Wednesday, November 9, 2016

"APAKAH AGAMAMU BENAR UNTUK UNIVERSAL?"



"APAKAH AGAMAMU BENAR UNTUK UNIVERSAL?"
.
Opini Sensi ala #SPMC Suhindro Wibisono
.

Begitu banyak wacana dapat kita perhatikan, lihat, baca dan dengar di sosmed (dumay = WA, FB, Web, dll.), koran/majalah cetak, tipi berita, radio ....
.
Politik "menculik" agama sebagai sarana pembenar bukanlah hal baru di negeri ini, ketika ada calon wanita yang niat jadi pemimpin, maka dinyatakan wanita tidak boleh jadi pemimpin menurut agamanya, ketika ada yang berbeda agama juga jadi calon pemimpin, maka juga diserang pakai agama, "tidak boleh karena tidak seiman".
.
Kenapa hal semacam itu didiamkan? Bukankah penolakan itu untuk pemilihan pemimpin pemerintahan? Bukankah calon pemimpin pemerintahan punya pakemnya sendiri, bukankah konstitusi negeri ini menyatakan "semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama?" Artinya semua warga negara tidak dibedakan atas dasar SARA.
.
Pembiaran itulah akar masalah, karena pembiaran juga bisa diterima bahwa hal itu dianggap tidak salah. Repotnya, kehendak pembiaran juga menggunakan dalil agama, yang mereka semua lupa bahwa agama yang digunakan sebagai pembenar adalah agamanya pembenar itu sendiri. Bukankah negara ini milik kita semua warga negara yang sama? Yang rakyatnya terdiri dari berbagai macam suku, kepercayaan dan agama? Jadi penggunaan alibi hanya berdasar satu keyakinan, apakah itu menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya yang multi itu tadi? Dan hal itulah yang saya tenggarai sejak lama, adanya KESEWENANG-WENANGAN YANG MENYENANGKAN. Andai sejak lama kita sebagai bangsa berani membuat aturan bahwa ranah politik tidak boleh "mencatut" agama apapun, saya kok yakin justru negeri ini akan lebih tentram dan damai.
.
Walau Tuhan adalah Esa, tapi agama adalah relasi antara manusia dan Tuhannya masing-masing individu sesuai dengan keyakinannya. Mencampur adukkan agama dengan politik (kekuasaan/pemerintahan), menurut kacamata saya jelas salah kaprah, karena agama hanya mengurusi ummat seagama, sedang pemerintah harus adil terhadap semua rakyat yang nota bene terdiri dari pemeluk berbagai macam agama.
.
Menurut rasa saya, kementrian agama seharusnya terdiri dari subsistem agama-agama yang ada dimasyarakat ini, termasuk pengadaan subsistem aliran kepercayaan, lalu semuanya itu dibawah naungan Menteri sebagai penanggung jawab secara keseluruhan agama/kepercayaan. Jadi harusnya MUI juga ada didalam bagian subsistem agama yang sesuai. Itu kalau masih mengharap pemerintah seharusnya ikut cawe-cawe urusan agama, kalau tidak mau ikut cawe-cawe, ya kenapa tidak mengikuti apa yang dilakukan banyak negara lain, yang bahkan kementrian agama saja ditiadakan? Bukankah kenyataannya negara-negara itu lebih tentram dari pada negara-negara yang berdasarkan agama? Lalu banyak tokoh-tokoh kita yang ngotot ingin menjadikan negeri ini berdasarkan agamanya? Rujukannya negara mana yang hasilnya lebih baik, keadaannya "toto tentrem kerto raharjo" pak de, bude , om, tante, bro, sis??
.
Ketika jutaan rakyat dari negara berdasar agama ngungsi ke Eropa, padahal sangat ceto welo-welo negara tempatnya ngungsi itu bukan negara yang rakyatnya harus beragama, dan pemerintahannya juga bukan dari agamanya para pengungsi, kenapa kalian diam seribu bahasa? Apakah mereka para pengungsi itu tidak jadi musrik, kafir, murtad, dan entah apalagi julukan kalian yang sering kalian utarakan di dumay? Kalau sejatinya agama itu benar secara universal, bukankah artinya kebenarannya juga bisa berlaku dimana saja dan dalam case apa saja? Bukankah artinya jutaan para pengungsi itu otomatis hampir pasti dipimpin oleh pemimpin yang tidak seagama dengan para pengungsinya?
