Saturday, January 17, 2015

"KETIKA DEWAN PENIPU RAKYAT MBEBEK?" || #KETIKA

                           (Copas dari: cauchymurtopo.wordpress.com) 
Blogspot. KETIKA periode yang lalu ada beberapa Menteri di-”tersangka”-kan oleh KPK, banyak tokoh politik, pengamat, maupun para pakar, seperti ada yang mengomando geger wacana agar Menteri yang bersangkutan mengundurkan diri, sungguh itu adalah pemikiran rasional dan sehat yang dirasa oleh banyak rakyat awam tentang politik, termasuk saya misalnya.
 
KETIKA saat kemarin itu Komisi III DPR melakukan Fit and Proper Test terhadap calon Kapolri atas usulan Presiden, sungguh aneh bin ajaib, minus Demokrat semua koor meloloskan calon Kapolri yang padahal sudah tahu sang calon telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Apa gerangan yang terjadi? Mana bukti janji KMP yang akan mengkritisi Pemerintah? Dan KIH yang katanya juga akan tetap mengkritisi Pemerintah kalau ada ketidak benaran? Padahal dalam kasus penunjukan Kapolri kali ini, saya kok sangat yakin Presiden akan legowo saja seandainya hasil usulannya tidak lolos Fit and Proper Test. Katanya ada 560 orang anggota DPR yang mewakili rakyat Indonesia, saya kok curiga sebetulnya anggota DPR itu hanya ada kurang lebih selusin saja. Yang utama mereka itu ya hanya ketua-ketua partai, jadi anggota DPR yang lain itu sebetulnya hanya ekor. (atau mengekor?) Pembuktiannya ketika dilakukan sidang Paripurna, semua seperti membebek menyetujui dan memutuskan Pengangkatan Kapolri Baru dan Memberhentikan Kapolri yang sekarang. Sumpeh bikin garuk-garuk kepala yang memang banyak ketombe-nya, DPR itu sebetulnya mewakili rakyat yang mana? Kok tidak punya rasa malu?

KETIKA melihat dan mendengar argumentasi mereka yang tampak merasa paling benar dan hebat se-Indonesia, yang paling sering dikumandangkan dengan nyaring adalah: — Azas praduga tidak bersalah ; Apakah KPK akan menyatakan tersangka seandainya tidak ditetapkan sebagai calon Kapolri? ; Bagaimana kalau setiap orang yang akan dicalonkan memegang jabatan lalu di-tersangka-kan oleh penegak hukum? Bukankah Negara ini akan mandeg? — Kata pakar yang sempat saya lihat di tipi. Lalu juga ada pakar lain yang mengatakan: Presiden harus tetap melantik Kapolri yang telah diputuskan oleh Paripurna DPR kalau tidak ingin menuai badai ….. Padahal saya ingat dengan jelas, sang pakar yang terakhir itu dulu menjagokan Capres yang lain. Jadi sebetulnya itu mau menjerumuskan, menasehati, atau mengancam Presiden? Atau juga biar tampak hebat?

