(Image source: rimanews.com)
(NIKMAT JABATAN ATAS NAMA RAKYAT)
.
Blogspot. Jabatan adalah kenikmatan tiada tara, sepertinya tak ada yang
menyangkal bukan? Kalau kita perhatikan beberapa tokoh belakangan ini,
justru semuanya meneguhkan hal itu.
Ketika nama Sultan disebut dan diwacanakan oleh Partai Demokrat, saya
secara pribadi sungguh mengharap Sultan tidak merespon yang
“seolah-olah” berkehendak, tapi hal itu tidak tersirat walau Sultan
mengatakan belum pernah dihubungi oleh siapapun tentang hal itu. Lalu
kalau ada yang mempertanyakan kenapa sepertinya saya anti pencalonan
tersebut, saya lebih condong untuk melihat kedalam, dan saya tidak
melihat ada kemungkinan untuk menang dalam pertandingan, bukankah tidak
ada data pegangan untuk itu? Tidak ada satupun lembaga survei yang
menyatakan bahwa Sultan termasuk dalam unggulan kecuali dinomor sekian
yang menyiratkan tidak layak ikut dalam bertanding. Jadi maaf, saya
sebetulnya justru menyayangkan karena berkehendak untuk menjaga citra
Sultan, apalagi itu pun juga baru wacana….bahkan kalau seandainya sudah
dihubungi sekalipun, saya juga tetap mengharap Sultan menolak.
Belajarlah pada sejarah dan pandai membaca situasi yang ada, bukankah
Sultan juga pernah mencalonkan diri dan tidak menang? Ketika Jokowi yang
merupakan kader partai dan di-olok-olok sebagai “boneka”, bagaimana
dengan Sultan seandainya betul dicalonkan? Bukankah Sultan-pun bahkan
juga tidak lagi sebagai kader partai Golkar, pastilah juga bukan kader
partai Demokrat. Sebagai Sultan ….sangat disayangkan kalau harus
mengalami kekalahan berkali-kali yang akan semakin menyiratkan kurang
mampunya memposisikan diri sendiri. Sekali lagi mohon maaf atas
kelancangan ini, kelancangan yang berkehendak menjaga citra.
Sebelum Pak JK juga semakin terus terang mengisyaratkan siap menjadi
RI-2, sudah disiratkan oleh Pak Mahfud MD, belakangan juga ketua KPK
memberi isyarat “semuanya biar kehendak takdir”, dan yang sangat mudah
dibaca juga berkehendak bukan? “SemuaNgarep.com”
Lalu ada Roma Birama yang sepertinya lupa mencantumkan dalam perjanjian
dengan PKB, seandainya dalam perjanjian tersebut Roma menyelipkan
alinea yang intinya “PKB tidak boleh berkoalisi dengan PDIP”, mungkin
saja Roma sekarang belum tentu “gigit jari”. Dan yang semakin blunder,
ketika Roma dan team pendukungnya menyatakan penarikan dukungan, lalu
diikuti acara kecaman terhadap partai yang baru saja dipromosikan.
Padahal itu tidak merubah status apapun terhadap PKB, bahkan bisa jadi
sudah sial justru menuai kesialan yang lain. Memang tidak mudah menjadi
orang bijak bukan? Seandainya pada Pilkada DKI yang lalu Roma tidak
mengumbar syahwat mengecam Jokowi dan menghujat Ahok yang beragama
bukan mayoritas, bisa jadi Roma Birama tidak harus malu dan menolak
dengan anti pati terhadap calon dari PDIP. Apakah Roma tidak paham,
ketika sebelum kampanye Pemilu Legislatif dimulai, PDIP sudah
mengumumkan mencalonkan Jokowi. Lalu mencermati pernyataan Roma yang
tidak akan mau mendampingi Jokowi karena bla-bla-bla, tapi bersedia
mendampingi PDIP seandainya yang maju sebagai Capres adalah Ibu Mega
atau Mbak Puan. Sungguh pernyataan yang tidak mampu untuk menilai
posisi diri sendiri, memang partai yang dikampanyekan jadi juara?
