Wednesday, March 12, 2014

"AKU GOLPUT WALAU JOKOWI JURKAM"


                                                (Image source: antarariau.com)
Blogspot. Sebelum saya menulis artikel-artikel opini beberapa waktu ini, saya tidak terlalu peduli dengan apa itu yang namanya “golput”, terutama sekali kenapa mereka harus golput kalau waktu dan kesempatan mereka miliki untuk ikut nyoblos pada waktu pemilu? Kini setelah mencoba ikut nimbrung memperhatikan perpolitikan dinegeri ini, dan juga menulis beberapa opini yang “sedikit-sedikit nyerempet” ke arah perpolitikan, dan utamanya memperhatikan begitu massif-nya korupsi terjadi pada para tokoh politik kita, selain rasa “geregetan” juga menerka-nerka dan mencoba memahami kenapa begitu banyak rakyat yang golput.
Geregetan kenapa mereka yang “tadinya” begitu tampak terhormat, berpendidikan tinggi, bahkan yang ada diposisi Anggota DPR, Ketua MK, Meteri, Gubernur, Deputi Gubernur BI, Ketua SKK Migas, dan lain-lain yang bahkan sampai bergelar Profesor tapi menghuni hotel prodeo. Lebih geregetan lagi ketika mereka tidak punya malu, dan itu menunjukkan penurunan kasta mereka, karena rasa malu itulah yang membedakan antara manusia dan mahluk lainnya.
Ketika ada Anggota DPR yang begitu korup, yang bersangkutan tampak menitikkan air mata ketika pembacaan keputusan, kawatir mendapat keputusan maksimal oleh Yang Mulia Hakim, dan setelah sidang keputusan tentang kasusnya ternyata tidak seperti yang ditakutkan, tampak beberapa anggota keluarganya ber-foto-ria dengan latar belakang meja Majelis Hakim diruang persidangan, mengabadikan moment-moment kebersamaan dengan pesakitan, sirna seketika air mata kekawatiran sebelumnya ….. Melegakan ketika akhirnya MA memperberat hukuman pesakitan tersebut.
Ada lagi mantan menteri yang begitu flamboyan, punya dua saudara, dan mereka tiga bersaudara semuanya berpendidikan tinggi, menggalang opini publik sangat yakin bahwa saudara tua-nya tidak bersalah sama sekali, kenapa itu dilakukan? Bukankah lebih baik menyiapkan amunisi dipersidangan saja? Apakah kepandaiannya dimaksudkan menggiring opini publik untuk menyesatkan masyarakat, supaya menilai bahwa saudaranya itu malaikat yang dituduh koruptor? Kenapa sebagai saudara yang tidak terlibat kok malah melibatkan diri memasuki arena kubangan sesat dan menyesatkan? Sebagai saudara apakah harus membela membabi-buta? Apakah tidak kawatir banyak orang berpikir ternyata kalian semua setali-tiga-uang? Bagaimana logika-nya ketika saudara menteri menerima uang 4 milyar walau itu dilabelkan hadiah ulang tahun? Apa ada hadiah semacam itu diberikan oleh mereka yang bukan sanak saudara? Kalau memang tidak ada apa-apa-nya, masak iya berpendidikan begitu tinggi kok tidak berlogika kebenaran sama sekali? Lebih absurd lagi uang tersebut dikembalikan ke KPK setelah saudaranya ditetapkan sebagai tersangka, lalu mau menjadi pahlawan bahwa yang bersangkutan siap dipenjara sekalipun, karena memang sang kakak tidak terlibat sama sekali. Ah….. bukankah lebih baik diam dari pada membuat pernyataan-pernyataan konyol dan menggelikan yang tidak bernalar logika kebenaran, dan ternyata berpendidikan tinggi tidak menjamin orang mempunyai rasa malu, tapi menjamin mau menang sendiri, mau benar sendiri, atau mau memaksakan kebenarannya. Apakah banyak para orang tua kita menginginkan anak-anaknya berpendidikan tinggi untuk korupsi? Memilukan, sekaligus meyakinkan bahwa negeri ini telah alpa mendidik moral warganya. Bagaimana tidak geregetan ketika sang kakak juga menyatakan bahwa dirinya tidak tanda tangan, dan itu sebabnya merasa tidak salah, tapi anak buahnya yang salah, lho …. kok sebelum dinyatakan tersangka tidak ada kata-kata tersebut, dan kok juga mendiamkan saja anak buahnya? Atau jangan-jangan jadi Menteri tapi tidak ngerti tugas dan wewenangnya?  Jadi apa hebatnya ketika sudah dinyatakan tersangka oleh KPK lalu mengundurkan diri?
Geregetan juga kalau menulis tentang mantan ketua SKK Migas dan MK, konyolnya juga serupa, tidak punya malu-nya juga serupa, itulah sebabnya tidak perlu dikupas ya, jangan-jangan nanti para pembaca ikut geregetan, atau malah geregetan sama saya karena memang ternyata saya tidak bisa menuliskannya, maaf.
Tapi kalau boleh saya suarakan, mohon jangan jadikan mereka Dosen atau kembali menjadi Guru Besar kalau para pesakitan tersebut telah selesai menjalani kasusnya. Itu memalukan sangat dan sungguh tidak etis. Kecuali memang kita sengaja ingin menghapuskan rasa malu yang mungkin masih ada tersisa.
