Thursday, May 15, 2014

"TERBUKTI: ARB TERLALU LEMAH BAK NILAI RUPIAH"

(Image source: rimanews.com)

(NIKMAT JABATAN ATAS NAMA RAKYAT)
.
Blogspot. Jabatan adalah kenikmatan tiada tara, sepertinya tak ada yang menyangkal bukan? Kalau kita perhatikan beberapa tokoh belakangan ini, justru semuanya meneguhkan hal itu.
 
Ketika nama Sultan disebut dan diwacanakan oleh Partai Demokrat, saya secara pribadi sungguh mengharap Sultan tidak merespon yang “seolah-olah” berkehendak, tapi hal itu tidak tersirat walau Sultan mengatakan belum pernah dihubungi oleh siapapun tentang hal itu. Lalu kalau ada yang mempertanyakan kenapa sepertinya saya anti pencalonan tersebut, saya lebih condong untuk melihat kedalam, dan saya tidak melihat ada kemungkinan untuk menang dalam pertandingan, bukankah tidak ada data pegangan untuk itu? Tidak ada satupun lembaga survei yang menyatakan bahwa Sultan termasuk dalam unggulan kecuali dinomor sekian yang menyiratkan tidak layak ikut dalam bertanding. Jadi maaf, saya sebetulnya justru menyayangkan karena berkehendak untuk menjaga citra Sultan, apalagi itu pun juga baru wacana….bahkan kalau seandainya sudah dihubungi sekalipun, saya juga tetap mengharap Sultan menolak. Belajarlah pada sejarah dan pandai membaca situasi yang ada, bukankah Sultan juga pernah mencalonkan diri dan tidak menang? Ketika Jokowi yang merupakan kader partai dan di-olok-olok sebagai “boneka”, bagaimana dengan Sultan seandainya betul dicalonkan? Bukankah Sultan-pun bahkan juga tidak lagi sebagai kader partai Golkar, pastilah juga bukan kader partai Demokrat. Sebagai Sultan ….sangat disayangkan kalau harus mengalami kekalahan berkali-kali yang akan semakin menyiratkan kurang mampunya memposisikan diri sendiri. Sekali lagi mohon maaf atas kelancangan ini, kelancangan yang berkehendak menjaga citra.

Sebelum Pak JK juga semakin terus terang mengisyaratkan siap menjadi RI-2, sudah disiratkan oleh Pak Mahfud MD, belakangan juga ketua KPK memberi isyarat “semuanya biar kehendak takdir”, dan yang sangat mudah dibaca juga berkehendak bukan? “SemuaNgarep.com”

Lalu ada Roma Birama yang sepertinya lupa mencantumkan dalam perjanjian dengan PKB, seandainya dalam perjanjian tersebut Roma menyelipkan alinea yang intinya “PKB tidak boleh berkoalisi dengan PDIP”, mungkin saja Roma sekarang belum tentu “gigit jari”. Dan yang semakin blunder, ketika Roma dan team pendukungnya menyatakan penarikan dukungan, lalu diikuti acara kecaman terhadap partai yang baru saja dipromosikan. Padahal itu tidak merubah status apapun terhadap PKB, bahkan bisa jadi sudah sial justru menuai kesialan yang lain. Memang tidak mudah menjadi orang bijak bukan? Seandainya pada Pilkada DKI yang lalu Roma tidak mengumbar syahwat mengecam Jokowi dan menghujat Ahok yang beragama bukan mayoritas, bisa jadi Roma Birama tidak harus malu dan menolak dengan anti pati terhadap calon dari PDIP. Apakah Roma tidak paham, ketika sebelum kampanye Pemilu Legislatif dimulai, PDIP sudah mengumumkan mencalonkan Jokowi. Lalu mencermati pernyataan Roma yang tidak akan mau mendampingi Jokowi karena bla-bla-bla, tapi bersedia mendampingi PDIP seandainya yang maju sebagai Capres adalah Ibu Mega atau Mbak Puan. Sungguh pernyataan yang tidak mampu untuk menilai posisi diri sendiri, memang partai yang dikampanyekan jadi juara? Bagaimana mungkin membuat pernyataan Ibu Mega atau Mbak Puan sebagai Capres-nya? Apa Ibu Mega disuruh menarik pernyataan dukungan terhadap Jokowi yang bahkan sudah dibuat dengan tertulis? Saya kok jadi tidak yakin kalau sebetulnya yang bersangkutan paham tentang berpolitk pada jajaran atas, pada jajaran leader. Apalagi kalau mencermati pada pernyataan-pernyataan pada pemilu-pemilu sebelumnya, yang bersangkutan juga pernah mewacanakan “perempuan” tidak boleh menjadi pemimpin, lho kok sekarang malah berwacana mau mendampingi Ibu Mega atau Mbak Puan? Keblinger abis ….. Kartunya dah masuk kotak!