Bagaimana mungkin membuat pernyataan Ibu Mega atau Mbak Puan sebagai
Capres-nya? Apa Ibu Mega disuruh menarik pernyataan dukungan terhadap
Jokowi yang bahkan sudah dibuat dengan tertulis? Saya kok jadi tidak
yakin kalau sebetulnya yang bersangkutan paham tentang berpolitk pada
jajaran atas, pada jajaran leader. Apalagi kalau mencermati pada
pernyataan-pernyataan pada pemilu-pemilu sebelumnya, yang bersangkutan
juga pernah mewacanakan “perempuan” tidak boleh menjadi pemimpin, lho
kok sekarang malah berwacana mau mendampingi Ibu Mega atau Mbak Puan?
Keblinger abis ….. Kartunya dah masuk kotak!
Banyak sekali tokoh yang pada awalnya mencalonkan diri menjadi RI-1,
bersedia menjadi RI-2, yang sudah tampak jelas adalah Hatta Radjasa.
Lalu ARB yang galau, ketika ber-anjangsana ke Gerindra dan hanya
“mendapat” tawaran RI-2, bagaimana mempertanggung jawabkan hal itu kalau
penawaran tersebut harus diterima? Logika keblinger dalam jebakan,
salah menerima tawaran bisa jadi masuk jurang. Bagaimana berlogika
kepada partai dan juga rakyat, ketika pemenang kedua harus menjadi
wakilnya pemenang ketiga? Masih adakah tempat untuk menaruh muka jika
harus menerima penawaran tersebut? Itulah sebab tidak terjadinya
koalisi dengan Gerindra. Lalu ARB coba melobi ke PDIP, dan ternyata
masih menghasilkan kegalauan juga. Sepertinya PDIP “tidak” menawarinya
menjadi RI-2, padahal tentu saja sangat diharapkan, karena logikanya
masuk, sebab PDIP adalah juara pertamanya. Apalagi PDIP mewacanakan
“kerja sama” tanpa syarat, semakin mati kutulah ARB. Lalu ketika ARB
mencoba anjangsana ke Partai Demokrat, ternyata hasilnya sama dengan ke
Partai Gerindra hanya laku sebagai RI-2, lebih jebloknya adalah Demokrat
itu juara empat, semakin galau …. ternyata juara dua hanya diminta
mendukung juara ke-tiga dan ke-empat, untuk sedikit menjaga kehormatan
maka ARB akan mengembalikan mandat kepada kongres Partai Golkar, kalau
sebelum-sebelumnya jika ada suara yang menentang dalam Partai akan
di-cuek-kan saja, bisa jadi nanti akan sangat berbeda …..pasrah!
Dari
pada sudah pasti jadi oposisi, secara prakmatis dan rasional serta tidak
membanting harga diri, sepertinya Golkar akan berspekulasi gabung ke
PDIP. Karena membentuk koalisi sendiri tanpa kesertaan Demokrat, apakah
suaranya masih cukup? Tentu sambil berharap tidak yakin apa yang
dimaksud “tanpa syarat” oleh PDIP itu benar-benar tidak diberi jatah
Menteri? Itulah nikmatnya jabatan yang harus diperjuangkan sampai harus
banyak yang melupakan kepatutan, padahal semuanya selalu
mengatasnamakan demi rakyat, padahal seribu persen adalah demi
kepentingannya sendiri. Tapi secara pribadi, saya berharap ARB tidak
menjadi RI-2-nya Jokowi, semoga kursi yang dimiliki Golkar tidak
menyilaukan PDIP. Maaf. Karena pemilihan Presiden lebih mengutamakan
personal bukan banyaknya suara partai, dan itu juga sudah terbukti pada
Pilkada DKI yang lalu. Dan tidak perlu gentar dengan adanya 3 pasang
kandidat, dari pada menyesal terbelenggu berkoalisi (kerja sama) dengan
“singa bergaya rusa” yang pasti akan merepotkan diri sendiri dikemudian
hari. (SPMC SW, Mei 2014)
( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment