Thursday, May 8, 2014

"BANGSA INI SAKIT KRONIS!"



                                      (Image source: m.tam.co.id)

Blogspot. Bupati Bogor dan komplotannya ditangkap KPK, tidak terlalu mengejutkan memang, hanya semakin menegaskan bahwa kita sebagai Bangsa memang sudah betul-betul sakit kronis. Ketika yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi pada kasus Hambalang, lalu konon juga pernah diperiksa sebagai saksi dalam kasus yang lain(?), dan kemudian yang terakhir dijemput KPK. Betul-betul menyiratkan kronisnya penyakit atau justru cenderung kearah “holic”. Kalau seandainya orang waras, atau punya nalar rasional, maka ketika dipanggil KPK dan melihat situasi yang ada disekitarnya, apakah tidak curiga bahwa dirinya sudah ada gelagat “ter-endus”? Itulah sebab saya cenderung mengatakan holic, karena hanya holic yang punya keberanian menyingkirkan logika rasional. Dan teman si holic yang paling dekat adalah “tolol”, tapi memperhatikan jabatan dan kenyataan yang ada (pendidikan dan lain-lain), pastilah bukan karena tolol. KPK juga menetapkan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin sebagai tersangka untuk kasus PDAM, juga sebagai "kado" akhir jabatan seperti kasus BCA terhadap Hadi Purnomo.

Setelah Rudi Rubiandini (SKK MIGAS) diputuskan hukumannya, terlihat di-tipi-tipi gestur dan pernyataan-pernyataan-nya, apakah bukan termasuk kelompok orang “sakit” juga? Ketika dalam persidangan menanya pada Sutan Bhatoegana tentang permintaan uang THR dan dijawab “tidak ingat”, saya sangat percaya bahwa kasus tersebut sebetulnya ada, hanya memang “belum” dapat dibuktikan, tapi seingat saya bukankah Sutan sudah dicekal? Bisa jadi jawaban yang didapat dari Sutan mengilhami Rudi untuk berlaku tolol, atau memang tolol beneran? Pendapat tersebut karena saya cermati pernyataan-pernyataan Rudi Rubiandini, juga semakin saya berkesimpulan memang Bangsa ini sudah kronis sakitnya. Coba renungkan pernyataan-pernyataannya. Yang punya jabatan siapa? Terus kalau misalnya saya sebagai pihak penyuap, apa saya harus menyuap pelatih golf untuk urusan MIGAS? Boleh saja menyalahkan kaki-tangan-nya, tapi apa tidak kebangetan kalau jadi menempatkan dirinya begitu goblok, seolah-olah dirinya yang dimanfaatkan oleh pelatih golf, yang merasa dijerumuskan….. Intelektual-nya memang sangat mumpuni, termasuk tidak banyak orang Negeri ini yang bisa mencapainya, tapi pernyataan-pernyataannya menggambarkan sakit moral kronis. Saya sungguh mengharap KPK naik banding atas keputusan tersebut, apakah sudah?

Begitu juga dengan kasus Hambalang, Sang MENPORA juga merasa bersih, tapi lupa berlogika positif, tiga bersaudara dengan pendidikan yang tergolong hebat, yang termasuk dalam kelompok intelek, sangat disayangkan sang adik yang tidak terjerumus justru ikut menceburkan diri ber-orasi dan menggalang kekuatan untuk coba membodohi masyarakat. Bagaimana mereka bisa menghapus logika kebenaran, kalau tidak ada urusannya dengan uang haram korupsi sang kakak yang Menpora, memang adik-nya layak/wajar menerima kado bermilyar-milyar rupiah pada Ultah-nya? Memang ada hubungan apa adik Menpora dengan pemberi hadiah? Kenapa kalian galang wacana logika ketololan itu? Saya justru tidak melihat untuk pertobatan, tapi mau menjungkir balikkan logika masyarakat, menjangkitkan wabah logika keblinger. Coba bayangkan, kalau seandainya orasi dan “kuliah terbuka” sang adik dianggap sesuatu yang benar, entah kronis level berapa yang akan terjadi pada masyarakat kita, utamanya pejabat-pejabat lain yang akan menganggap yurisprudensi kasus tersebut!?

Itu baru sepintas sudut pandang keatas, masih banyak contoh lain tentang moral para intelektual anak Bangsa ini yang ternyata sakit, begitu banyak para profesor dan kaum pandai lain pernah dan atau masih menghuni hotel prodeo, masihkah kurang contohnya bahwa kita adalah Bangsa yang sakit? Lalu ayo kita coba tengok agak sedikit kebawah, kelompok penerus Bangsa ini dimasa yang akan datang, dan ternyata justru tidak kalah memilukan.

