Tuesday, November 24, 2015

“MENILAI MANAJEMEN ‘KEBERANIAN’ PRESIDEN”



“MENILAI MANAJEMEN ‘KEBERANIAN’ PRESIDEN”
.
Opini Rasa: (SPMC) Suhindro Wibisono.
.
Satu dua hari ini melihat “lagi” di tipi Pak Presiden Jokowi menghimbau para menteri untuk tidak berpolemik, padahal blom lama juga menyampaikan hal yang serupa. Ketika itu polemik karena kasus Pelindo, Petral, antara menteri RR, SS, RS, sekarang kembali terulang antara menteri RR, SS, LP dalam kasus “papa minta saham”, dan saya tidak ingat apakah sebelumnya juga ada?
.
Saya memang bukan ahli manajemen, tapi hanya mengandalkan logika dan rasa, dan itulah sebab maaf kalau logika dan rasa yang ingin saya utarakan tidak sesuai dengan ilmu manajemen, dan konyolnya, sudah tahu tidak paham kok memaksakan membuat artikel ini, yang penting maafkan saja kalau ternyata hasilnya ngawur ya. Terimakasih kalau berkenan melanjutkan membaca artikel ini.
.
Pak Presiden Jokowi, sebelumnya maafkan saya, karena Pemerintahan yang sekarang sedang berlangsung di NKRI sini, komandannya adalah Bapak. Apapun keadaannya, utamanya tentu saja tentang semua kementrian yang ada, lebih spesifik lagi para menteri yang ada, kalau diibaratkan anggota dari suatu orkestra, akan menghasilkan persembahan yang indah, menarik, mengesankan, mengagumkan itu sangat tergantung dari konduktornya, dan itu diibaratkan Bapak Presiden Jokowi.
.
Orkestra akan sangat berhasil jika konduktornya berani disiplin dan menunjukkan apa-apa yang menyimpang yang dilakukan oleh anggota dari orkestra tersebut, sehingga ketidak harmonisan dalam usaha pengolahan untuk mempersembahkan konser tidak perlu juga dipersembahkan kepada penontonnya, hal itu adalah urusan dapurnya orkestra saja. Begitulah perumpamaannya menurut saya Pak Presiden, maka ketika Bapak menghimbau para menteri untuk tidak saling bersilang pendapat, apakah ada manfaatnya disampaikan ke publik? Era keterbukaan sepertinya memang sekarang adalah waktunya, tapi apakah tidak harus dipilih lagi keterbukaan-keterbukaan apa yang layak dan tidak? Karena kalau saya boleh merasakan, himbauan Bapak untuk agar menteri tidak saling bersilang pendapat, justru kurang baik untuk Bapak sendiri, karena hal itu berkaitan langsung dengan posisi Bapak yang adalah konduktor orkestra yang Bapak adalah pembentuk orkestranya.
.
Menurut saya, keterbuakaan yang terpenting adalah justru antara Bapak dan para menteri itu sendiri. Seandainya ketika bapak mengetahui ada para menteri yang bersilang pendapat, bukankah akan lebih bagus kalau ditegur langsung saja? Kumpulkan contoh bukti pemberitaannya, panggil menteri-menteri yang terlibat, bicarakan terbuka, lalu carikan jalan keluarnya, dan selesaikan langsung, karena kalau dipanggil bersamaan tentu juga akan mengurangi adanya penilaian pilih kasih, pro sana-pro sini. Dan tidak perlu harus di publish, karena memang itu urusan dapur kepemimpinan, semakin banyak diumbar, bukankah menggambarkan bahwa kepemimpinan tidak pada rel yang benar? Rakyat lebih senang melihat hasil atau sajian orkestra yang mengagumkan, tidak terlalu penting proses latihan atau pengarahan oleh konduktorya. Semakin diumbar banyak masalah, sangat mungkin penonton ogah kalau harus membeli karcis untuk melihat pagelaran konsernya, apatis, cuek, atau dianggap tidak beda dengan yang lain-lainnya, yang selama ini pernah ada. Contoh lain mumpung ingat, ketika ada Menko mengutarakan bahwa ada Menteri yang diundang rapat tidak pernah mau datang, kalau kita saja tahu, apakah Konduktor tidak tahu? Lalu apakah hal itu akan didiamkan? Kalau memang Menko tidak berhak mengkoordinasi Menteri yang dimaksud, itulah yang juga perlu dijelaskan, agar rakyat tidak disuguhi tontonan yang justru semuanya itu ada dibawah Bapak sebagai konduktornya.
.
