(Copas dari: teropongsenayan.com)
Blogspot. Walau sudah lupa mantan Menteri siapa yang cerita, tapi
masih teringat inti cerita-nya, ketika yang bersangkutan menceritakan
era-era akhir kepemimpinan Orde Baru, ada Menteri yang diberi tugas oleh
Presiden, tapi tidak melaksanakannya, dan ketika sejawatnya(yang
cerita) menanyakan, maka sang Menteri menjawabnya, tenang saja yang
menugaskan juga pasti sudah lupa. Itu sekelumit cerita yang pernah saya
dengar dan lihat di tipi. Umur memang tidak bisa dilawan. Semoga tidak
begitu yang terjadi di PDIP, khawatirnya berantakan justru karena
keasyikan lupa melakukan regenerasi.
Heboh jumpa pers PLT Sekjen PDIP, dramatisasi dengan topi dan masker
yang digambarkan prilaku AS pimpinan KPK ketika dikatakan 6 kali bertemu
dengannya dan 12 kali cepika-cepiki sungguh memang berhasil menarik
perhatian. Saya justru khawatir seperti menepuk air dalam dulang,
terpecik muka sendiri. Itulah ternyata prilaku tokoh-tokoh partai PDIP
bernegosiasi secara haram dengan pimpinan KPK. Kalau "seandainya"
pertemuan itu ada, dan AS sakit hati dengan BG seperti yang diceritakan
oleh HK, lalu memangnya kenapa? Jadi sekali lagi "seandainya" tuduhan HK
itu benar adanya, atau bahkan "seandainya" lebih jauh lagi AS dipecat
dari KPK karena melanggar kode etik, apakah status tersangka BG harus
batal demi hukum? Atau bagaimana? Apakah lupa bahwa penetapan status
tersangka terhadap seseorang oleh KPK itu adalah kolektif kolegial? Jadi
tidak bisa berdasarkan dendam kesumat AS saja.
Sungguh lebih bijak kalau seandainya semua pihak membantu agar sesegera
mungkin kasus BG dituntaskan oleh KPK, sehingga menjadi terang, tapi
kalau melihat situasi yang ada, serangan bertubi-tubi terhadap KPK
maupun pimpinannya, itu menggambarkan institusi KPK akan tetap benar
seperti reputasinya selama ini. Jadi serangan-serangan itu lebih atas
dasar rasa takut cepat terungkapnya suatu masalah. Mengamati begitu
banyaknya tokoh yang memakai argumen "Azas Praduga tidak bersalah"
sebetulnya memang tidak salah, tapi ketika mereka semua juga mengatakan
"pelantikan harus tetap dilaksanakan", saya justru mengira jangan-jangan
Bangsa ini sedang "sakit" .....menyedihkan . . .
Sangat mengherankan ketika hampir semua tokoh PDIP juga menyalahkan KPK
dan tetap menganjurkan pelantikan dilanjutkan, saya bingung jalinan
komunikasi antara Presiden dan PDIP yang sesungguhnya. Banyak rakyat
yang menduga bahwa PDIP terlalu mendikte Presiden, kalau hal itu
dilanjutkan, saya justru kawatir PDIP yang terkena getahnya. Karena
kalau boleh jujur, berapa persen rakyat yang benar-benar loyal terhadap
partai? Bukankah beberapa kali Pemilu sudah membuktikan, dari pemenang
langsung tumbang, dan itu semua karena akumulasi tingkah polah
tokoh-tokoh politik partainya bukan?
Seandainya saya boleh mengungkapkan pendapat tentang PDIP, jika bijak
bersikap, saat-saat ini adalah saat paling menentukan partai ini akan
tetap berjaya. Berpolitik adalah ejawantah untuk mencapai kekuasaan
Pemerintahan, sehingga hasratnya dapat lebih mudah tersalurkan, soal
hasrat positif atau negatif, keterlaksanaanlah yang dapat dinilai oleh
rakyat. Jabatan Presiden adalah hal tertinggi yang dapat dicapai dengan
berpolitik, itulah sebabnya semoga PDIP tidak melupakan itu. Bukankah
saat ini Presiden Jokowi sudah mencapai kedudukan tertinggi, secara
formal tidak ada yang lebih tinggi lagi untuk bisa dicapai. Jadi menurut
saya, seandainya PDIP tidak melupakan itu, dan berani melakukan
regenerasi, sekaranglah saatnya. Membaca dan meramalkan sifat Jokowi
yang tipe-nya jujur - kekeh - setia, maka justru kepada beliaulah Ketum
PDIP mestinya disandangkan dan Ibu Mega bisa saja menjadi Ketua Dewan Penasehat/Pertimbangan/Pembina. Tapi karena Presiden tidak ingin
merangkap jabatan, maka jadikan Pramono Anung sebagai Wakil Ketua Umum
dan melaksanakan PLT Ketum, lalu Mbak Puan sebagai Sekjen Partai. Dengan
asumsi Presiden Jokowi menjadi Presiden dua Periode, dan pada Pemilu
mendatang perolehan suara PDIP menjadi lebih banyak karena ada nama
Jokowi sebagai Ketua Umum, lalu setelah Periode itu saya kok yakin Mbak
Puan bisa punya peranan penting jika Tuhan juga menghendaki. Itulah
strategi politik untuk PDIP ala saya, maaf kalau tidak berkenan karena
memang itu hanya uneg-uneg saya saja.
