Friday, July 11, 2014

"DUA PRESIDEN NEGERI PELAWAK, SIAPA SUTRADARA BADUTNYA??"



                     (Image source: tempo.co)

Blogspot. Kedua Capres memploklamirkan kemenangan dengan berpegang hasil quick count masing-masing. Apa yang salah dengan hal itu? Sepertinya memang tidak ada yang salah, jalan terbaik memang menuggu pengumuman resmi KPU yang akan diumumkan tanggal 22 Juli 2014. Dan …..akan sangat rawan kalau ternyata hasilnya tidak sesuai praduga banyak orang, itulah sebabnya menurut analisa saya, sebaiknya KPU bertindak adil, dan semua tokoh bahkan kedua Capres maupun tim sukses masing-masing kubu juga sudah menyerukan hal itu, memohon KPU adil dan tidak mudah diprovokasi, tidak curang, tidak memihak, dan lain-lain yang intinya seperti itu.

Pada banyak kasus, yang masih hangat berkaca pada kasus AM mantan ketua MK, sebaiknya KPU tidak lupa bahwa pada kali ini betul-betul dibutuhkan “extra adil” dalam rekapitulasi penghitungan suara hasil pemungutan suara. Karena sering kali kita semua lupa dan merasa sudah adil, padahal adil itu adalah dapat diverifikasi atas keadilan yang sudah dilakukan. Harus ada tolok ukurnya. Dalam kasus kedua Capres sudah klaim menang, maka siapapun yang akan dinyatakan menang oleh KPU, maka pihak yang dikalahkan besar kemungkinan akan protes atau menuntut dijalur hukum, dan hal itu masih boleh dilakukan, tapi bagaimana kalau ada yang memprovokasi sehingga terjadi bentrok di akar rumput yang biasanya sangat mudah diadu domba?

Itulah sebabnya saya katakan KPU harus “extra adil”, dan hal itu bisa dilakukan jika KPU tidak melupakan ilmu manajemen yang benar. Contoh kongkritnya adalah, pada “setiap tahapan rekapitulasi penghitungan suara yang akan dilakukan”, bahkan untuk memulai buka kotak suara sekalipun, jangan lupa menyertakan saksi dari kedua kubu Capres, jangan dimulai sebelum saksi kedua kubu hadir karena hal itu rawan fitnah. Dan memang keadilan secara menajeman adalah keadilan yang harus bisa dibuktikan, bukan hanya disuarakan, apa lagi ditereakkan: “Percayalah saya, karena saya orang yang adil!” Bukankah begitu yang tejadi pada banyak kasus di MK, keadilannya sering kali tidak dapat dibuktikan dan itu sangat rawan untuk diselewengkan oleh oknum bukan? Walau “seandainya” KPU diberi kewenangan oleh UU untuk boleh melakukan tahapan rekapitulasi sendiri, tapi karena adanya dua klaim ini, dan kenyataan yang ada selisih perolehan suara dintara keduanya tidak terlalu jauh berbeda, sebaiknya KPU tidak menggunakan kewenangan tersebut. Karenanya KPU wajib tidak melupakan membuat daftar hadir saksi-saksi yang memang sah yang mewakili kubu masing-masing Capres dan didokumentasi dengan baik sebagai bukti telah berlaku adil. Terlebih lagi saat ini hampir semua HP ada fasilitas kamera-nya, maka jangan lupa foto bersama sebelum melakukan aktivitas. Percayalah hal yang sepertinya sepele tersebut sangat berguna menepis gugatan ketidak adilan nantinya.

