Wednesday, December 16, 2015

MENYADAP ETIKA MAKELAR



MENYADAP ETIKA MAKELAR
.
Opini Wacana: (SPMC) Suhindro Wibisono.
.
Sadap menyadap pembicaraan diributkan untuk mengadili sidang etika, sebetulnya mereka mau menyingkap pelanggaran etika atau mengadili kasus pidana? Pelapor adanya pelanggaran etika justru diadili layaknya pesakitan, bukankah MKD diadakan untuk mengadili anggotanya, apakah lupa bahwa pengadu bukan anggota? Kalau memang pengadu mengada-ada yang tidak ada, kenapa tidak dilaporkan saja ke-kepolisian sebagai pencemaran nama baik? MKD mempermasalahkan keaslian bahan buktinya, kalau meragukan bahwa kejadian tersebut itu ada, kenapa tidak dipertemukan saja mereka yang terlibat? Atau mintakan saja penilaian antara transkrip dan rekaman asli yang ada di kejaksaan, mintakan penilaian secara resmi, kalau transkrip salah, silahkan seret pengadu kewilayah pencemaran nama baik dan fitnah. Itulah rasionalitas, apakah para Yang Mulia mau membodohi rakyat yang kalian wakili?
.
Mencermati sidang MKD oleh 17 hakim dengan sebutan “Yang Mulia”, tapi ternyata justru para yang mulia sendiri tidak paham tentang etika, saya jadi paham kenapa yang mulia tidak ada yang merasa malu? Sangat lucu dan memang menggelikan ketika sidang etika mempermasalahkan rekaman pertemuan adalah hasil sadapan, rupanya para Yang Mulia bingung dan tidak bisa membedakan mengadili etika, pidana, perdata, pencurian, susila, ....
.
Sepertinya para Yang Mulia tidak paham benar apa makna merekam atau menyadap pembicaraan, dan itu sungguh memprihatinkan. Pendapat saya tentang menyadap pembicaraan dan tidak sah adalah jika penyadapan itu dilakukan oleh yang tidak berwenang dan atau DILAKUKAN OLEH MEREKA YANG “TIDAK” TERLIBAT DALAM PEMBICARAAN YANG DISADAP. Kalau yang melakukan perekaman adalah yang terlibat pembicaraan itu sendiri, kenapa itu dianggap menyadap dan tidak sah? Menurut saya, itu adalah bagian dari pembuktian untuk memperkuat pernyataannya yang agar tidak dianggap mengada-ada. Dan bukankah makna dari MENYADAP pembicaraan adalah “MENCURI” dengar? Lalu kalau yang merekam adalah juga yang terlibat berbicara, apakah ada unsur mencuri dengar? Apakah para Yang Mulia tidak bermaksud mempermalukan diri sendiri?
.
Sadap menyadap, apa bedanya dengan fungsi CCTV? Kalau tidak merasa bersalah kenapa harus takut dianggap bermasalah? Apakah para Yang Mulia bermaksud menghalalkan perbuatan haram asal tidak ketahuan? Apakah para Yang Mulia bermaksud melindungi sejawat walau yang bersangkutan tidak beretika? Salahkah rakyat membaca bahwa para Yang Mulia yang dianggap dapat menegakkan etika justru berlaku seperti badut? Atau apakah sejatinya semua wakil rakyat (anggota DPR) adalah para badut? Apakah itupula sebabnya kalian ingin membrangus kewenangan penyadapan oleh KPK agar para perampok uang rakyat dapat selamat? Sudah sedemikian bobrokkah etika para wakil rakyat? DPR itu sejatinya Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perampok Rayat?
.
Kalau mau mencarikan jalan keluar agar DPR lebih waras, saran saya adalah berikan wadah bagi para pemain bebas sesuai nurani masing-masing anggota dewan yang berani menentang para ketua partainya, karena ketika anggota partai kampanye untuk memperebutkan kursi DPR mereka pakai dana sendiri, tentunya akan takut di recall atau dipecat oleh partainya jika berani melawan suara partai, padahal suara partai itu identik suara Ketua Umumnya. WADAH yang saya maksud adalah, aturan main (UU) agar anggota DPR tidak bisa dicopot oleh partainya, karena memang anggota DPR terpilih adalah mewakili rakyat pemilihnya, bukan mewakili partainya secara langsung, partai hanyalah kendaraan atau baju sebagai syarat untuk bisa maju ikut kompetisi, tapi rakyat yang memilihnya percaya kepada yang bersangkutan bukan utama kepada partainya. Jadi kalau ada masalah terhadap anggota DPR yang bukan karena melanggar hukum, maka anggota DPR tersebut tidak bisa direcall/dipecat oleh partainya, yang bisa adalah anggota DPR tersebut dipecat sebagai anggota partai, dan kalau itu terjadi, maka anggota partai tersebut masuk ke WADAH Fraksi Sementara yang saya maksud, jadi Wadah Fraksi Sementara di DPR bertujuan menampung semua anggota DPR yang dipecat oleh partainya sampai masa keanggotaan DPR berakhir, dan semua anggota DPR yang masuk di Wadah Fraksi Sementara tersebut tidak boleh menjadi anggota partai lain selain kembali kepartai asalnya. Dan kalau ternyata anggota DPR banyak yang masuk ke WADAH tersebut, mereka bisa membentuk Fraksi Sementara tersendiri, memilih pemimpin Fraksi Sementara, dan sebagainya. Saya yakin kalau hal itu terjadi, anggota DPR justru akan lebih berani memperjuangkan suara rakyat, lebih independen, lebih banyak yang vokal dan tidak asal membebek partainya saja. (SPMC SW, Selasa, 15 Desember 2015)
.
.
CATATAN:
Artikel kemarin yang sudah hampir kedaluwarsa karena sekarang sudah dibacakan keputusan tentang kasus “Papa Minta Saham”, saya menyayangkan kalau akhirnya nanti ternyata yang diputuskan adalah “Pelanggaran Berat”, karena hal itu masih akan ada drama yang cukup panjang, lebih praktis kalau “Pelanggaran Sedang” saja, karena pelanggaran sedang sudah cukup untuk membuat SN dicopot sebagai Ketua Dewan, dan itu sudah cukup mempermalukan yang secara otomatis akan kelimpungan sendiri sebagai anggota dewan. Pelanggaran berat mengharuskan MKD membentuk sidang panel ad hoc untuk menentukan apakah SN juga bisa dicopot sebagai anggota DPR? Yang padahal menurut saya tidak terlalu penting lagi selain juga proses terlalu panjang, selain juga lusa DPR akan reses. Semakin meyakinkan bahwa MKD memang sedang bermain politik walau dalam sidang etik. NGENES.
.
Jadi kalau selama ini melihat wakil ketua DPR (pimpinan) yang lain membela mati-matian Ketuanya, walau terkesan sangat memalukan dan memang tidak punya malu, maklumi saja, "mungkin" takut akan ikut tergusur kalau ternyata pimpinan DPR adalah merupakan paket dan ada kemungkinan harus dikocok ulang. Dan drama pencopotan anggota MKD adalah juga termasuk dramatisasi permainan politik kepentingan yang sebodo amat dengan etika kepatutan, hanya sebagai tambahan bukti tidak ada yang peduli pada rakyat yang katanya diwakili. (SW, 16/12/2015)
.
.

Sumber gambar:
www.kompasiana .com

No comments:

Post a Comment