KETIKA memperhatikan argumentasi-argumentasi yang serba hebat itulah, saya menerka bahwa mereka beragumentasi sesuai dengan sudut pandang yang diinginkan, tidak peduli argumentasinya itu tidak sehat, menyesatkan, tidak konsisten, dan lupa malu. Saya setuju dengan argumentasi “Azas praduga tidak bersalah”, itulah sebab beri kesempatan yang bersangkutan menyelesaikan masalahnya, bukan tambah memberi jabatan penting. Dulu yang sudah jadi Menteri diminta agar mundur karena ditetapkan sebagai tersangka, sekarang meminta melantik dan memberi jabatan kepada tersangka? Piye toh Kang? Apakah hal itu tidak membingungkan banyak rakyat? Atau bodo amat? Apakah salah kalau rakyat justru berpikir bahwa “kelompok” itu terjadi salah satunya adalah karena punya kepentingan yang sama, lalu rakyat menyimpulkan bahwa sesungguhnya anggota DPR itu adalah “kelompok” yang tidak pro pemberantasan KKN, sehingga begitu ada kesempatan melemahkan KPK sebagai Institusi pemberantas korupsi, lalu rame-rame menghujat dan memojokkannya? Menuduhnya penegak hukum yang bermain politik, dan lain-lain. Kalau sudah jelas seperti itu yang di tuduhkan atau dikhawatirkan terhadap KPK, termasuk juga tuduhan KPK yang suka menetapkan sebagai tersangka lalu tidak ada proses lebih lanjutnya, kenapa justru tidak membicarakan dan mencari tahu masalah tentang itu dengan mengundang KPK ke DPR? DPR itu punya hak untuk mengubah UU, lalu kenapa tidak memberi batasan dan penalti kepada KPK bahwa memberikan status tersangka kepada seseorang hanya boleh 3 bulan misalnya, jika tidak bisa menindak lanjuti maka bebas demi hukum dan penanggung jawab di KPK akan diberi sanksi hukuman tertentu, dan lain-lain …… Tapi jangan menolak membantu KPK kalau ternyata kendala di KPK adalah karena kurangnya tenaga penyidik.

KETIKA seseorang melihat sesuatu, juga termasuk melihat masalah dan lalu pakai kacamata kuda, sudah pasti mendahulukan ego-nya dan melupakan sudut pandang lain, padahal akan sangat bijak kalau mau mengingat demi kemaslahatan rakyat banyak, bukan mendahulukan keinginannya sendiri. Maka ketika banyak tokoh mengatakan “Apakah KPK akan menetapkan tersangka jika seandainya yang bersangkutan tidak dicalonkan sebagai Kapolri?” Cobalah lihat dari sudut pandang positifnya, bukan memojokkan KPK-nya, saya juga sangat yakin KPK sangat mungkin “belum” akan menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka secepat itu. Tapi bukankah itu justru KPK menyelamatkan kita semua sebagai rakyat, supaya kita punya penegak hukum yang lebih baik, karena KPK tahu yang sesungguhnya, juga KPK menyelamatkan Presiden yang pasti akan lebih dipermalukan melantik pejabat yang ternyata bermasalah. Kenapa tiba-tiba para politisi itu memikunkan diri, lupa reputasi KPK, termasuk lupa KPK tidak kenal istilah Surat Penghentian Proses Penyidikan (SP3)? Lalu saya garuk-garuk kepala lagi mengingat ada tokoh politik yang intinya mengatakan “Lebih hebat dan terhormat Presiden melantik Kapolri walaupun akhirnya ditersangkakan, dari pada membatalkan pilihannya sendiri” Juga ada yang mengatakan “KPK justru akan lebih hebat kalau men-tersangka-kan Kapolri dari pada 'calon' Kapolri, lalu sekarang dituduh ikut bermain politik.” Huh, bener-bener pendapat yang tidak punya malu atau memang memalukan? Seperti nonton film Pendekar Mabuk saja …. Sungguh itu semua adalah sudut pandang, dan sekarang silahkan menimbang sudut pandang mereka sungguh egois atau kebenaran demi kemaslahatan banyak rakyat? Atau Anda juga semakin yakin bahwa DPR itu sesungguhnya bukan mewakili rakyat, dan percaya bahwa “real” anggota DPR itu tidak lebih dari selusin? Dan saya sangat miris mendengarkan ketua partai memberi tanggapan, “kalau saya jadi Presiden, akan tetap melantik.” Tapi beruntung Presiden Jokowi menangguhkan pelantikan, sesuatu yang masih termasuk membanggakan, juga sekaligus mengkritisi pembuat artikel yang mempertanyakan kenapa Presiden tetap memberhentikan Kapolri? Mungkin mereka lupa, pemberhentian Kapolri itu adalah “amanat rakyat” yang diwakili DPR melalui koor sidang Paripurna yang saya tidak sanggup mencerna maknanya.