Banyak sekali tokoh yang pada awalnya mencalonkan diri menjadi RI-1, bersedia menjadi RI-2, yang sudah tampak jelas adalah Hatta Radjasa. Lalu ARB yang galau, ketika ber-anjangsana ke Gerindra dan hanya “mendapat” tawaran RI-2, bagaimana mempertanggung jawabkan hal itu kalau penawaran tersebut harus diterima? Logika keblinger dalam jebakan, salah menerima tawaran bisa jadi masuk jurang. Bagaimana berlogika kepada partai dan juga rakyat, ketika pemenang kedua harus menjadi wakilnya pemenang ketiga? Masih adakah tempat untuk menaruh muka jika harus menerima penawaran tersebut? Itulah sebab tidak terjadinya koalisi dengan Gerindra. Lalu ARB coba melobi ke PDIP, dan ternyata masih menghasilkan kegalauan juga. Sepertinya PDIP “tidak” menawarinya menjadi RI-2, padahal tentu saja sangat diharapkan, karena logikanya masuk, sebab PDIP adalah juara pertamanya.  Apalagi PDIP mewacanakan “kerja sama” tanpa syarat, semakin mati kutulah ARB. Lalu ketika ARB mencoba anjangsana ke Partai Demokrat, ternyata hasilnya sama dengan ke Partai Gerindra hanya laku sebagai RI-2, lebih jebloknya adalah Demokrat itu juara empat, semakin galau …. ternyata juara dua hanya diminta mendukung juara ke-tiga dan ke-empat, untuk sedikit menjaga kehormatan maka ARB akan mengembalikan mandat kepada kongres Partai Golkar, kalau sebelum-sebelumnya jika ada suara yang menentang dalam Partai akan di-cuek-kan saja, bisa jadi nanti akan sangat berbeda …..pasrah! 

Dari pada sudah pasti jadi oposisi, secara prakmatis dan rasional serta tidak membanting harga diri, sepertinya Golkar akan berspekulasi gabung ke PDIP. Karena membentuk koalisi sendiri tanpa kesertaan Demokrat, apakah suaranya masih cukup? Tentu sambil berharap tidak yakin apa yang dimaksud “tanpa syarat” oleh PDIP itu benar-benar tidak diberi jatah Menteri? Itulah nikmatnya jabatan yang harus diperjuangkan sampai harus banyak yang melupakan kepatutan, padahal semuanya selalu mengatasnamakan demi rakyat, padahal seribu persen adalah demi kepentingannya sendiri. Tapi secara pribadi, saya berharap ARB tidak menjadi RI-2-nya Jokowi, semoga kursi yang dimiliki Golkar tidak menyilaukan PDIP. Maaf. Karena pemilihan Presiden lebih mengutamakan personal bukan banyaknya suara partai, dan itu juga sudah terbukti pada Pilkada DKI yang lalu. Dan tidak perlu gentar dengan adanya 3 pasang kandidat, dari pada menyesal terbelenggu berkoalisi (kerja sama) dengan “singa bergaya rusa” yang pasti akan merepotkan diri sendiri dikemudian hari. (SPMC SW, Mei 2014)

No comments:

Post a Comment