Apakah pembaca yakin ketika beberapa tokoh mengatakan bahwa “masih banyak” tokoh baik dinegeri ini? Konyolnya, beberapa waktu kemudian sang tokoh yang mengatakanpun dicekal keluar negeri … huh!
Mengupas tentang golput sesuai dengan judul artikel ini dan yang sepertinya mulai bisa saya pahami, apakah UU-nya melarang golput? Karena kalau tidak melarang, sebetulnya saya juga berminat untuk ikut golput. Maaf ya, bukan saya mau menarik Anda sekalian untuk ikut golput, tapi hal tersebut lebih dikarenakan untuk menebus rasa salah menerka dalam beberapa artikel saya sebelumnya yang sangat mengharapkan diumumkannya seseorang menjadi Capres sebelum Pemilu Legislatif, tapi karena sampai detik ini pengumuman tersebut tidak terjadi, itulah sebabnya tidak ada alasan lagi untuk saya harus mencoblos pada Pemilu Legilatif kali ini. Padahal menurut kalkulasi saya, kalau Ketua Umum partai tersebut berkenan mengumumkan saat-saat ini, saat sebelum Pemilu Legislatif tiba, saya yakin banyak para golput yang akan turun gunung untuk ikut memeriahkan pesta demokrasi kali ini.
Dan itu tentu saja menguntungkan partai dimana tokoh tersebut berada, serta para calon anggota DPR/DPRD-nya yang ketiban ndaru. Maaf, karena bukankah kalian semua juga menganggap bahwa semua partai hampir sama, yang membedakan adalah kebetulan tokoh idola Anda ada didalam partai tersebut bukan? Tapi ketika tokoh yang Anda harapkan untuk membuat perubahan atas negeri ini belum pasti dicalonkan, apakah Anda masih tertarik untuk ikut nyoblos pada Pemilu Legislatif yang akan datang? Mohon maaf kalau saya salah sangka dan meng-gebyah-uyah banyak diantara Anda. Semoga Anda tidak terkontaminasi pemikiran saya.
Semoga sang Ketum tidak terjebak oleh hembusan opini yang sengaja digalang para politikus, menciptakan suasana serba salah - tidak etis - tidak sesuai janji kampanye sebelumnya - dan lain-lain yang serupa, yang bertujuan untuk menghalangi pencalonan tersebut terjadi, karena itu memang kekawatiran para pesaing atas kekalahan telak yang kalkulasi berdasar survei akan menimpanya. Coba bayangkan betapa banyak mereka sudah mengeluarkan biaya promosi yang begitu lama, masif, dan terus menerus sampai nanti menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Itulah sebab apapun caranya, entah itu etis atau tidak, akan dilakukan untuk menghalangi, karena kalau partai sang “satrio-piningit(?)” tidak menang di Pemilu Legislatifnya, itu berarti harus berkoalisi, dan tentu saja lebih mudah di-skenario-kan kemudian bukan? Itu urusan nanti!
Jadi apakah kesempatan emas ini akan disia-siakan? Bukankah sang Ketum justru bisa berperan sangat hebat untuk menangkis semua cegah-tangkal yang beredar saat ini, seperti misalnya: “Menugaskan sang satrio-piningit untuk di Capres-kan demi kemaslahatan yang lebih besar, demi Indonesia yang lebih baik, demi memenuhi keinginan rakyat yang tertangkap oleh partai.” Karena dengan MENUGASKAN, bukankah itu berkonotasi sang satrio-piningit maju sebagai Capres bukan karena ingkar janji kampanye sebelumnya? Dan penyusunan kata-katanya dalam mengumumkan memang harus pas, dan sangat terukur, karena ini politik, terlalu berlebihan akan menimbulkan konotasi “seolah-olah sang presiden nantinya adalah boneka”, atau jangan-jangan warning saya ini menerbitkan ide bagi mereka yang memang gemar menyerang, hak paten ya, jangan dicuri hehehehe ….
Yang mencemaskan adalah, diluaran sana ada suara-suara kalau sang Ketum tidak mencalonkan sang satrio-piningit saat ini, karena berpikir akan mencalonkan diri sendiri seandainya perolehan suara di Legislatif nantinya memungkinkan. Memang tidak mudah menyikapi gosip tersebut, itulah sebabnya, kalau memang tidak ingin mencalonkan diri sendiri, menurut pendapat saya, lebih banyak untungnya kalau diumumkan sekarang.
Dan kalau dipikir-pikir, sepertinya saya masih menaruh harapan pada detik-detik terakhir, memalukan diri sendiri saja, menyodorkan opini yang ternyata disesuaikan dengan keinginan hati. Tapi ….bukankah diluaran sana banyak yang lebih “heboh” dari yang saya opinikan kali ini? Walau masih juga saya tambahkan, bahwa kalau menang mayoritas pada pemilu Legislatif, akan lebih mudah menjalankan roda Pemerintahan. Rakyat tidak perlu kawatir akan munculnya diktator baru, karena rakyat dan mahasiswa pasti berani menentang kediktatoran terjadi dinegeri ini. Pasti saya sangat menjengkelkan bagi mereka yang tidak sepaham, silahkan membuat opini sendiri, dan kita tidak harus saling mencaci-maki bukan? (SPMC SW, Maret 2014)



No comments:

Post a Comment