Monday, December 21, 2015

“SILSILAH ‘KRONI’ ALLAH”



“SILSILAH ‘KRONI’ ALLAH”
.
Opini Logika Sensi: (SPMC) Suhindro Wibisono​.
.
.
Kalau misal ada Bapak namanya Tuhan, dan Tuhan punya 6 orang anak, dan mereka diberi nama:

Kepercayaan ; Hindu ; Buddha ; Katolik ; Kristen ; Islam, lalu ke 6 anakNya tersebut mempunyai anak-anak juga, “misalnya”:
.
KEPERCAYAAN memiliki anak:
Jolelono Lono ; Tardjo Binangun ; Teng Sing Hie ; Adhyatmo ; Murti ; Marwah ; Ki Ageng ; Abimanyu ; .....
.
HINDU memiliki anak:
Pande Putu ; Kuncoro ; Suro Dimojo ; I Ketut Gede Warse ; Darmini ; Tanuri Kamis ;  ....
.
BUDDHA memiliki anak:
Suanto Husada ; Suharyo Kusuma ; Go Su Meng ; Muchtar Suhardi ; Lindaningsih ; Kwik Kian Gie ; ....
.
KATOLIK memiliki anak:
Ratna Mursini ; Albert Cahyanto ; Julita ; Alijan ; Mariana ; Johanna ; Sugiharto Wicaksono ;  ...
.
KRISTEN memiliki anak:
Welliam ; Jason Liong ; Hardjindro ; Paulus Tarsus ; Nely SKK ; Elen Soegi ; Riana ; Hilda ; ....
.
ISLAM memiliki anak:
Zagita Arca ; Nugroho Iman Santoso ; Muhammad Isbandy ; Asmaniar Asnif ; Rullie Setiawan; Agus Jumadi ; Ahmad Sofian ; Afiza Lubis Butet ; Awi Zhang ; Kiagus Antonius ; Castra Sukandar ; .....
.
“ANDAI” . . . . . , anak ISLAM berantem dengan anak KRISTEN, anak KATOLIK berantem dengan anak KRISTEN, anak BUDDHA berantem dengan anak HINDU, anak KEPERCAYAAN berantem dengan anak ISLAM, anak ISLAM berantem dengan saudaranya sendiri, anak KATOLIK berantem dengan saudaranya sendiri, dan seterusnya semua saling silang dengan berbagai kemungkinan dengan anak siapa mereka berantem, SIAPA YANG PALING BERSALAH?
.
Apakah yang bersalah ...
TUHAN?
KEPERCAYAAN?
HINDU?
BUDDHA?
KATOLIK?
KRISTEN?
ISLAM?

Menurut saya, yang paling bersalah adalah ke 6 anak TUHAN itu, karena itulah bukti bahwa mereka tidak bisa mendidik anak-anaknya sendiri.
.
Betul ada yang mengatakan isi atau cara pengajaran adalah salah satu tolok ukur, justru itulah kenapa tidak mencermati lagi kurikulumnya? Apakah betul kurikulum yang ditulis oleh semua anak Tuhan itu sesuai dengan petunjuk Tuhan yang memang adalah satu-satunya Bapak dari ke 6 anakNya tersebut? Apa mungkin Bapak ke 6 anak tidak menginginkan anak-anakNya baik semua, cucu-cucuNya sukses semua, rukun semua, bahagia semua? RENUNGKANLAH ....
.
Sekarang, ketika Tuhan sudah tidak ikut cawe-cawe lagi, sudah tidak memberi wejangan-wejangan lagi kepada ke 6 anakNya, kenapa tidak mengingat satu kata kunci keseragaman yang pernah diutarakan oleh Tuhan untuk 6 anakNya? Bukankah Tuhan mengutamakan KASIH? Dan itulah kata kunci yang seharusnya digunakan oleh ke 6 anakNya untuk mengoreksi kurikulum ajarannya masing-masing apakah ada yang keluar dari KASIH? Bukankah dalil KASIH itu yang memungkinkan keiginan TUHAN terlaksana yang justru demi kenyamanan semua manusia?
.
Jadi apakah tidak malu mengatakan paling baik kurikulumnya kalau menghasilkan lebih banyak anak didiknya yang berantem apalagi saling cakar-cakaran sesama saudara kandung seimannya? Sisirlah semua kurikulum kalian, karena memang kalian masing-masinglah yang pada awalnya menuliskan kurikulum kalian masing-masing itu. Kalau kalian anggap kurikulum itu murni seratus persen dari Tuhan, apakah mungkin kurikulumnya jadi berlainan? Atau karena sudah tahu Tuhan tidak mau ditanya lagi, maka kalian mengatasnamakan kurikulum itu hasil karya Tuhan? Apakah itu tidak kebangetan? Apakah bermaksud berlindung dibalik nama Tuhan untuk semua kurikulum yang walaupun itu berpotensi menimbulkan pertikaian? Apa mungkin Tuhan bermaksud mengadu domba anak cucunya sendiri? Ayolah berlogika waras dengan landasan KASIH untuk semua kurikulum pelajaran kita masing-masing. Kalau kalian tidak berani dan tidak boleh merubah kurikulum yang sudah tidak layak lagi untuk ukuran saat ini, setidaknya jangan diumbar-umbar dan diajarkan lagi, karena memang tujuan akhir ajaran adalah memanusiakan manusia agar dapat bersosialisasi kepada manusia lainnya yang dalam penggambaran artikel ini layaknya saudara dan saudara sepupu sendiri, dan semua itu dibawah naungan Tuhan sebagai GOD FATHER-nya. Kita semua sebetulnya satu darah silsilah, marga kita sama kalau kalian mau mengingat Tuhan dan menyadari silsilah yang saya gambarkan dalam artikel ini. Kenapa ada diantara kalian yang justru tidak mau disamakan Tuhannya? Jadi apakah kalian memang bukan dari silsilah yang saya wacanakan? Yakin kalian tidak tersesat? MENYEDIHKAN ...
.
Contoh ketika ada ayat yang menggambarkan persetubuhan anak dan bapak, antar saudara, dan semacamnya yang menurut kalian sangat tidak layak. Walau memang itu ada tertulis, apakah layak dianggap bahwa itu adalah kurikulum yang juga pasti diajarkan? Kenapa tidak berpikir bahwa kalau hal kejadian itu tidak pernah ada, apakah Anda dan saya menjadi sudah ada saat ini? Ingat, karena kita percaya bahwa awal dari kita adalah hanya Adam dan Hawa. Perkembangan dan tuntutan zamanlah yang membuat saat ini kita menilai bahwa itu adalah hal yang sangat mengerikan, biadab, bahkan layaknya binatang, tapi itu tetap tertulis walau saya yakin bukan merupakan kurikulum yang diajarkan. Keberanian meminggirkan kurikulum semacam itulah yang harus dilakukan pada semua “sekolahan” yang ada, itulah opini saya kalau memang ingin membuat ketentraman bersama, dan KASIH adalah kunci utama untuk menyisir seluruh isi kurikulum untuk di afkir atau setidaknya di parkir di gudang sejarah jika ada kurikulum yang bertentangan dengan kemanusiaan dan utamanya KASIH, karena bukankah TUHAN sendiri Maha Pengasih dan Maha Penyayang, apakah masuk akal kalau mengamini kurikulum sekolah-sekolah anak cucunya berisi saling bermusuhan?
.
