Thursday, May 19, 2016

APA MUNGKIN RAKYAT MAU JUJUR BAYAR PAJAK?


APA MUNGKIN RAKYAT MAU JUJUR BAYAR PAJAK?
.
.
Opini "minta info": ‪#‎SPMC Suhindro Wibisono.
.
Maaf saya tidak paham persyaratan perhitungan perpajakan, berapa persen sesungguhnya potongan pajak yang harus dibayar untuk karyawan penerima gaji, berapa persen harus bayar pajak ketika belanja di supermarket, berapa persen bayar pajak ketika makan di resto, berapa persen bayar pajak ketika beli motor, berapa persen bayar pajak ketika naik bus, berapa persen bayar pajak ketika naik pesawat, berapa persen harus bayar pajak ketika beli mobil, berapa persen harus bayar pajak untuk semua pengeluaran ketika menggunakan uang untuk pembelanjaan, baik belanja barang maupun belanja jasa.
.
Memang semua ada aturannya, ada ketetapannya berapa-berapanya besaran pajak yang harus dibayar, dan uang pungutan itulah yang "juga" digunakan pemerintah sebagai penyelengara negara untuk melaksanakan keberlangsungan roda pemerintahan yang rencana peruntukannya sudah dibuat sebelumnya dan di setujui oleh DPR, itulah cerita bagian dari RAPBN menjadi APBN. Betapa sulitnya pengawasan penerimaan uang pajak dari usaha swasta tanpa pembukuan secara langsung yang terkomputerisasi, contohnya pajak resto laris yang tidak menggunakan komputer, pajak salon, dan sebagainya. Itulah sebab perpajakan itu sangat rawan diselewengkan, baik oleh oknum pegawai pajak yang memang bertugas memungut pajak, maupun oknum pengusaha swasta yang memang seharusnya membayar pajak karena telah mengumpulkan pungutan uang pajak dari para pelanggannya. Pembenahan hal itu memang sangat sulit, jadi jangan heran kalau banyak dari mereka (oknum-oknum itu) yang tertangkap aparat karena telah main mata kongkalikong menyelewengkan uang pajak, oknum pengusaha ingin mengurangi uang pajak, oknum pegawai pajak ingin minta bagian dari pengurangan yang seharusnya dibayarkan untuk negara itu. Kerja sama yang saling menguntungkan dari para oknum, ingat belum tentu kesalahan awal adalah oknum pengusahanya lho ya, karena bisa saja oknum pegawai pajak yang mengajarkan kongkalikong itu. Dan sesungguhnya andai oknum pengusaha mau nyogok agar bayarnya pajak dikurangi tapi pegawai pajak tidak mau disogok, bukankah hal persekongkolan itu tidak bisa terjadi? Konon paling gawat dari urusan perpajakan adalah ASUMSI, asumsi tidak ada pengusaha yang dianggap jujur melakukan pembayaran pajak, bahkan andai sudah jujur juga tetap "diasumsi" tidak jujur, jadi dari pada begitu banyak pengusaha yang akhirnya menyerah dalam situasi dilematis, membayar konsultan pajak yang dibelakang itu semua ada persetujuan dari oknum pegawai pajak untuk kalkulasi perpajakannya. Semuanya justru merasa diuntungkan, dan negara yang penerimaan keuangannya dari pajak berkurang karena dibuat bancaan oleh oknum pegawainya sendiri yang nota bene digaji dengan uang negara dan oknum pembayar pajak. Dan negara adalah milik seluruh rakyat sebagai warga negara secara keseluruhan. DRAMA MENYEBALKAN!
.
Semoga itu hanya cerita usang yang salah karena ngawur ala saya yang tidak paham apa-apa tentang perpajakan, karena awalnya saya justru hanya ingin tanya besaran pajak yang harus dibayar oleh seoarang karyawan sebagai penerima gaji. Kok menurut rasa saya potongannya menjadi dobel walau memang sebenarnya sudah benar sesuai aturan. Dikasih contoh saja ya ....
.
Saya mengabaikan aturan perhitungan tentang potongan-potongan sebelum kena pajak karena beranak berapa, dan lain-lain karena memang ini hanya ilustrasi secara kasar saja. Andai saya karyawan dengan gaji 10 juta, anggap harus bayar pajak 15% = 1,5 juta, jadi gaji saya tinggal 8,5 juta, untuk makan di resto tiap hari sekeluarga dalam sebulan 150 ribu X 30 = 4,5 juta, sudah "termasuk" dikenakan pajak "misal" 15% = 675 ribu. Belanja untuk keperluan harian keluarga sebulan, bayar uang sekolah swasta anak, dan keperluan lainya 4 juta, juga sudah "termasuk" dikenakan pajak "misal" 15% = 600 ribu. Bukankah itu ceritanya menjadi:

Gaji 10 juta
Bayar pajak = 1.500.000 + 675.000 + 600.000 = 2.775.000.
Artinya 15% dari penerimaan awal, dan sisanya 8,5 juta dikenakan pajak lagi 15% karena dibelanjakan.
.
Singkatnya,
gaji...... : 10.000.000
Pajak... : 2.775.000
.
Persentase pajak yang dikenakan adalah:

2.775.000
---------------- X 100% = 27,75%
10.000.000
.