Terlepas dari itu semua, mencermati pernyataan Hanta Yuda pendiri Poltracking lembaga yang melakukan quick count dan beberapa hari sebelumnya sudah diiklankan oleh suatu tipi yang akan melakukan publikasi hasil quick count-nya, tapi setelah hari H-nya, pihak tipi secara sepihak membatalkan perjanjian tersebut, dan mengganti dengan 3 lembaga survei lain yang semua ternyata memenangkan pasangan Prabowo-Hatta, apapun pembenaran alasan tersebut, percayalah hal itu menabrak norma-norma kepatutan, terlebih lagi tipi tersebut tidak mengklarifikasi apa sebenarnya yang terjadi. Sudah terlalu banyak blunder yang dilakukan oleh tipi tersebut, termasuk berita penolakan kehadiran Fadjroel Rachman dalam acara debat yang diadakan tipi tersebut, padahal yang bersangkutan mewakili kubu Jokowi-JK secara resmi.

Terlalu banyak hal yang sudah dilakukan oleh kubu Prabowo-Hatta yang sebetulnya justru kontra produktif, termasuk pernah saya dengar perlakuan kurang patut terhadap jurnalis-jurnalis karena menganggap tidak memihaknya. Sungguh itu semua strategi yang kurang cerdas, kalau memang berita baik, kenyataan baik, kenapa harus takut dengan jurnalis yang dianggap tidak memihak? Bukankah itu kesempatan untuk mengiklankan kebaikan dengan gratis? Lalu kalau ada pernyataan begitu, kubu Prabowo-Hatta langsung menanggapinya: “METRO TV juga melakukan begitu”. Kenyataan bahwa Metro TV memihak kubu Jokowi-JK memang iya dan tidak bisa dibantah, tapi nuansanya berbeda dengan cara-cara yang dilakukan oleh TVONE, lalu dibantah lagi, yang menilai pro Jokowi ya tentu saja begitu. Jadi debat-kusir yang tidak ada habisnya bukan? Dan untuk menguatkan logika saya, kenyataannya kemarin harga saham TVONE dan MNC group mengalami penurunan harga karena sentimen negatif tersebut.

Cobalah kita telisik lebih dalam lagi, siapa pemilik atau aktor utama lembaga-lembaga survei LSN ; JSI ; PUSKAPTIS ; IRC yang semuanya memenangkan kubu Prabowo-Hatta. Pasti akan disanggah, memang kalau punya sendiri pasti tidak betul? Bukankah itu juga debat-kusir yang tidak berujung?

Mencermati Tim Sukses kubu Prabowo juga terdapat banyak orang hebat, banyak yang bergelar Profesor, Doktor, Master dan lain-lain ….. Bahkan yang memimpin tim sukses adalah Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., S.U. yang dulu terkenal dengan kredibilitasnya, rasanya tidak percaya kalau semua ini terjadi.

Menurut saya yang sangat awam dalam politik dan juga survei atau tetek-bengek lainnya, maka ketika ada lembaga survei yang begitu banyak dan gencar ditayangkan oleh TVONE sebelum pemungutan suara dilakukan dan semua itu memenangkan Capres Prabowo-Hatta, walau tampak aneh tapi saya masih bisa memahami itu adalah strategi kampanye untuk penggiringan masa, atau mencoba menarik masa yang masih mengambang. Tapi kalau strategi yang sama dilakukan untuk Quick Count, saya rasa itu adalah nalar yang kebablasan. Apa maksud dan tujuannya? Bukankah Quick Count bertujuan memprediksi penghitungan suara supaya mengetahui lebih cepat tentang hasil yang akan diumumkan? Datanya adalah sesuatu yang pasti, sedangkan suvei untuk menerka keinginan masa yang rentan berubah karena banyak faktor. Dan berdasarkan sejarah kenyataan yang ada, hasil dari quick count tidak pernah ada yang bertolak belakang antara quick count yang satu terhadap quick count yang dilakukan oleh lembaga lain. Karena dasarnya sama, datanya sama, metodenya sama, jadi yang menentukan adalah nurani kejujuran.

