(Image source: kaskus.co.id)
Blogspot. Terlalu nyolotnya apa yang dilakukan oleh Ruhut, maaf, banyak sekali
yang menjulukinya sebagai penjilat. Itulah yang pernah saya baca atas
beberapa artikel tentang Ruhut, juga pernyataan-pernyataan pendek di
Twitter maupun Facebook. Pada setiap kesempatan dimanapun jika berbicara
tentang politik, Ruhut selalu mengawalinya dengan mengutarakan
kehebatan Ketua Dewan Pembina-nya yang sekarang sudah merangkap sebagai
Ketua Umum Partai politiknya. Karena hal itu selalu dilakukan, bahkan
pada porsi yang seharusnya tidak pas untuk dilakukan, itulah hal utama
mengapa banyak orang menjuluki Ruhut sebagai penjilat. Lalu
pertanyaannya adalah, apakah Sang Godfather-nya Ruhut tidak mengetahui?
Mengingat durasi dan gamblangnya keadaan, mustahil kalau tidak
mengetahuinya bukan? Jadi ….apakah kalau begitu boleh kita terjemahkan
merestui? Atau setidaknya boleh diterjemahkan “tidak keberatan” bukan?
Padahal apa yang dilakukan Ruhut menurut saya lebih banyak menui negatif
dari pada positif-nya. Hampir apapun kalau “terlalu” selalu
ber-konotasi kurang bagus bukan? Yang dilakukan Ruhut sudah menjurus ke
fanatik sepertinya Sang Godfather sudah dianggap “nabi” saja, dan itu
tentu saja kontra produktif, menimbulkan resistensi terhadap pendegarnya
terutama lawan politiknya. Dan bisa jadi banyak rakyat yang terpancing
untuk ingin membuktikan bahwa “nabi”-nya Ruhut adalah manusia biasa yang
banyak salah-nya juga, tak terkecuali saya.
Ketika seorang Pemimpin membuat slogan anti korupsi, dan ternyata
tokoh-tokoh utama bawahannya banyak yang terlibat korupsi, apakah sang
pemimpin layak mendapat julukan hebat? Beruntung ketika Sutan ditetapkan
sebagai tersangka, Pemilu Legislatif sudah selesai, padahal proses
kerja KPK juga mesih terus berlangsung. Siapa saja kolega Sutan yang
mungkin terseret? Nazaruddin memang sudah menyebut banyak tokoh
terlibat, bukankah banyak nama mantan orang separtainya juga
disebut-sebut? Bagaimana kalau KPK dapat membuktikan? Tentang kasus
e-KTP misalnya, bagaimana kalau ternyata berakhir dengan tersangkut nama
Menteri-nya? Lalu bagaimana dengan kasus Anas, apakah tidak akan
menyeret sejawatnya yang lain? Apakah Andi Mallarangeng hanya terlibat
korupsi dengan adiknya saja, tidak melibatkan teman partainya? Semoga
semua itu tidak menyeret nama Ibas, walau banyak rakyat yang menunggu
jawab keingin tahuannya. Yang paling hot tentu saja penetapan SDA
sebagai tersangka oleh KPK, ngenesnya untuk urusan agama, dan dilakukan
oleh Ketua partai yang lambangnya saja Ka’bah!
Penunjukan Menteri adalah hak prerogatif Presiden, maka ketika
Menteri-nya terlibat Korupsi, setidaknya kita tahu bahwa Sang Presiden
kurang kompeten dalam memilih Menteri bukan?
Lalu …… belum lama ini saya mendengar berita di-tipi tentang Komnas HAM
mengirim surat kepada Presiden untuk membahas masalah tentang
penculikan/kerusuhan Mei ‘98, dan konon surat tersebut dibalas bahwa
Presiden “tidak punya waktu”, sungguh berita yang sangat miris …..
Apakah Presiden tidak tahu bahwa TIAP Kamis ada keluarga korban berdiri
didepan Istana menuntut keadilan? Dan itu sudah dilakukan bertahun-tahun
……. Apakah itu mencerminkan kepedulian terhadap rakyat yang
dipimpinnya? Atau adakah halangan pribadi sehingga kasus yang dituntut
rakyat tidak mungkin dapat diselesaikan? Dan saya tak tega membayangkan,
bagaimana nasib mereka yang “Kamis’an” nanti seandainya Prabowo
penghuni Istananya? Apakah para pembaca dapat memperkirakan yang akan
terjadi?
Ketika ada sekelompok umat melakukan ibadah didepan Istana, padahal umat
tersebut merasa benar secara hukum atas tempat ibadahnya yang ternyata
tidak bisa ditempati, betulkah Presiden tidak bisa “membantu” menegakkan
keadilan itu? Atau apakah meluruskan masalah dianggap mencampuri
penegakan hukum, dan itu tidak boleh dilakukan oleh Presiden? Padahal
konon itu adalah masalah yang sudah berkekuatan hukum tetap. Kalau gitu
untuk apa menunjuk Menteri Hukum dan HAM kalau justru tidak menyiratkan
adanya keadilan bagi masyarakat? Apakah itu tidak justru menyiratkan
ketidak berdayaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan?