Gosipnya, yang tercatat pada buku harian Emon terungkap korban 120 anak, pelecehan seksual yang dilakukan karena “sebab” Emon juga pernah menjadi korban, bagaimana dengan 120 anak korban Emon dimasa yang akan datang? Bukankah akan menimbulkan luka batin yang menetap? Apakah tidak akan berpotensi pembuat korban untuk anak Bangsa generasi berikut? Kasus Renggo juga contoh yang dapat menggambarkan kepada kita betapa brutalnya nanti penerus generasi Negeri ini. Bagaimana dengan Guru yang menggigit hidung anak murid-nya, walau tampaknya itu berita lucu, tapi percayalah ada “sakit” dibalik itu semua. Ketika mantan pacar disiksa dan dibunuh lalu dibuang dijalan tol, senioritas menyiksa junior hingga tewas. Itu sebagian kecil cerita yang “kebetulan” terungkap, dan beranikah Anda bersepekulasi bahwa memang hanya yang terungkap itu saja? Bagaimana kalau sebaliknya, jangan-jangan yang tidak terungkap lebih banyak dan lebih mengerikan kasus-kasus-nya? Yang banyak orang istilahkan Puncak Gunung Es. Ditambah kasus narkoba yang sudah begitu meluas ….beberapa waktu lagi jangan-jangan cari orang yang tidak kecanduan narkoba akan lebih susah, bukankah begitu yang sudah terjadi dengan norma kejujuran kita? Ketika Ahok dimusuhi banyak orang karena akan menegakkan kejujuran, itu menyiratkan kenyataan bahwa justru kejujuran sudah dianggap budaya yang harus dilawan. Masihkan kita tidak mau mengakui bahwa Bangsa ini sudah sakit kronis?

Masih banyak sekali kasus-kasus yang tentu saja tidak mungkin dikupas disini, karena tentu saja artikel ini tidak akan pernah berakhir. Tapi dari berjuta-juta kasus yang ada, yang menimpa semua strata kehidupan rakyat Negeri ini, saya menyimpulkan bahwa kita adalah Bangsa yang sakit kronis. Jika kita semua tidak mau menyadari bahwa kita adalah Bangsa yang sakit kronis, maka dimasa mendatang akan lebih kronis lagi. Karena dengan tidak berani mengakui, berarti tidak ada penyadaran, dan itu merasa tidak ada yang perlu diubah, padahal kesadaran itulah awal mula kesembuhan walau memang membutuhkan waktu yang sangat panjang, bisa jadi 50 tahun kedepan. Secara kesatuhan sebagai Bangsa, ternyata kita berjalan kearah jurang, walau tampaknya menyenangkan bagi para penikmat kekayaan hasil korupsi yang tidak terungkap. Juga para penikmat kekerasan ; Penikmat paedofilia ; Dan para penikmat penyimpangan lain. Harga yang sangat mahal yang harus kita bayar, tapi bukan hanya dengan uang, butuh waktu dan pengorbanan satu generasi untuk menyiapkan generasi berikutnya yang lebih baik, dan menurut saya itu semua karena kita hanya mementingkan pendidikan intelektual, alpa mendasarinya dangan MORAL. Karena justru moral-lah yang juga mengajarkan kita rasa malu, dan sebagai bukti bahwa kita alpa mendasari moral kepada anak Bangsa, saya melihat profesorpun tampak yakin tidak bersalah ketika dijatuhi hukuman, tapi tidak naik banding, dan benar-benar tidak tampak rasa malu itu. Padahal rasa malu-lah yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya (binatang maksud saya!), itulah pentingnya MORAL sebagai landasan kita sebelum mengenal intelektual yang hebat-hebat yang sangat kita banggakan pada umumnya.

Banyak artikel saya yang menyiratkan kerisauan, itu terjadi karena saya juga termasuk salah satu warga Bangsa yang sakit itu, tapi berusaha menyadarinya sebagai modal awal untuk menginginkan perubahan, dan itu sepertinya akan sia-sia kalau mengingat kata-kata: “Jika hanya ada satu orang diantara gerombolan penyamun, yakinkah dia bukan bagian dari penyamun, atau jangan-jangan dia justru provokatornya?” Ayo kita galakkan perubahan, kita satukan energi untuk melawan arus kebobrok’an dan itu akan sangat berarti dengan dukungan Anda sekalian, mohon VOTE-nya agar dapat kita sampaikan pada penguasa berikutnya untuk lebih memperhatikan kasus ini, dimulainya kasus perbaikan moral Bangsa! (SPMC SW, Mei 2014)

—————————
.
. EMON & RENGGO KORBAN “KLONING EGOIS”
.
http://t.co/WQ4n8CbpVC
.
—————————

No comments:

Post a Comment