Karena memperhatikan keadaan saat ini, saya justru khawatir PDIP
sebetulnya terlalu banyak maunya terhadap Presiden, tidak masalah kalau
kemauan PDIP sejalan dengan Kemauan Presiden, tapi lebih utama adalah
sejalan dengan kemauan rakyat. Karena rakyat adalah segalanya, maka
ketika Jokowi berjanji akan jujur dan bersih, lalu karena rakyat menilai
Presiden di-dikte oleh PDIP sehingga tidak pro rakyat, bukankah hal itu
akan bersentimen negatif terhadap partai PDIP. Bahkan begitu sensi-nya
relasi PDIP dan Presiden, maka ketika kemarin Presiden sedang akan foto
bersama dengan para pimpinan daerah di Istana Bogor dan mendapat
telepon, banyak juga yang ber-praduga bahwa telepon itu dari Partai
PDIP, tentu saja tudinganya berasumsi ke Ibu Mega walau kenyataannya
memang belum tentu bukan?
Gonjang-ganjing tentang BG sebagai calon Kapolri, dan kekehnya PDIP
ingin pelantikan itu terjadi, mengapa hal itu harus terus diperjuangkan?
Apa keuntungan yang akan didapat PDIP seandainya BG jadi Kapolri, dan
juga kerugiannya jika BG tidak menjabat? Jangan lupa mengkalkulasi
keuntungan-keuntungan yang justru akan menjebak karena kalau ternyata
Polri tidak pro keadilan dan pemberantasan KKN, akan menjatuhkan
Presiden dimata Rakyat, dan juga Partai dimana Presiden ada didalamnya.
Lebih absurd menyimak pendapat para tokoh, lantik saja BG lalu non
aktifkan, apa bedanya dengan menunda seperti saat ini? Melantik
tersangka adalah hal paling konyol yang dirasakan oleh rakyat termasuk
saya, seperti menyaksikan jabatan Gubernur yang masih dipegang oleh
Gubernurnya yang saat ini ada didalam penjara. Semuanya itu justru
berlindung dibalik kebenaran UU, jadi sebetulnya UU-nya yang tidak
beres, atau moral rakyat yang mempertanyakan yang keliru? Antah
berantah-kah?
BIJAK, menurut saya adalah kata paling tepat untuk PDIP saat ini,
memaksakan Presiden untuk mengkhianati hati nuraninya adalah sangat
tidak bijak, dan akan mencelakakan partai itu sendiri. Kalau Presidennya
tetap kekeh mengikuti hati nurani atau menepati janji kepada rakyat
pendukungnya, kenapa partai tidak berkehendak sejalan? Apakah zaman
sekarang ini masih ada yang bisa ditutup-tutupi, dan bukankah kebersihan
yang sedang dituntut oleh rakyat? Pasti akan sangat kacau kalau Partai
Pengusung tidak sejalan dengan Presiden yang diusungnya, rakyat akan
menilai ternyata Partai akan menjadikannya Presiden Boneka, bukankah itu
memang yang dikhawatirkan dan ditudingkan sebelumnya? Lalu bagaimana
kalau sampai Presiden Jokowi mengikuti jejaknya Basuki? Menyatakan
keluar dari partai karena sudah tidak tahan lagi, bukankah ketika saat
itu benar terjadi partai akan langsung terjun bebas? Ketentuan yang ada
memang Presiden harus diusulkan oleh partai, tapi kalau sudah jadi
presiden apakah boleh tidak punya Partai? Kalau itu terjadi pasti akan geger lagi
Negeri ini, dan apakah sepertinya kita sebagai Bangsa justru paling
doyan geger? Maafkan saya telat minum obat lagi ....(SPMC SW, Januari
2015)
- - - - -
SELAMAT ULANG TAHUN IBU MEGAWATI
PF. 23 Januari 2015
Semoga Ibu Mega banyak mendapat kebahagiaan dalam hidup ini.
- - - - -
( 5M ) ~ SPMC = "Sudut Pandang Mata Capung" ~ yang boleh diartikan ~ "Sudut Pandang Majemuk" || MEMPERHATIKAN kebenaran-kebenaran sepele yang di-sepele-kan ; MENCARI-tahu mana yang benar-benar "benar" dan mana yang benar-benar "salah" ; MENYUARAKAN kebenaran-kebanaran yang di-gadai-kan dan ter-gadai-kan ; MENGHARAP kembali ke dasar-dasar kebenaran yang di-lupa-kan dan ter-lupa-kan ; MENOLAK membenarkan hal-hal yang tidak semestinya, menolak menyalahkan hal-hal yang semestinya. (© 2013~SW)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment