkannya. Butuh lihai dan pandai berhitung, walau tidak harus memberinya jabatan Menteri kalau memang tidak ikut berjuang dengan signifikan, dan memberi jabatan lebih dari satu Menteri untuk Golkar justru akan menjadi bumerang. Tapi sebaiknya jangan lupa memastikan untuk tidak memberi jabatan Menteri pada semua pemimpin partai.
 

PENILAIAN AKHIR
Dengan sudah mempertimbangkan semua kenyataan atas semua dukungan yang ada, baik oleh Ahmad Dhani maupun Anang, oleh Slank maupun masih diamnya Iwan Fals. Perbedaan yang tampak nyata adalah rasa emosional. Emosional yang ditampilkan oleh Fadli Zon, Fahri Hamzah, Ali Mochtar Ngabalin, maupun Ahmad Yani, justru langsung padam ketika ditampilkan pernyataan oleh tokoh-tokoh muda Golkar, Luhut Panjaitan mantan atasan Prabowo, dan Wanda Hamidah yang semuanya justru memberi dukungan pada Jokowi.

 

Yang paling kontra produktif untuk kubu Prabowo adalah, Prabowo itu dicitrakan tegas, berani, berwibawa, jujur, ..... Tapi bagaimana menerangkan ke masyarakat tentang ketidak terlibatannya pada kasus Mei 98, kalau memang berani, tegas dan seterusnya itu, pertanyaan yang paling gamblang adalah, kalau memang tidak bersalah kenapa mau dipecat? Apalagi dengan adanya gosip tidak berani datang waktu dipanggil Komnas HAM. Lalu dianggap menghindar dengan tinggal di Jordania. Bukankah itu semua sangat kontra dengan pernyataan ketegasan dan keberaniannya? Seandainya Prabowo berani buka-bukaan, walau harus melibatkan banyak petinggi Negeri ini, pasti banyak yang salud atas Prabowo, seperti kasus Agus Chondro politikus PDIP dalam kasus korupsi cek pelawat atas Miranda Swaray Goeltom. Dan kalau hal itu dilakukan ....... pastinya tidak ada hari ini, keterlibatannya dalam pertandingan Pilpres!
 

Menurut saya pribadi gonjang-ganjing hajatan Pilpres sudah pada titik klimaks-nya, alias sudah dapat ditebak apa yang akan terjadi, dengan skor "sedikitnya" 60 persen untuk kemenangan Jokowi. Semoga yang kalah tidak kalap. Maaf. (SPMC SW, Mei 2014)

No comments:

Post a Comment