KETIKA semua itu terjadi, ada yang ingin saya utarakan walaupun mustahil akan adanya perubahan ketata negaraan kita, utamanya membenahi anggota DPR supaya tidak seratus persen mem-bebek. Kalau kita mencermati hak anggota DPR yang salah satunya adalah independen karena mewakili rakyat pemilihnya, itulah sebab kalau ada proses recall tidak mudah, walaupun hampir pasti pihak anggota yang tidak segaris dengan Partai (Ketum-nya) pasti akan kalah. Coba bayangkan berapa besar biaya untuk bisa jadi anggota DPR, gosipnya ada yang sampai habis puluhan milyar. Ngenes toh kalau harus di recall, tapi kalau akhirnya jadi anggota DPR juga hanya untuk mem-bebek, bukankah itu juga ngenes? Atau justru lebih baik membebek karena sudah habis duit banyak, dan tidak ada garansi uang kembali kalau dipecat dari anggota DPR? Apalagi kalau misalnya ada trik permainan partai karena ingin memasukkan tokoh politik penting yang kalah mendulang suara Pemilu Legislatif dan bermaksud mengorbankan pion yang dianggap tidak penting lalu mencari-cari masalah supaya bisa di recall dan melakukan PAW (penggantian antar waktu)?

KETIKA mengetahui kenyataan itu sudah umum tapi kenapa tidak coba dicarikan jalan keluarnya? Seandainya anggota DPR dipastikan tidak bisa dipecat atau tidak bisa dikeluarkan sebagai anggota DPR(kecuali melanggar hukum), bisa jadi Dewan Perwakilan Rakyat justru akan benar-benar bisa(berani) mewakili rakyat pemilihnya. Jadi peraturannya harus diubah, partai tidak berhak memecat anggota DPR walau anggota-nya mbalelo, yang bisa adalah dikeluarkan dari partai. Maka kalau itu yang terjadi, anggota-anggota DPR yang dipecat oleh partainya diberi wadah sementara di dalam DPR  sampai periodenya berakhir, misalnya bisa saja diberi nama tampungan “Kelompok Independen”, kalau ternyata isinya bertambah banyak karena menampung depak’an semua partai yang ada, mereka bisa membentuk ketua fraksi independen sendiri. Dengan begitu persentase atau jumlah kursi anggota DPR oleh suatu partai tidak tetap, alias bisa saja berkurang. Dan Partai tidak akan sembarangan mencalonkan seseorang untuk maju jadi calon Anggota DPR, selain juga yang mbalelo itu sejatinya lebih idealis dan rasional karena biasanya berani untuk tidak mem-bebek bukan? Bukankah dengan begitu akan semakin menyehatkan DPR, KARENA MENGURANGI KEDIKTATORAN KETUA UMUM PARTAI!

KETIKA ada masalah, biasanya semua meributkan masalahnya, tidak berkehendak mencari jalan keluar supaya tidak terjadi lagi. Pasti ada jalan keluar kalau benar mau mencari, dan berkehendak demi kebaikan bersama. Karena yang saya amati pada banyak hal, lebih karena tidak berkehendak untuk memperbaiki, sebab kalau serba baik justru mungkin lebih tidak enak, tidak bisa dikotak-katik sekehendak hati para pemegang kekuasaan bukan? Sama seperti membuat UU MD3, hanya memikirkan keuntungan kelompoknya saja, jadi waktu bikin UU seperti bermain catur, berstrategi, lalu nanti kalau perlu diubah lagi sesuai kebutuhannya, kalau begitu seharusnya jangan diberi nama UU (undang-undang!), menurut saya sangat aneh benegara seperti ini, banyak hal ditempat-tempat penting yang justru manajemen-nya seperti menajemen pedagang pasar pagi, hanya modal kepercayaan yang tentu saja sangat rawan diselewengkan. Atau memang sengaja dibuat begitu? Maaf kalau saya ngaco karena galau ditambah risau. (SPMC SW, Januari 2015)

No comments:

Post a Comment