.
Maaf kalau saya banyak salah dalam tanya, karena hal-hal itu merisaukan nurani saya yang ingin negara ini dalam damai. Dan saya percaya untuk mengurus negara yang menganut demokrasi dengan rakyat yang terdiri dari banyak suku, ras, agama, golongan, memang dibutuhkan kepemimpinan yang tegas adil dan berani. Pembiaran potensi yang mengancam keutuhan negara justru membuat pemerintahan (negara) dalam bahaya. Membiarkan penyebaran potensi-potensi perpecahan, itu ibarat menyebarkan dan memelihara api dalam sekam, membiakkan fenomena gunung es, memelihara macan tanpa kandang dengan penanganan bukan oleh ahlinya, dan semua itu tinggal tunggu waktu saja meledaknya. Lalu kalau peledakan itu terjadi bukan pada masa pemerintahan yang membiarkan potensi tersebut terjadi, seolah pemerintahan lama tidak ikut bertanggung jawab, bahkan klaim bahwa era/masanya adalah masa paling aman, tentram, baik dan benar. Lupa bahwa masalah yang timbul itu bukan seperti membuat popcorn yang langsung meledak dalam waktu singkat. Padahal pemerintahan itu sangat dibatasi waktunya, banyak yang belum menyadari bahwa mewariskan pemerintahan yang membahayakan keutuhan negara dan bangsa seharusnya juga dianggap kesalahan atau kegagalan pemerintahan tersebut. Maknanya, purna bakti pemerintahan jangan menganggap masalah selesai dan menganggap semua hal jadi bukan tanggungjawabnya lagi, mantan memang tidak bisa ikutan cawe-cawe masalah pemerintahan, dan yang dibutuhkan adalah siap mempertanggungjawabkan hasil karya yang siap ditelaah atau dinilai oleh orang lain, juga jangan memakai dalil usang "mikul duwur mendem jero", yang menganggap mantan pejabat tertinggi negara seolah kebal hukum karena layak dan harus dilindungi martabatnya, menurut saya itu justru membahayakan keberlangsungan hidup bernegara kita. Karena pemerintahan yang sedang berlangsung hanya memikir "yang penting selamat", tidak berpikir mewariskan pemerintahan yang baik dan benar. Maaf atas tuangan unek-unek kenyinyiran yang saya pikirkan.
.
Jika Ahok dinyatakan bersalah karena menukil ayat kitab suci kepercayaan ummat lain dan diutarakan pada khalayak umum, dan kesalahannya adalah karena Ahok bukan ummat penganut agama yang ayatnya disuarakan itu, kenapa oknum lain yang banyak memakai ayat yang sama untuk menolak pencalonan Ahok tidak dipermasalahkan dan tidak dipersalahkan? Bukankah ayatnya sama? Ketika juga ada tokoh-tokoh hebat yang beragama sama tidak mempermasalahkan pemimpin dari agama lain, bolehkah saya tanya "kebenaran universalnya dimana atas perbedaan pendapat tersebut?" Saya juga mbatin gini: Jika Ahok menukil ayat yang memang tidak pernah digunakan oleh oknum lain dalam menolaknya, saya setuju Ahok salah. Tapi jika Ahok membicarakan ayat yang justru banyak digunakan oleh oknum lain untuk menyerangnya agar tidak dipilih, lalu Ahok dipersalahkan karena bukan ayat dalam kitab sucinya, salahkah jika oknum-oknum tersebut telah memlintir agamanya demi kepentingan politiknya? Salahkah pendapat pemimpin negara, jika demo Jumat, 4 Nopember 2016 kemaren juga ditunggangi oknum tokoh politik? Lalu banyak yang mengail diair keruh, mempermasalahkan pernyataan pemimpin negara, ada yang bahkan mengancam presiden bisa di impeach! (dimakzulkan). Lebai, kalau yang merasa tokoh tidak merasa menjadi penunggang demo, ngapain jadi tersinggung?