Jadi aslinya pajak yang dikenakan dari penghasilan yang kita terima itu 27,75% bukan? Saya tanya lho, karena saya memang tidak paham apa-apa.
.
Pengampunan pajak lagi rame diwacanakan, tujuannya agar dana para milyader bisa ditarik ke negeri ini, sengaja saya tuliskan para milyader bukan para pengusaha, karena bukan tidak mungkin memang yang punya dana banyak di LN bukan hanya para pengusaha tapi juga para oknum koruptor.
.
Lalu wacana pengampunan pajak tersebut menuai pro dan kontra, seperti biasa tentang apapun di negeri ini, justru para jurnalis, baik jurnalis berita cetak, dumay, utamanya tipi yang mengaduk-aduk berita agar pro-kontra itu semakin eksis. Padahal ya apa masalahnya kalau pengampunan pajak itu diberlakukan, ketidak adilan itulah yang sering digembar-gemborkan.
.
Bagaimana kalau urusan perpajakan ini di rampingkan saja? Contoh kalkulasi yang saya ceritakan diawal sekalian juga disederhanakan, jangan dikenakan pajak lagi bagi penerimaan awal alias pajak penghasilan tenaga kerja, bukankah kalau uang gaji itu dibelanjakan maka akan dikenakan pajak? Berarti juga menambah penghasilan gaji karyawan yang tentu saja akan menambah daya beli rakyat, usaha semakin bergairah, roda ekonomi semakin lancar berputar. Tapi pajak gaji tenaga kerja asing harus tetap dikenakan dan pajak bunga simpanan juga tetap berlaku. Kalau pemerintah mampu sedemikian rupa menarik/menghipun pajak tanpa adanya penyelewengan kongkalikong oknum pengusaha dan oknum pegawai pajak, saya kok yakin penghasilan dari pajak karena menghapus pajak penerimaan gaji pegawai/karyawan tidak akan mengurangi penerimaan keuangan negara dari sektor pajak. Itu semua butuh kejujuran dan kepiawaian, dan untuk mendukung hal itu dibutuhkan manajemen yang mumpuni, bukan manjemen yang hanya berbasis "kepercayaan", karena sesungguhnya kepercayaan itu bukan termasuk sistem tapi amanah, dan manusia itu punya sifat serakah yang luar biasa yang hanya bisa dikendalikan oleh sistem yang baik dan nurani. Karena nurani juga bukan wilayah manajemen, maka satu-satunya pengendali adalah manajemen.
.
Saya juga tidak paham penjualan export itu prosedurnya bagaimana, juga pengenaan pajaknya. Itulah sebab saya juga akan ngawur lagi berwacana. Ketika andai saya menjual barang dagangan keluar negeri melalui export senilai 1M, lalu saya sudah membayar pajaknya 15% ketika akan melakukan export tersebut (andai ketentuannya begitu), bukankah artinya saya tidak punya tunggakan lagi terhadap negara? Lalu kalau uang hasil penjualan itu saya pakir diluar negeri, masalahnya dimana? Atau sangat mungkin ketentuannya bukan begitu, export dulu baru beberapa waktu kemudian bayar pajaknya, bukankah itu hanya masalah administrasi saja? Jadi kalau sekarang pemerintah berwacana menghapus uang pajak agar dana para milyader mengalir ke negeri ini, itu untuk menghilangkan pajak yang mana? Kenapa digembar-gemborkan adanya ketidak adilan? Pajak penghasilan apa yang belum dibayar oleh mereka yang mermarkir dananya diluar negeri? Karena mereka yang memarkir dananya di LN, bukankah artinya mereka juga kehilangan kesempatan untuk mendapat bunga bank didalam negeri yang biasanya lebih besar? Maaf ya, saya memang tidak paham apa-apa dan bermaksud mendapat ulasan dari ahlinya, ulasan sederhana agar mudah saya pahami. Adakah yang berkenan memberi pencerahan itu? Suwun. ( #SPMC SW, Kamis, 19 Mei 2016)
.
.
Sumber gambar:
drise-online .com
.
.
TAMBAHAN WACANA:
.
Ketika para TKW kita yang kerja diluar negeri dan membawa masuk uang asing ( Dolar, Riyal, Ringgit, Won, dll ), bukankah dibilangnya pahlawan devisa? Apakah juga harus dipajakin lagi? Kalau tidak dipajakin dengan alasan jumlahnya sedikit padahal kalau dikali banyak hasilnya juga banyak, bukankah itu artinya sama saja dengan para milyader yang membawa masuk uang kedalam negeri? Jadi ya mestinya menurut rasa saya jangan dibedakan.
.
Bagaimana kalau uang itu uang hasil penjualan barang terlarang, bukankah dikhawatirkan cuci uang? Lha ngapain kita yang terlalu pusing? Kalau uang tersebut tidak dicurigai oleh asal negara dimana uang itu tersimpan, kenapa mesti kita yang cari-cari seolah tidak butuh devisanya bertambah?
.
Bagaimana kalau uang itu uang hasil judi, mestinya ya sebodo amat lah, yang penting uang itu bukan uang bermasalah dari negeri asal uang itu datang, dan tidak perlu dipajakin karena memang bukankah sudah dikenai pajak dari didapatnya uang tersebut? Jangan terkesan mempersulit atau terkesan ngiri kalau ada orang punya uang sehingga harus dipajakin padahal seharusnya tidak perlu kena pajak, kecuali punya bukti bahwa uang itu hasil dari korupsi dari negeri ini.
.
Ketika semua uang itu akhirnya masuk didalam negeri, bukankah kalau disimpan di bank akan mendapat bunga bank dan bunganya itu dikenakan pajak sebagai pengasilan pajak negara, kalau diinvestasikan bukankah juga akan menciptakan lapangan kerja dan seterusnya .....? (SW)



No comments:

Post a Comment