Dalam banyak kasus lain yang terlintas dibenak saya, ketidak tegasan
adalah sumber masalah, dan hal itu juga sudah banyak dibicarakan oleh
banyak pengamat politik bukan? Dan seingat saya Presiden juga pernah
membantah atas anggapan tersebut, termasuk disuarakan oleh Ruhut.
Padahal pada kasus Century dan kenaikan BBM, walau tidak menilai benar
atau salah-nya, ketika partai koalisi tidak satu suara di Parlemen,
untuk apa melakukan koalisi? Apalagi dibumbui wacana akan adanya
pemecatan Menteri dari partai koalisi yang tidak mendukung Pemerintah,
tapi tidak berani melakukan itu, dimana nilai ada-nya ketegasan itu?
Masih ada kesempatan untuk melakukan tindakan hebat kalau Pemerintah
mau, robohkan atau tepatnya hilangkan tiang-tiang mercusuar yang sudah
dibangun oleh Malaysia di laut Tanjung Datu - Kalimantan, karena itu
didirikan diwilayah abu-abu, menyalahi perjanjian bukan? Dan rencana
pendirian mercusuar itu bukanlah kecelakaan atau suatu tindakan yang
tidak diketahui oleh Pemerintah Malaysia sendiri, karena yang
terberitakan adalah adanya pengawalan oleh kapal perang Malaysia sewaktu
pelaksanaan pembangunannya. Dan pembangunan mercusuar itu adalah bukti
otentik atas aktivitas Malaysia diwalayah tersebut, dan itu mengingatkan
terlepasnya Sipadan dan Lingitan karena waktu ditinjau oleh pihak
International yang melihat adanya bukti exsistensi Malaysia, maka
Sipadan dan Lingitan diberikan pada Malaysia. Itu semua juga membuktikan
bahwa Negara Tetangga lebih peduli wilayahnya dari pada kita.
Masihkah kurang contoh tentang kurang hebatnya Presiden kita, dan itu
semua terpicu karena Ruhut terlalu “mendewakan”-nya, yang tentu saja
menggelitik orang lain untuk justru membuktikan sebaliknya. Dan memang
begitulah sifat manusia, tak terkecuali saya. Mohon maaf kalau banyak
yang tidak suka.
Kemudian bagaimana kupasannya tentang Jokowi sesuai dengan judul artikel ini.
Saya mengharap Jokowi dapat menarik manfaat dari paparan ketidak puasan
banyak kasus tersebut diatas. Pertama sekali tentu saja jangan memilih
juru bicara atau orang yang mengatasnamakannya seperti Ruhut, tapi
pilihlah orang yang bisa menunjukkan kelemahan Anda. Seandainya Jokowi
terpilih menjadi Presiden nanti, bukan tidak mungkin akan melakukan
kesalahan yang sama, “kerja sama” terhadap partai politik lain tidak
mungkin gratis. Akan ada balas dendam politik di Parlemen kalau ada
peserta kerja sama yang tidak puas, itulah sebab pada artikel saya yang
lain pernah mengupas hal itu dan menyarankan berkoalisi seramping
mungkin dan mengutamakan berkoalisi dengan rakyat saja. Atau setidaknya
berani mengabaikan jatah Menteri untuk partai politik yang punya sangat
sedikit suara kalau memang tidak yakin akan kebersihan dan kompeten-nya
jatah Menteri yang diusulkan. Dan yang tidak kalah pentingnya, semoga
Jokowi berani membuat perjanjian hebat atas Menteri-Menteri yang akan
dipilihnya. Perjanjian tentang dilarangnya saudara / anak / sepupu /
keponakan sang Menteri untuk terlibat bisnis apapun yang berhubungan
dengan kementrian tersebut. Apakah hal itu melanggar HAM? Kalau
perjanjian itu dilakukan diawal dan disetujui oleh calon Menteri, saya
tidak melihat pelanggaran itu, lalu saya teringat kehebatan Pak Hoegeng
mantan Kapolri, dan menyayangkan kasus videotron yang melibatkan anaknya
menteri Syarief Hasan. Dan hal tersebut tentu sangat elok kalau juga
dilakukan oleh Presiden dan Wakil presiden, dan tentu saja harus terus
terang dibicarakan atau dibuat hitam-putih-nya, bukan atas dasar yang
penting TST saja. Dan …. jelas tertulis sanksi-nya, karena dinegeri ini
tidak ada budaya malunya.
Boleh juga hal terakhir itu sebagai bahan janji kampanyenya Jokowi, dan
saya yakin akan ada nilai plus-nya. Semoga hal itu tidak diserobot lawan
politik-nya, karena memang artikel ini ditujukan sesuai dengan
judulnya, dan memang saya persembahkan sebagai sumbang saran untuk
kampanyenya Jokowi. (SPMC SW, Mei 2014)
------------------
.
"GANJANG MALAYSIA!!"
.
http://t.co/QNzA2f8U2h
.
------------------
( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)
No comments:
Post a Comment