Kalau ada diantara kalian yang berpikir untuk menyatukan hanya akan ada satu sekolahan, dan pemikiran itu dihasilkan dari kurikulum pelajaran yang kalian ikuti, jelas kurikulum kalian layak dikoreksi lagi untuk dipilah mana yang masih layak diaktifkan dan mana yang sudah layak dianggap sebagai sejarah. Karena kita sekolah disekolah tertentu atau memilih tempat sekolah itu berdasarkan “rasa”, rasa suka, rasa sesuai, rasa sreg, rasa yakin, rasa ingin, rasa setuju, rasa tidak dipaksa, rasa tidak diintimidasi, rasa tentram, rasa nyaman, rasa benar, rasa tidak sesat, rasa sesuai bakat, rasa cinta, ..... Bahkan jika ada yang tidak sekolah sekalipun, lambat laun akan diamini juga seperti yang terjadi di negara-negara maju sana, dan di negeri ini sangat mungkin juga sudah terjadi, contohnya adalah di KTPnya tertulis bersekolah  disekolah A, B, C, D, E, F, .... tapi kenyataannya tidak pernah pergi bersekolah disekolahnya. Atau kalau mau contoh extrim, karena semua sekolah memang tidak pernah mengadakan ujian, apalagi mungkin semua sekolah lebih mengutamakan jumlah siswa, tak terhitung banyaknya siswa-siswa yang hanya datang kesekolah hanya sekedar ikut pelajaran ritual tanpa makna. Atau mungkin masuk sekolahnya setahun sekali atau dua kali saja. Bukankah memang tidak bisa dinilai hati dan pemikiran semua siswa?
.
Mana yang lebih baik mengaku beragama paling baik di dunia tapi berkelakuan biadab, dibandingkan dengan yang tidak beragama tapi penuh dengan welas asih dan suka menolong sesama manusia? Kalau Anda menjawab lebih baik beragama dan punya welas asih serta suka menolong sesama manusia, jelas Anda tidak paham pertanyaannya ..... hehehehehe ... karena kondisi ideal tidak perlu dimasalahkan bukan? Kalau mengacu HAM, lalu ditambah banyaknya contoh yang mengenaskan akan hasil didikan dari sekolah tertentu, di negeri ini bukan tidak mungkin lambat laun akan banyak yang terdaftar sekolah, tapi kenyataannya tidak pernah bersekolah, lalu apakah pilihan itu menjadi salah? Bukankah tujuan bersekolah adalah memanusiakan manusia, tapi kalau bersekolah justru menghasilkan hasil didiknya tidak bisa berhubungan dengan sesama manusia lainnya diluar teman sekolahnya, untuk apa lagi bersekolah disekolah semacam itu? Andai yayasan yang menaungi sekolah itu segera menyadari keadaan, yang sangat mungkin lupa mendidik guru-guru yang dimilikinya sebelum guru-guru itu sendiri mendidik murid-muridnya, saya kok yakin hasil didiknya justru akan lebih baik. Jangan lupa mengutamakan KASIH juga ketika mendidik guru-guru tersebut.
.
Karena mungkin ada yang belum menyadari bahwa semakin banyak manusia yang pendidikan sekolah formalnya semakin tinggi , ditambah perkembangan teknologi yang semakin canggih, itu mengakibatkan semakin banyak pula manusia berlogika secara rasional, dan hal itu mau atau tidak akan mendegradasi  kepercayaan kepada agama. Dan pegangan paling kuat mereka adalah HAM, dan itupun rasional bukan? Tapi apakah lambat laun “sekolah-sekolah” itu akan hilang? (Jangan lupa dalam bahasan ini agama saya ibaratkan sebagai sekolah lho.) Saya yakin kok tidak, bukankah saat ini disemua sekolah juga sangat banyak muridnya yang telah berpendidikan formal sangat tinggi dan mumpuni? Semakin banyak orang-orang berpendidikan tinggi ikut masuk kesekolah tertentu, percayalah itu akan berdampak positif untuk semuanya, “untuk semuanya” maksud saya adalah juga untuk yang tidak bersekolah disekolah itu. Karena tentu saja mereka akan lebih bisa mengerti jika terjadi diskusi lintas “sekolah” untuk lebih mengedepankan logika rasional untuk menemukan titik temu yang lebih masuk akal. Dan mereka-merekalah yang juga akan merubah peradapan dari dalam walau hanya secara perlahan. Extrimisme, ketidak setaraan gender, dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan HAM akan berubah, itupun kalau mereka tidak terjebak untuk menikmati kenikmatan yang menguntungkan pribadinya. Contohnya adalah, ketika ada yang pindah sekolah demi agar boleh menikmati punya istri lebih banyak, apa yang bisa kita harapkan untuk perubahan dari yang bersangkutan? Maaf, jangan marah karena terlalu sensi ya. (SPMC SW, Sabtu, 19 Desember 2015 )
.
.
Sumber gambar:
viaimoodh.blogspot .com

No comments:

Post a Comment