Yang sangat saya sayangkan adalah, ketika Kubu Prabowo-Hatta klaim kemenangan berdasarkan hasil quick count lembaga survei yang memihaknya dan yang hanya ditayangkan oleh tipi pendukungnya, padahal ada total 12 lembaga survei yang melakukan quick count. Bukankah sangat lucu kalau itu dilakukan, kenapa tidak mengambil hasil quick count dari lembaga yang netral? Atau meyakini bahwa 8 lembaga lain selain dari pihaknya adalah pasti memihak kubu Jokowi-JK? Kalau tidak percaya dengan hasil quick count Litbang Kompas, kenapa tidak ambil quick count CSIS, kalau toh juga tidak percaya, bukankah ada quick count RRI? Nalar yang menimbulkan tanda tanya, apakah itu semua karena kalap terobsesi kemenangan walau bagaimanapun caranya? Padahal lebih elegan kalau tidak menyatakan sebagai pemenang, tapi belum bisa mengakui kemenangan kubu lain. Yang terjadi sekarang adalah, menyusahkan apapun keputusan yang akan diterbitkan oleh KPU, juga rakyat mencurigai akan melakukan kecurangan, lalu rakyat yang bernalar pendek takutnya tersulut karena geram dengan kenyataan, dan itu sudah ada buktinya, baru saja saya lihat berita ada pelemparan bom molotov di kantor JSI, salah satu lembaga survei yang melakukan quick count yang memihak Prabowo-Hatta. Berharap tidak ada lagi rakyat yang terprovokasi, dan aparat keamanan sigap mengambil sikap, jangan biarkan anarkis oleh siapapun.

Seperti bertanding bola yang maunya diwasiti sendiri, sungguh itu sangat bluder, dan saya masih bingung memahami ketua tim sukses Mahfud MD yang justru dalam pidatonya ikut klaim kemenangan tersebut. Pak Mahfud sepertinya sedang terbius obsesi kemenangan, sampai lupa menanyakan hati nurani, pertanyaan saya adalah, seandainya posisinya dibalik, Kubu Jokowi yang melakukan apa yang sedang beliau lakukan sekarang, bagaimana akan me-respon? Dan yang saya khawatirkan adalah, kalau sampai terjadi bentrok di akar rumput, lalu terjadi korban, apakah orang-orang hebat tersebut tidak merasa bersalah? Semoga saja hal itu tidak terjadi, walau itu menggambarkan dengan sangat jelas, pendidikan tinggi tidak menjamin orang-orang itu bermoral, dan itulah perlunya revolusi mental yang digagas Jokowi dan juga sudah sering saya tuliskan diartikel-artikel saya semenjak menulis di kompasiana ini. Saya mohon maaf karena artikel saya ini pasti dirasa menghakimi salah satu pihak, tapi saya bersedia menanggapi tanggapan-tanggapan yang berlogika, bukan hanya asal menghujat tanpa nalar yang membumi. Kalau toh ternyata saya ada salah, saya bersedia meralat artikel ini demi kebaikan bersama. Semoga kejadian ini menjadi yurisprudensi untuk menentukan kebaikan-kebaikan dimasa mendatang. Dan percayalah, keputusan apapun yang akan diambil sehubungan masalah ini, juga masalah-masalah lain sehubungan Pilpres, akan berlalu begitu saja, tidak akan ada yang terseret menghuni hotel prodeo, itulah sebabnya tidak ada yang takut untuk berbuat melanggar hukum, apa lagi kalau hanya melanggar moral, dan itu sangat menyedihkan bukan? (SPMC SW, Juli 2014)
.
—————————

Catatan :
Dibawah ini hasil Copas dari BBM yang beredar, apakah datanya benar?
———
Untuk diketahui oleh rakyat Indonesia yg telah mensukseskan Pilpres 2014 dgn aman & damai ;Ternyata lembaga survey Wowo : • 1. LSN milik Mahfud MD, • 2. JSI milik Didik J.Rachbini partai PAN, • 3. Puskaptis milik Husin Yazid partai PKS.• 4. IRC milik Harry Tanoe
————

No comments:

Post a Comment