Saya menyadari, keadaan perpolitikan negeri ini tidak memungkinkan Presiden bisa merdeka memilih para menterinya, jangankan Bapak Jokowi yang bukan pemimpin partai, Presiden sebelumnyapun saya pikir juga tidak bisa merdeka memilih para menteri, semuanya pasti mempertimbangan kepentingan banyak hal. Dan saya maklum kalau Bapak juga mendapat banyak titipan harus memilih para menteri dari partai dimana Bapak sebagai membernya, partai koalisi, pendukung, dan banyak pihak yang telah berkontribusi untuk memenangkan kompetisi menjadi RI-1, juga pertimbangan lain agar pemerintahan dapat berjalan sesuai yang Bapak harapkan. Tapi apapun keadaannya, apapun pertimbangannya, apapun kelihaian yang sudah dituangkan, anggota orkestra yang ada adalah dianggap Bapak yang memilihnya, karena memang begitulah aturan mainnya, jadi kalau ada yang mendikte, tentunya yang salah adalah yang mau didekte bukan? Itulah makna hak prerogatif walau tersembunyi banyak kepentingan didalamnya. Dan jadi Pemimpin suatu negara memang tidaklah semudah tampaknya, akan menjadi tekanan ketika keadaan tidak sesuai hati nurani.
.
Saya percaya Bapak Jokowi adalah seorang yang jujur, tahu berbalas budi, tidak suka mencari musuh, semua itu bisa positif dan juga bisa negatif. Tapi menjadi pemimpin justru harus bisa mengolah itu semua menjadi hal-hal yang positif untuk kepemimpinan yang sedang diemban. Koduktor orkestra yang hebat adalah yang bisa memimpin anggotanya yang beragam, yang biasa-biasa saja maupun yang hebat untuk mencapai harmonisasi secara kesatuan dalam orkestra yang dipimpinnya. Itulah dibutuhkan pengawasan dan ketegasan, berani memberi tahu kalau ada anggota yang sudah membuat sumbang, panggil atau temui pemain itu dan beritahukan masalahnya, tidak perlu risih atau merasa tidak enak, karena memang Bapak adalah konduktornya. Maaf kan saya atas kupasan yang sangat mungkin tidak menyenangkan ini, tapi saya termasuk yang dulu mengusulkan agar Bapak dicalonkan menjadi RI-1, dan sampai saat ini masih banyak berharap atas kepemimpinan yang Bapak komandani.
.
Ada lagi yang ingin saya utarakan, kepemimpinan memang adalah banyak dihadapkan oleh pilihan-pilihan, dan dari pilihan-pilihan itulah sejarah akan mencatat apakah pemimpin itu menjadi hebat atau biasa-biasa saja. Selama kepemimpinan itu bersih, membela sebesar-besar kepentingan rakyat banyak, tidak perlu lagi risau apa yang akan terjadi. Jadi kenapa harus takut memilih keberpihakan? Karena memilih atau tidak memilih, itu juga pilihan, tapi keberanian memilih dengan perhitungan yang matang dan berniat baik serta tidak melanggar undang-undang, adalah lebih baik dari pada membiarkannya begitu saja. Bukankah itu memang gunanya ada pemimpin? Yang juga berani menyatakan yang salah adalah salah, dan juga berani menghukum yang salah, agar ketertiban umum terlaksana dengan baik.
.
Contoh yang ingin saya kritisi lainnya adalah, ketika melihat pernyataan Menko LP setelah selesai kunjungan dari Aussie, menyatakan bahwa pelaksanaan hukuman mati jilid 3 akan ditunda,”mereka” senang, karena pemerintah masih ingin konsentrasi pada pembenahan ekonomi. Sungguh saya sempat terhenyak, apa urusannya kalau “mereka” (Aussie) senang? Apakah hal itu tidak bertentangan dengan pernyataan Presiden sebelumnya, yang mandiri dalam hukum dan politik, yang menyatakan jangan ada yang mengintervensi. Terus pernyataan Menko itu apa maknanya? Coba kita telisik lebih dalam alasan ingin membenahi ekonomi terlebih dahulu, karena yang ingin saya tanyakan, bukankah sejak merdeka sampai saat ini, NKRI juga selalu membenahi ekonominya? Kapan kita pernah merdeka dalam bidang ekonomi? Kapan pernah terjadi tidak ada rakyat miskin di negeri ini? Apakah yang melaksanakan hukuman mati juga merangkap yang membenahi masalah ekonomi? Kalau dibilang berkaitan sebab musababnya, itu juga berarti gembong narkoba justru merusak masa depan generasi muda bangsa, dan membuat ekonomi negara akan semakin hancur. Apakah hal itu berarti pelaksanaan hukuman mati untuk gembong narkoba sudah tamat? Kalau memang itu pilihan pemerintah, sebaiknya jangan dibiarkan Pak Komandan (Presiden/Konduktor), beri peryataan yang jelas, agar tidak berkembang wacana bahwa menko lebih berkuasa dari komandannya, atau karena memang Komandan bermaksud meminjam bawahan untuk menyampaikan kepada penonton/rakyat? Itulah contoh pilihan-pilihan kebijakan yang harusnya berani diambil oleh pemimpin, yang akan mencatat namanya dalam sejarah kepemimpinan negeri ini nantinya. Maaf kalau saya sudah menabrak norma-norma kepatutan, karena kalau saya teruskan “nyinyir” saya, pembacanya mungkin akan semakin eneg. Maaf. (SPMC SW, Selasa, 24 Nopember 2015.)
.
.
Sumber gambar:
alfrizodewa.blogspot .com.

No comments:

Post a Comment