Monday, February 15, 2016

“AKU PERNAH UEDAN DEWEK’AN”



“AKU PERNAH UEDAN DEWEK’AN”
.
.
Opini Curhat: (SPMC) Suhindro Wibisono.
.
Kisaran satu setengah tahun yang lalu, saya ikut nganterin keluarga adik saya meminang calon mantu, ya ngikut saja, dengan saudara yang lain. Tapi ketika sudah mau masuk rumahnya calon besan adik, tiba-tiba keponakan saya yang calon jadi lakon hajatan tersebut nyamperin saya dan mengatakan kalau saya yang disuruh “nembung”(dia sudah nyampe duluan). Lho?? PIYE TOH IKI? Bahkan nama calonnya saja saya tidak tahu? Lalu anaknya siapa itu, maksud saya siapa nama calon besan? Terus piye carane? Toto kromonya gimana? Bener-bener “uedan” ..... kok model tembakan begini (batinku). Napa engga kasih tahu dulu beberapa hari sebelumnya?
.
Dan memang saya tidak bisa menghindari permintaan itu, apalagi toh saya dianggap mereka “lebih” bisa ngoceh dari yang lain. Tapi kalau begini caranya ya pasti mempermalukan saya sendiri toh? Juga mempermalukan yang lain ..... Terlebih calon besan ini kulturnya beda, adik saya keluarga beda kepercayaan dengan calon besannya yang adalah keluarga muslim, piye jal? Opo ora kagok semua? Dah gitu sayanya ditembak langsung ditempat, hanya beberapa meter dari mau masuk rumahnya setelah parkir kendaraan dan blom turun dari mobil, jan wis .... “uedan tenan” !
.
Contekan nama-nama diberikan, tapi ya tetep saja klagepan wong tanpa persiapan..... , apa hayo yang harus saya katakan, selain membayangkan seliwerannya adegan film-film sepintas yang pernah terekam dalam ingatan ...., dan embuh aku tak ingat lagi ngomong apa waktu itu, selain ingat saya ingin mengutarakan bahwa mewakili keluarga adik, mengutarakan niat dan menuruti keinginan anak untuk meminang si “Laras” agar diperbolehkan menjadi isri keponakan saya.... “bener-bener uedan”, saya pikir ngomelpun engga ada gunanya !
.
Beberapa waktu (bulan) kemudian, saya ikutan lagi nganter mantenannya, dirumahnya pihak perempuan lagi, beberapa hari sebelumnya saya tanyakan pada ponakan, “acaranya apa?” Keterangan singkatnya tidak ada acara apa-apa lagi selain mirip ndatengin kondangan manten dan kita adalah bagian dari keluarga. Yo wis ..... bathinku.
.
Setelah nyampe hotel untuk njemput dimana ponakan saya nginep yang letaknya beberapa ratus meter dari rumahnya besan adik, kamipun berangkat bersama-sama rombongan lain yang datang dari luar kota yang juga nginep dihotel tersebut, karena hajatannya dirumah besan, maka banyak tamu dari keluarga besan dan tetangga atau mungkin handai taulannya juga datang, seperti layaknya hajatan pada umumnya walau memang acaranya sederhana .... Dan “malapetaka” itu datang lagi pada saya, ternyata acaranya lebih gila dari yang pertama, kalau pada rencana katanya sambutan dari pihak adik saya akan diwakili oleh penghulu, ternyata itu tidak terjadi, saya tiba-tiba ditunjuk untuk mewakili. Hemmmm ..... apa aku harus ngamuk kali ini? Sak karepmu, bathinku .... walau sambil kalut “meh ngomong opo aku mengko?”
.
Kalau yang awal mintanya saya hanya ngomong berhadapan dengan besan dan wakil dari keluarganya, untuk acara kali ini mereka malah membuat semacam “panitia kecil”, adik mamanya Laras yang istri pensiunan Letjen siapa gitu (lupa) jadi wakil keluarga mereka, ada contekan skenarionya segala, saya sempat dikenalkan keluarga besan adik saya, banyak orang yang lumayan punya jabatan. Lalu tiba giliran saya menyampaikan sambutan, kalau saya pucat pasi, mungkin saja itu terjadi, entah ada yang memperhatikan atau tidak, apalagi ngomongnya pakai mike pengeras suara dan disaksikan banyak hadirin rada formal begitu. “Uedan pol .... ngimpi opo aku gek bengine?”
.
Satu hal yang saya ingat dalam memberikan awal sambutan, ketika sebelumnya pihak tuan rumah menyatakan bahwa anak mereka tidak akan diberikan ijin menikah dengan keluarga yang bukan muslim, maka balasan itulah yang saya utarakan pertama kali sambil meminta maaf terlebih dahulu, saya nyatakan bahwa kami datang bukan dari keluarga muslim, dan itu tanpa saya kompromikan sama adik saya atau sama siapa saja, kebiasaan protes semenjak kecil kalau ada hal-hal yang tidak semestinya. Tentu saja hal itu menjadikan banyak yang terdiam sejenak, sorot mata jadi banyak yang tertuju pada saya, kalau saya katakan semua, kan saya tidak sempat memperhatikan satu-persatu. Intinya saya menyatakan bahwa urusan keyakinan adalah urusan mereka yang menjalani, dan saya tidak ingin mencampuri, mencegah, atau membujuk apapun, mereka yang sedang akan menjalankan pernikahan bukankah sudah bukan anak-anak lagi? Biarlah itu menjadi urusan mereka yang saya yakin juga pastinya sudah dibicarakan oleh yang bersangkutan berdua. Memang maksud saya menegaskan bahwa kami bukan datang dari keluarga muslim, agar tidak ada dusta diantara kita, karena kalau saya tidak menjelaskan, takutnya dikira mengamini pernyataan sambutan oleh wakil tuan rumah sebelumnya, berarti saya ikut membohongi para hadirin semuanya. Dan saya tidak ingin makna itu terjadi. (SPMC SW, Senin, 15 Februari 2016.)
.
.
Sumber gambar:
www.vemale .com

No comments:

Post a Comment