.
Ketika mendengarkan video peryataan pendapat dari SBY, ada mewacanakan "Intelijen Error" dan sebagainya, lalu sumbernya juga menyatakan mendapat info, kok tokoh-tokoh politik yang mengkritik presiden tidak menuntut agar SBY juga membuka nara sumber pembisiknya? Bukankah hal itu lebih berpotensi bahaya? Bagaimana kalau seandainya pejabat tinggi yang membawahi Intelijen emosi dan marah lalu memecat banyak pejabat anak buahnya yang bertanggung jawab terhadap informasi intelijen tersebut karena dianggap membocorkan informasi kepada SBY? Itupun jika dianggap intelijen memang mendeteksi seperti yang dikeluhkan SBY, tapi jika instansi resmi tidak ada yang menuding SBY, lalu SBY berkeluh kesah karena dasar berita dari sosmed yang memojokkannya dalam suatu kasus tertentu, apakah tidak terkesan aneh?
.
Balik kesoal agama yang memang sangat sensi dan juga demo 411 pada Jumat minggu lalu itu. Wacana yang berkembang adalah menuntut agar Ahok diseret untuk diadili, tapi saya membacanya dengan tafsir Ahok harus dipersalahkan dan dipenjara, karena yang utama MUI sudah mengeluarkan pernyataan bahwa Ahok dinyatakan menista agama. Dan itulah ancaman "api dalam sekam" yang saya maksud, keadilannya dimana kalau sudah mengadili sebelum sidang pengadilan digelar? Mengingat begitu banyak tokoh yang berwacana untuk mengadili Ahok tapi juga sekaligus "memastikan" bahwa Ahok harus disalahkan karena terbukti menimbulkan kegaduhan, apakah benar hal semacam itu termasuk ciri-ciri negara hukum? Muatan pesan dan ancaman oleh banyak tokoh bahwa Ahok harus diadili dan harus dinyatakan salah, bahkan jika tidak dinyatakan salah maka Presiden dianggap melindungi juga aparat berwenang dianggap tidak adil, termasuk keinginan transparan presiden juga bisa dianggap kepura-puraan saja, itulah makna yang saya tangkap pakai kacamata saya, dan saya mengharap saya salah pakai kacamata. Andai Ahok dinyatakan TIDAK bersalah, bukankah itu potensi ancaman akan keadaan yang tidak kondusif untuk negeri ini? Itu maknanya ekonomi negara akan terpengaruh, lalu keadaan menjadi tidak tentram, dan pemerintahan dipertarohkan. Apakah agama tidak menjadi menakutkan kalau itu yang terjadi? Lalu pemerintah yang juga harus mengurusi agama kalau kenyataannya sampai harus tumbang karena agama, apakah engga ngenes? Maaf saya ngawur dalam rasa mengkhawatirkan bangsa dan negara ini. (#SPMCSW, Kamis, 10 Nopember 2016.)
.
~~~~~

.
BONUS UNEK-UNEK:
Selamat memperingati Hari Pahlawan, semoga hasil karya para pejuang bangsa sehingga negara ini masih tegak berdiri tidak diluluh lantakkan oleh generasi penerusnya .....
Negara ini jika menjadi banyak negara, percayalah itu bukan karena ulah negara lain, tapi karena ulah rakyatnya sendiri yang mudah terprovokasi, dan sangat egois. Dan kalau hal itu terjadi, negara-negara kecil yang awalnya adalah NKRI, menjadi bukan apa-apa lagi didunia, dan itu semua hasil karya para tokoh kita, yang lebih memilih bercerai-berai demi membela ego agama dan Tuhannya, padahal bukankah Tuhan itu Esa saudaraku? Maaf. (SW)
.
.
Sumber gambar:
Karikatur online

No comments:

Post a Comment